Seharusnya seorang dewan mengkritik pemerintah, melalui jalur yang benar. Fahri ini seharusnya memiliki fasilitas itu. Dia adalah wakil ketua DPR yang memiliki akses untuk mengkritik pemerintahan. Tapi sayangnya, ia tidak menggunakan jalur itu.
Ia lebih suka menggunakan jalur Twitter. Cuitan-cuitan murahan dari seorang wakil rakyat yang disangsikan perwakilannya, muncul di lini masa Twitter.
Cuitan demi cuitan yang ia lontarkan tidak serta merta langsung menuju inti permasalahan.
Saya sebagai rakyat yang diwakilkan secara legislatif, rasanya ingin membuang orang ini ke tong sampah politik. Saya prihatin melihat keadaan Fahri yang seperti ini.
Mengkritik tanpa arah, sebagai wakil rakyat yang harusnya teruji intelektualitasnya. Apakah Fahri ini justru mewakili rakyat yang suka "mengkritik tanpa solusi"?
Inilah yang menjadi kesulitan bagi saya, menerima Fahri sebagai wakil saya.
Tapi bagaimanapun, secara legislatif ia terpilih. Entah bagaimana buruknya mekanisme pemilihan ketua dan wakil ketua yang ada di DPR-RI. Tapi yang pasti, rakyat melihat bahwa kinerja DPR saat ini sangat jelek.
Di mana rasa apresiasi Fahri kepada Jokowi? Padahal kita tahu di era Jokowi, Bundaran HI ke Bendungan Hilir ditempuh hanya dalam waktu 5 menit.
Kita tahu di era Jokowi, semua pembangunan dilakukan secara merata.
Orang-orang seperti ini dapat dikatakan kufur nikmat. Ia hanya berani berkomentar dan berceloteh di Twitter. Mengapa Twitter?
Karena hanya di sanalah basis mereka. Mereka berkumpul di dunia maya. Dunia bubur, yang suka halusin nasi. Alias halusinasi.
Memang sulit menakar logika yang tidak nyambung yang disemburkan oleh Fahri Hamzah ini.
Memang orang ini memiliki keterbatasan. Orang ini di hadapan Presiden, hanya bisa senyam senyum. Tidak berani kritik langsung.
Padahal mereka seharusnya setara. Legislatif dan Eksekutif itu adalah bagian dari Trias Politika, yang meskipun berbeda, namun setara.
Sekali lagi, nyali lah yang membuat Fahri Hamzah ini tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa di Twitter. Kalau ketemu langsung, ciut. Tidak bisa berbuat apa-apa. Pengecut.
Begitulah kecut-kecut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H