Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis - Penulis seni budaya

Penulis seni budaya.Menetap di Malang.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Masegit, Madura dan Melumernya Ingatan

11 Mei 2024   20:06 Diperbarui: 11 Mei 2024   20:25 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pementasan Masegit oleh Rokateater di Auditorium Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Jl.Raya Panglegur km 4 Pamekasan, Madura, Rabu (31/8/2016). (Dok. Rokateater)
Pementasan Masegit oleh Rokateater di Auditorium Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Jl.Raya Panglegur km 4 Pamekasan, Madura, Rabu (31/8/2016). (Dok. Rokateater)

Teater Arsip

Pertunjukan dibuka dengan sorot lampu yang mengarah pada sebuah meja panjang. Meja bertaplak putih terletak di tengah panggung. Pada beberapa adegan meja panjang itu digeser dari panggung.Sepanjang enam puluh menit, penonton disuguhi 'arsip' masyarakat Madura dan relasi kekuasaan. Perlawanan terhadap kolonial Belanda, kehidupan di pesisir, kasus Syi'ah-Sunni di Sampang, pembunuhan kiai oleh ninja, euforia sepakbola lewat klub Madura United, jembatan Suramadu dan tumbuhnya pariwisata Madura, hingga kegemaran ber-selfie. Sepanjang pertunjukkan dialog-dialog menggunakan dubbing. Personifikasi orang Madura digambarkan lewat aktor laki-laki bersarung, memakai kaos singlet dan baju koko putih dan mengenakan kopiah hitam. Sementara pemain wanita memakai kebaya dan jarit.

Dramaturgi pementasan Masegit dibentuk oleh "struktur". Struktur dibuat berdasarkan hasil penelusuran atas arsip-arsip yang diturunkan menjadi poin-poin. Alur dan cerita dalam masegit bergantung pada struktur yang dibuat. Struktur tersebut mewakili naskah (karena pertunjukan tersebut tidak berbasis naskah drama) dan ia menjadi peta bagi Ridho dan Rokateater dalam membuat pertunjukan.

Ada beberapa hal  menarik yang dapat saya catat bahwa tata lampu dan musik yang menarik. Adegan kasus penyerangan dan pembakaran rumah-rumah warga Syi'ah yang terjadi Sampang, Agustus 2012 digambarkan lewat sosok seorang ibu duduk di tengah panggung, tangan kanannya memegang sebilah parang, di kanan dan kiri nya didampingi sosok wanita muda. Dialog-dialog pleidoi-nya terhadap ketidakadilan yang menimpanya sungguh menyentuh. Dibagian lain sosok ibu tersebut memegang setangkai mawar merah dan disodorkan pada lelaki yang sedang menyerangnya dengan clurit. Perdamaian dan cinta kasih adalah solusi yang ditawarkan sosok ibu tersebut. 

Adegan lain yang menarik adalah di bagian akhir pementasan.  Meja panjang dihadirkan lagi ke tengah panggung pementasan. Di atas meja tersaji tulang sapi dan dari barisan penonton sosok kiai berbaju putih dan bersurban  memasuki panggung. Sang kiai berbaur dengan 3 pemain laki-laki dan 3 pemain wanita. Sang kiai tersenyum menatap penonton. Mengingatkan kita pada lukisan The Last Supper-nya Leonardo da Vinci. Pentas pun ditutup dengan sorot lampu yang makin meredup pada wajah sang kiai.

Shohifur Ridho Ilahi, sutradara pementasan Masegit, menguraikan bahwa tulang sapi berasal dari salah satu gagasan Suvi Wahyudianto, seniman terlibat Masegit yang fokus pada penciptaan seni rupa. Suvi membawa karya rupanya yang berjudul Setinggil untuk dimasukkan ke dalam Masegit. Menurut Suvi, posisi sapi di dalam kehidupan masyarakat Madura sangat penting, terutama bagaimana sapi menjadi simbol dari relasi kuasa di dalam gelaran karapan sapi dan sapi sono'. Tulang sapi dihadirkan untuk memberi sentuhan magis bahwa pada akhirnya (daging-daging) sapi berakhir di dalam tubuh manusia (menjadi hidangan), atau dengan kata lain, manusia adalah kuburan sapi-sapi.

Adegan The Last Supper dipinjam dari karya Leonardo da Vinci. The Last Supper juga dimunculkan Suvi Wahyudianto ketika mereka mendiskusikan kemungkinan adegan pada tulang sapi. "Bagi kami, The Last Supper yang dikonversi menjadi perjamuan kiai dan masyarakat menunjukkan hubungan emosional yang sangat intim, terutama ketika lampu menyorot tepat di tengah mereka. Di situ menjelaskan bahwa ada relasi kuasa antara rezim kiai dengan masyarakat." Di Madura, kiai adalah sosok dimana segala perkara masyarakat ditumpahkan kepadanya, baik kebahagiaan maupun sebaliknya. Yang menarik dari kisah di balik pembuatan lukisan The Last Supper oleh Leonardo da Vinci adalah ketika da Vinci mencari sosok pemuda yang akan dilukisnya sebagai Kristus. Da Vinci menemukan pemuda yang dianggap mewakili sosok Kristus, pemuda yang berwajah tampan dan jujur. Begitu juga ketika da Vinci akan melukis murid-muridnya, ia juga mencari sosok yang dianggap mewakili tiga belas rasul itu. Kisah menjadi sangat menarik ketika da Vinci akan melukis salah satu muridnya (yang berkhianat), Yudas Iskariot. Ia digambarkan sebagai sosok yang jahat. Da Vinci menemukan sosok itu di penjara bawah tanah Roma, ketika selesai dilukis, si Yudas ternyata adalah orang yang sama ketika da Vinci melukis Kristus tujuh tahun yang lalu (lukisan ini dikerjakan bertahun-tahun). "Melalui kisah itu, kami merasa ada hal menarik untuk ditunjukkan dalam satu adegan. Kiai (menakik dari kisah tadi) juga tidak bisa lepas dari sifat dasarnya, ia manusia dan karenanya punya sifat baik dan jahat. Relasi kuasa antara kiai dan masyarakat dalam kasus di Madura belakangan ini menunjukkan bawah ketika kiai memegang kendali kekuasaan (baik di pemerintahan atau tidak) tidak jarang melakukan kekeliruan fatal: menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk merebut pengaruh".

Antuasisme penonton pada pentas Rokateater dengan lakon Masegit dapat dilihat dari penuhnya Auditorium Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan Jl.Raya Panglegur km 4 Pamekasan. Sekitar 500 penonton dari komunitas teater dan pondok pesantren dari beberapa kota di Madura, Surabaya, Malang. Antusiasme komunitas teater di Pamekasan dapat dicatat dari 200 peserta diskusi seusai pentas. Pementasan teater Masegit merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang dihelat Kolom Teater Pamekasan (KTP) ke-13.

Salah satu penonton, Untung dari Komunitas Omah Kayu, Sumenep mengapresiasi bahwa bentuk pertunjukan Masegit berupa fragmen dari beberapa fenomena di Madura dengan diekplorasi menjadi fragmen tubuh lokal. Dengan bentuk fragmen inilah butuh kecermatan dalam menata titik-titik permainan. Sehingga pesan dan kesan bisa sesuai dengan apa yang diharapkan sutradara. Selain itu permasalahan yang tampak bagi penonton banyak aktor bergerak lebih kepada teknik. Estetika gerak tubuhnya jauh dari rasa dan jiwa dari permasalahan yang diangkat. Terlepas dari beberapa kekurangan dari pementasan Masegit secara garis besar sukses. Mas Ridho sukses menangkap fenomena, lalu mentransformasikan kepada aktor dan bagian artistik lainnya, sehingga menjadi pertunjukan yang sukses.

Shohifur Ridho Ilahi mempunyai dua alasan mengapa memilih Pamekasan sebagai lokasi pementasan Masegit. Pertama Pamekasan memiliki kedekatan emosional dengan dirinya sebab di tahun 2008 saat duduk di kelas 2 MAN, pertama kalinya dia bermain sebagai aktor teater di Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan. Judul naskah yang dimainkannya Tuhan Bermuka Dua. Kedua, letak Pamekasan berada di tengah Madura, diantara Bangkalan dan Sumenep.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun