Ibarat perjalanan, masa pandemi ini belum diketahui ujungnya. Di saat daerah zona merah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan menerapkan masa transisi memasuki era new normal, ternyata kasus Covid-19 semakin menanjak.
Di sisi lain dunia pendidikan dalam waktu dekat memasuki tahun pelajaran baru 2020/2021. Meskipun Mendikbud telah memberikan panduan proses pembelajaran di semua jenjang, satuan pendidikan masih diliputi kekhawatiran dan ketakutan. Masuk sekolah lagi? Sekolah dengan shift? Belajar suka-suka, ya di rumah ya di sekolah? Pusing. Semuanya masih serba samar. Meraba-raba.
Pada tulisan kali ini tidak menyoroti tentang strategi proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekolah. Setiap sekolah bisa berbeda. Tergantung dari manajemen mengelolanya. Yang jelas saat ini merupakan saat-saat yang penuh tantangan bagi semua pelaku pendidikan untuk menentukan formula terbaik agar menu pembelajaran yang disampaikan kepada murid tetap berkualitas. Tulisan ini lebih fokus pada tantangan murid untuk tetap memiliki semangat belajar, bagaimanapun kondisinya.
Sejak pertengahan Maret 2020, murid melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dan kondisinya penuh dengan keterbatasan. Baik guru, murid, maupun orangtua tiba-tiba dipaksa untuk melakukan hal yang sama sekali belum pernah mereka alami. Tidak sedikit murid yang beranggapan bahwa proses pembelajaran jarak jauh sebagai waktu libur. Akibatnya mereka di rumah kondisinya ya seperti liburan. Bukan belajar dari rumah.
Situasi yang demikian selama berbulan-bulan tanpa disadari akan menurunkan kesadaran dan motivasi belajar anak. Bahkan akhirnya budaya belajar yang seharusnya tetap di jaga pada akhirnya hilang. Dan bisa dipastikan mereka akan mengalami jetlag belajar ketika kembali masuk ke sekolah.
Memasuki tahun ajaran baru, menjadi momentum terbaik untuk mengembalikan semangat belajar murid. Inilah saatnya orangtua dan murid menyadari bahwa proses pembelajaran di era new normal bersifat student center. Apa pun strategi belajar yang digunakan, apakah menggunakan sinkronus daring luring maupun asinkronus daring luring tidak menjadi soal. Yang penting murid harus menjadi manusia pembelajar di mana saja dan kapan saja.
Oleh karena itu, saat ini murid di berbagai jenjang harus menerapkan disiplin diri. Pertama, disiplin belajar. Orangtua di rumah memiliki peran penting untuk mengembalikan motivasi belajar anak. Karena selama pandemi orangtua yang mengetahui secara langsung proses belajar anak di rumah.
Orangtua harus dapat mengondisikan belajar anak di rumah. Buat sudut belajar yang sesuai dengan kesukaan anak. Menyediakan sarana pembelajaran serta menyusun jam belajar yang disesuaikan dengan jam belajar di sekolah dengan penyesuaian waktu. Konsekuensinya jika selama belajar dari rumah anak-anak bangun sesuai dengan keinginannya maka mulai saat ini anak-anak harus dibangunkan sesuai dengan kondisi sebelum pandemi. Jika perlu ketika belajar di rumah baik secara mandiri atau pada saat berkomunikasi dengan guru dapat menggunakan seragam sekolah atau pakaian yang pantas. Karena begitulah seharusnya adab belajar.
Kedua, disiplin menerapkan protokol kesehatan. Masalah terbesar saat ini yang dirasakan adalah rendahnya disiplin masyarakat menerapkan protokol kesehatan. Lingkungan keluarga memiliki peran edukasi kepada setiap anak agar memiliki literasi new normal. Mereka harus paham bahwa kondisi di sekolah nantinya tidak seperti semula. Pola interaksi dengan guru dan murid lainnya akan banyak berubah.
Ada yang harus dipahami bahwa sebelum pandemi tidak pernah terbayangkan bahwa ruang kelas akan menjadi ancaman penyebaran virus. Edukasi ini penting karena watak dari murid di semua jenjang jika bertemu dengan kawannya adalah interaksi sosial yang tiada batas. Setelah sekian lama tentu mereka akan merasa bahagia bertemu dengan teman lama dan baru. Akan menjadi riskan jika kemudian mereka tidak mematuhi protokol kesehatan.
Sudah saatnya pengasuhan anak di rumah tidak lagi dengan pola drone parenting. Menyerahkan dan memasrahkan sepenuhnya perkembangan anak pada guru dan baby sitter di rumah. Kenapa PJJ yang sudah berjalan kurang lebih empat bulan belum juga menemukan formula ideal dan tidak efektif bagi murid? Â Karena sekolah, guru, murid, dan orangtua gagal membangun komunikasi efektif.