Bangsa Indonesia masih diselimuti pandemi Covid-19. Energi besar telah dicurahkan untuk menangani. Upaya menemukan formula positif dan afektif masih terus dilakukan. Tantangan yang dihadapi semakin berat dan kompleks. Masalah pandemi menimbulkan rentetan masalah sosial. Modal sosial, sebagai sebuah bangsa, seharusnya menjadi kekuatan untuk bersama-sama melawan penyebaran pandemi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Perang opini terjadi secara vulgar dan menyesatkan. Hoax dan fitnah merajalela. Pengucilan terhadap warga yang sakit karena virus. Penolakan pemakaman jenazah terjadi di berbagai daerah. Kepercayaan antar warga semakin rendah. Relasi warga dan negara tidak sejalan. Bahkan, kerap terjadi benturan secara fisik. Akibatnya, pandemi ini menjadi krisis yang semakin luas cakupan dan penetrasinya. Fokus penanganan pandemi melebar ke mana-mana.
Pandemi yang mendera secara global bukanlah sembarang wabah yang bisa diselesaikan dengan tambal sulam. Para ahli telah memberikan gambaran jelas bahwa wabah ini belum ada vaksinnya dan harus siap memasuki new normal. Kalau boleh digambarkan situasi saat ini menyerupai situasi yang oleh Karen Amstrong disebut sebagai zaman peralihan. Yaitu, zaman kalabendu, penuh prahara, kedunguan, pertikaian, kehancuran tata nilai dan keteladanan.
Pada masa pandemi saat ini, kita telah melupakan bahwa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang dikenal dengan persatuan dan kesatuannya. Bangsa yang memiliki semangat juang untuk menghadapi segala tantangan. Yang tampak di permukaan justru adalah retaknya relasi sosial. Padahal seharusnya dapat menyatukan untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang tangguh.
Fakta sosial yang terjadi di masa pandemi ini semakin menguatkan bahwa kita telah kehilangan kunci kebangsaan, Pancasila. Â Ada sebuah analogi sangat menarik disampaikan oleh Yudi Latif. Dia menggambarkan Indonesia sebagai rumah kebangsaan diselimuti kegelapan karena tertutup kabut akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai luhur Pancasila.Â
Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar "rumah". Seseorang bertanya, "Apa gerangan yang kalian cari?" Anak-anak negeri itu pun menjawab, "kunci rumah". "Memangnya di mana hilangnya kunci itu?" "Di dalam rumah kami sendiri". "Mengapa kalian cari di luar rumahmu?" "Karena rumah kami gelap".
Menghadapi normal baru, dibutuhkan komitmen dari segenap bangsa. Kepercayaan, persatuan, dan semangat gotong royong antar warga akan menguatkan rajutan kebangsaan di masa sulit. Pancasila sebagai elan vital bangsa ini harus menjadi titik koordinat dalam berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya Pancasila diwujudkan dalam laku seluruh warga negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H