Kemarin sore saya begitu rindu pada bapak dan kepada bapak mertua, diusia pernikanku yang ke sembilan, merasa sore itu begitu kelabu, Tangan kiriku menumpu pipiku jidatku bersandar pada ujung bad terbuat dari besi berselimut karet dengan warna gelap. mataku, menghadang kotak garis granit yang penuh dengan debu.
Tak kuasa menyaksikan jarum ditarik ulur oleh petugas pada lengan kanan tepat pada di atas tumit, ngilu, haru,wagu saya tak pantas berurai mata di depan istriku yang sedang menahan sakit. Hanya bisa memijat kakinya. Semntara petugas kesehatan berusaha memasukkan jarum sambil melihat mesin pencuci darah dengan hati-hati.
Saya menyebut nama bapak dengan pelan kemudian saya menyebut nama bapak mertua (bapaknya istri) pelan, hanya untuk menguatkan rasa perih dalam hati ini, hanya telingaku yang bisa mendengarkannya. "bapak..bapak,,,bapak.." Hatiku begitu lega. sesaat saya meliriknya ia masih menahan sakit.
"ok...sudah stabil" ujar petugas sambil bergegas merapihkan kain-kain kasa yang berlumur darah.
"Terima kasih pak".
Istriku sudah dua tahun harus menjalani terapi cuci darah, setiap satu minggu dua kali di rumah sakit milik TNI kota Cirebon. Meski keluarga saya bukan bagian dari anggota tetapi Rumah Sakit ini memberikan pelayanan kepada masyarak sipil seperti saya ini.
Tentu penyebabnya fungsi ginjal yang tidak lagi berfungsi dengan normal.Â
Hati saya begitu terpukul saat istri yang sedang berbaring lemas saya menerima kabar diagnosa bahwa harus di cuci darah segera.Â
"ya Allah.... haruskah dengan cara ini Engkau memberikan hamba dengan ujian yang berat, Engkau maha segala maha semua saya serahkan kepada-Mu ya Allah...". Doa itulah yang saya panjatkan selama hampir dua jam menimbang keputusan untuk melakukan tindakan dan menyetujui. Apa boleh buat, tindakan ini adalah satu-satunya jalan untuk menyembuhkan lara sekujur tubuh istri yang sudahh empat bulan merenggut tubuhnya yang mungil. Nafasnya tersengal sengal, betis kakinya besar. Kata dokter itu adalah cairan yang seharusnya di filter sama ginjal.Â
Malam itu begitu sangat menyedihkan, air mataku terkuras, tubuhku lemas menerima kenyataan yang begitu berat bagi kami. Anak kedua masih berumur sebelas bulan. sedangkan kakaknya masih mengunjak lima tahun. Ibarat bunga yang sudah mekar tiba-tiba layu oleh hama. Harapan-harapan sirna dengan kondisi yang serba terbata.
Ah,,, Bapak andai saja engkau hadir saat-saat saya sedang terpuruk mungkin engkau bisa meringankan hati juga membesarkan harapan.Â
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H