Mohon tunggu...
Abdullah Zain
Abdullah Zain Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mahasiswa Universitas Diponegoro

In Harmonia Progressio

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Saat Keluar dari Boyolali, Orang-Orang Tidak Tahu Ketika Saya Merasa Kagum

25 Maret 2021   17:25 Diperbarui: 25 Maret 2021   17:47 12761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: instagram.com/dolanboyolali/simpang lima Boyolali

Saya lahir di Boyolali, kota kecil di Jawa Tengah yang memiliki slogan "Tersenyum" dan terkenal dengan susu sapinya. Saat kelas satu SD saya ikut tinggal bersama nenek di Solo, kota asal presiden kita sekarang, Joko Widodo. Tidak ada bedanya antara Boyolali dan Solo, hanya saja di Solo lebih terlihat ramai, saya merasa jadi anak kota saat itu, ya maklum lah, lawong saya dari kampung, mall aja tidak ada, apalagi bioskop, tapi saya punya senjata kalau debat soal kota mana yang lebih bagus, sudah pasti kota asal saya, dua gunung dan satu bandara saja singgah di Boyolali loh, di Solo kan tidak ada, ups!

Awalnya semua terasa baik-baik saja, dengan kultur yang sama menjadikan saya tidak merasa sulit untuk bergaul dengan anak-anak Solo. Cara kita guyonan saja juga sama, namun suatu ketika ada teman sekolah saya yang tanya "koe kok kerep ngomong 'horok' ki artine opo to?" yang artinya "kamu kok sering bilang 'horok' itu artinya apa sih?". Waduh, ternyata saya punya teman yang kurang menguasai kosa kata. Dengan pola pikir anak SD, saya mencoba jelaskan sebisa mungkin apa arti kata "horok", dan berhasil, akhirnya teman saya paham.

Selain dengan teman sekolah, saya juga bergaul dengan anak-anak kampung Bonorejo, tempat tinggal nenek saya. Kebetulan saya anak yang sholeh, rajin ke masjid walaupun hanya magrib dan isya', tentu dengan anak-anak yang ada di kampung Bonorejo. Kita berangkat ke masjid jalan kaki, dijalan biasanya kita sambil cerita ngalor-ngidul gak karuan, ditengah cerita, saya menanggapinya dengan bilang "horok!", kemudian teman saya ada yang tanya lagi "horok ki opo to?" yang artinya "horok itu apa sih?". Waduh, saya heran, ternyata anak-anak Solo memang kurang menguasai kosakata, seperti waktu di sekolah, saya coba jelaskan kepada teman saya tadi, namun saat itu ada teman-teman yang lain, dan benar saja, ternyata mereka semua tidak tahu apa itu kata "horok".

Sepulang dari masjid, saya masuk ke rumah nenek, lalu saya tanya sama dia "mbah, jenengan ngertos 'horok'?" yang artinya "nek, kamu tahu 'horok'?", ternyata sama, nenek saya juga tidak tahu. Mulai dari situ saya berkesimpulan, bahwa kata "horok" ini tidak dipakai dalam dialek jawa di Solo, padahal kata itu sangat familiar di Boyolali, dikit-dikit bilang "horok", itu pasti. Diksi "horok" ini memiliki arti sebuah respon kagum, jika dalam dialek jawa pada umumnya berarti "weh", dan dalam Bahasa Indonesia "hah", semacam penekanan. Sebagai contoh jika kita merasa kagum dengan cerita teman kita, respon orang Boyolali akan "horok, mosok ngono?", namun pada dialek orang jawa pada umumnya "weh, mosok ngono?" yang keduanya ber-arti sama "hah, masak gitu?".

Saya juga heran, kenapa di Solo tidak pakai kata "horok", padahal kan kita masih satu suku, secara geografis juga letak kota Boyolali dan Solo itu bersebelahan, gandengan, sangat dekat. Kalau dari rumah saya saja cuma 15 menit juga sampai untuk ke rumah nenek yang ada di Solo.

Setelah saya menginjak bangku kuliah, tepatnya di salah satu Kampus ternama yang ada di Semarang, banyak teman saya yang juga berasal dari Jawa Tengah. Kita mengobrol pakai Bahasa jawa, walaupun yang dari Semarang dan Pati ada sedikit perbedaan, apalagi Tegal dengan ngapak-nya. Tapi yang dari karesidenan Soloraya masih satu genre kok, kecuali satu kata produk Boyolali tadi "horok", awalnya saya mengira anak Salatiga, Sragen, atau Klaten tahu apa arti "horok", karena letaknya juga masih bersebelahan dengan Boyolali, ternyata sama saja dengan warga Solo, mereka tidak tahu. Jadi saya coba jelaskan lagi, biar virus "horok" ini menyebar.

Waktu saya baca ada campaign di mojokdotco yang bertajuk "Terminal Mulok" batin saya juga langsung bilang "horok, Terminal Mulok?". Begitulah kira-kira, rakyat Boyolali dengan ciri khas "horok" nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun