Pada awal tahun 2021, tepatnya pertengahan bulan Januari, saya mengikuti sebuah lomba yang diadakan oleh salah satu Organisasi Mahasiswa yang ada di Jawa Tengah. Lomba itu bertajuk "Digital Literacy Essay Competition", yap, lomba menulis essay.
Saya mengikuti acara itu atas dorongan kepo, ingin tahu bagaimana rasanya ikut lomba, dan bagaimana kiranya penilaian juri terhadap karya saya. Tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar, dan menulis.
Sub tema yang disediakan panitia cukup menarik, antara lain: pendidikan, sains dan teknologi, sosial budaya, ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan. Jujur, dari semua itu, satupun tidak ada yang pernah saya dalami.
Tapi yang sekiranya bisa diraba-raba adalah sub tema "Pendidikan". Karena selama 12 tahun lebih saya sudah berkecimpung di dunia pendidikan, walaupun hanya jadi peserta didik, setidaknya tahu lah kondisi pendidikan di Indonesia.
Hemat saya, pada awal Februari 2021 adalah hari terakhir pengumpulan karya, dan semua peserta tinggal menunggu tibanya hari pengumuman. Termasuk saya, tapi saya tidak merasa menunggu, lawong motivasinya ikut lomba hanya kepo, tidak lebih.
Saat itu, selepas ibadah Jumat, notifikasi whatsapp di handphone saya bunyi terus. Ternyata dari grup yang isinya peserta dan panitia lomba essay. Pesan yang belum dibuka sudah numpuk banyak, dan pantas saja, setelah dibuka ternyata ada informasi hasil penilaian juri disambung dengan pengumuman sang juara.
Saya sudah tahu kalau saya tidak akan jadi juara, jadi melihat saya diurutan pertengahan, tidak membuat hati saya sakit, apalagi sedih yang berlarut-larut. Sama sekali tidak. Saya terima dengan legowo, sambil membatin "oooh jadi begini ya.. rasanya ikut lomba essay".
Saat itu, via grup whatsapp, banyak yang bertanya-tanya seputar lomba, tapi menurut saya semua pertanyaan sudah terjawab di buku panduan lomba, jadi saya tidak menyimak keributan di grup whatsapp tadi. Sampai tadi siang (20 Maret 2021), grup yang hampir satu bulan sepi itu ada notifikasi dari salah satu peserta.
Ia bertanya tentang publikasi dan hak cipta karya. Dan lagi-lagi apa yang ia tanyakan sebenarnya sudah terpampang dalam buku panduan lomba. Walaupun yang masalah publikasi belum dibahas di buku panduan, tapi hari itu sudah dijawab oleh panitia lomba.
Tapi ia tak puas dengan jawaban panitia, dan percekcokan dimulai. Beberapa panitia dan peserta juga ikut nimbrung. Yang kebanyakan membela keputusan panitia, kecuali yang bertanya sadi. Usut punya usut, akhirnya ia menyebutkan profesinya "saya ini guru Bahasa Indonsia" katanya. Wow!
Tidak perlu saya sampaikan secara spesifik, intinya apa yang ia inginkan itu sebenarnya baik, namun panitia juga punya wewenang dalam menentukan kebijakan. Apalagi semua peserta lomba menyetujui hal itu dan menandatangani surat pernyataan diatas materai.