Mohon tunggu...
Abdullah Zain
Abdullah Zain Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Mahasiswa Universitas Diponegoro

In Harmonia Progressio

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pola Hubungan Desa-Kota yang Buruk, dari Pandangan Anak Desa

17 Maret 2021   14:21 Diperbarui: 17 Maret 2021   14:27 1232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: unsplash.com/Robert Collins

PEMBUKA

Dalam perkembangan budaya, sosial, dan ekonomi bangsa Indonesia tidak terlepas dari hubungan interaksi antara desa dan kota. Desa dengan kekayaan alamnya, dan kota dengan gemerlap teknologi, juga sifat konsumtif masyarakatnya yang tinggi.

Secara kasat mata, hubungan interaksi antara desa dan kota ini berjalan dengan baik. Masyarakat desa mendapat keuntungan dalam menyuplai kebutuhan yang diperlukan di kota, dan masyarakat kota dapat tercukupi kebutuhannya.

Hasil dari industri yang ada di kota pada akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat desa, dalam hal itu dapat mendorong masyarakat desa untuk lebih melek teknologi. Begitu juga dengan tuntutan permintaan pasar di kota juga dapat meningkatkan kualitas produk dari desa.

Fenomena seperti yang disebutkan diatas juga dapat menjembatani sekat pergaulan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota. Walaupun tidak seluruhnya, hanya sebagian kecil, terutama mereka yang terlibat secara langsung dalam proses interaksi.

Namun hubungan yang sudah dianggap baik tadi tidak menunjukkan corak polarisasi yang signifikan dalam membangun kemajuan di desa, baik secara budaya, sosial, dan ekonomi. Hal ini patut menjadi pertanyaan, mengapa desa selalu ada di posisi kurang maju dari pada kota? Dalam artikel ini akan dibahas berdasarkan kacamata sosial anak desa.

PEMBAHASAN

Banyak anak yang terlahir di desa (termasuk saya) untuk mencapai pendidikan yang lebih baik, dikirim oleh para orang tua mereka ke kota. Sudah pandangan yang umum bahwa pendidikan di kota jauh lebih baik dari pada di desa, terutama tingkat perguruan tinggi. Rata-rata di desa tidak ada yang namanya perguruan tinggi, kalaupun ada, kualitasnya jauh lebih rendah dari pada yang ada di kota.

Dalam tahap pertama tadi sudah cukup untuk membuka pandangan anak desa yang berkuliah di kota. Mereka mengetahui peluang yang lebih baik untuk bekerja dan tinggal di kota. Meninggalkan kampung halaman, desa, yang penuh dengan keterbatasan.

Tak jarang anggapan tersebut merembet kepada pemuda desa yang lain, termasuk yang tidak berkuliah pun. Ketika mencari kerja, mereka berbondong-bondong pergi ke kota. Bekerja dengan sistem kontrak, syukur-syukur diangkat menjadi pagawai tetap jauh lebih menjanjikan dari pada harus mengadu nasib di desa, yang gitu-gitu aja.

Fenomena urbanisasi adalah bentuk hubungan antara desa dan kota yang juga dapat berdampak buruk. Karena desa akan kekurangan penduduk usia produktif, dan kota akan kelebihan penduduk, membludak, hingga berdampak kemacetan, meningkatnya tunawisma, pengangguran dan kejahatan.

Balik lagi ke pertanyaan yang ada di pembukaan tadi, mengapa desa selalu ada di posisi kurang maju dari pada kota?

Poin pertama sudah jelas, dampak urbanisasi telah membuat desa kekurangan, atau bahkan kehilangan penduduk usia produktif, juga penduduk yang mungkin memiliki potensi dan kualitas yang baik. Maka desa hanya digarap oleh para generasi tua yang bisa dibilang sudah tidak produktif lagi dengan segala keterbasannya.

Berikutnya tentang para orang desa yang telah tinggal untuk mengadu nasib di kota, kebanyakan dari mereka hidup lebih enak, dan berkecukupan dari pada keluarganya yang ada di desa . Pada umumnya mereka ini ketika sudah tua, pensiun, akan pulang untuk menikmati hari tua di kampung halamannya, desa.

Pola seperti itu akan terus berlanjut, yang secara sosiologis akan sangat merugikan desa. Hanya kebagian sisi buruknya, menanggung beban kembalinya orang-orang yang pulang dari kota diusia yang sudah tidak produktif lagi. malah bisa jadi merepotkan.

Wajar saja kalau desa sangat lambat untuk maju. Pemuda harapan desa kurang memperhatikan kampung halamannya sendiri, lebih memikirkan diri sendiri, untuk mengadu nasib di kota. Dan tanpa rasa bersalah, akan kembali ke desa dengan kondisi yang sudah tidak produktif, tidak dapat berbuat banyak lagi untuk desanya, cenderung malah merepotkan desa.

KESIMPULAN

Kalau istilah jawa "bali deso bangun deso", atau kembali ke desa untuk membangun desa. Sikap seperti itu yang kurang dimiliki oleh para pemuda desa yang sudah pernah menuntut ilmu atau merantau di kota. Sinergi antara desa kota dalam hal ekonomi memang cenderung berdampak baik, namun untuk kondisi sosial, masih sangat kurang. Desa masih selalu dinilai kurang maju dari pada kota. Padahal kota bisa maju juga karena kontribusi dari para penduduk desa yang mengadu nasib disana, yang melupakan naib desanya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun