Menjelang subuh Ujang datang dengan kondisi teler, nampaknya ia bawa buah tangan.
Sial, ternyata sebotol anggur di tangan kiri, dan sebatang rokok di tangan kanan.
Pria yang digadang-gadang dapat mengentaskan keluarga dari jurang kemiskinan itu sama saja.
Sama saja dengan bapaknya yang malah menyeret ke jurang yang lebih dalam.
Surti hanya memendam kepedihannya dalam-dalam.
Ia ingat betul ketika dulu memadu kasih dengan bapaknya Ujang.
Persis seperti Ujang masa kini.
Kepala batu, pembangkang, liar, kasar, dan tebal hati.
Surti selalu mendepak jauh-jauh kemurkaannya.
Ia hanya sabar menyelimuti hati dengan kelembutan.
Lamun cobaan yang berliku nan terjal, Surti menyempatkan untuk menghadap sang kuasa.
Menyelinap di sepertiga malam, memohon ampun dan meminta rahmat.
Ujang kembali pulang, matanya terbelalak melihat Surti yang sedang berdoa.
Terdengar jelas nama Ujang disebut dalam doanya, sekejap hatinya mulai belingsatan.
Merasa sejauh ini telah menggempur habis-habisan hati sang Ibu.
Tak terbendung lagi, air matanya mulai menderas, bibir bergetar seraya berucap "Ujang minta maaf buuk..."
Puisi sebelumnya: Amarah Telah Usai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H