"Bagimu agamamu, bagiku agamaku"
Judul yang terpampang sudah jelas, sangat sarat dengan nilai toleransi. Sebagai rakyat Indonesia saya sangat bangga dapat menulis ini. Bukankah demikian, untuk mewujudkan lima pilar Pancasila, khususnya sila ke-3 yang berbunyi "Persatuan Indonesia", sudah selayaknya kita saling menjaga, merawat, dan memupuk sikap toleransi antar umat beragama.
Toh kita juga bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang mana kebhinnekaan adalah realitas bangsa Indonesia yang tidak dapat dipungkiri, terdapat perbedaan suku, ras, bahasa, agama, politik, hingga budaya. Dan Tunggal Ika sebagai cita-cita untuk mempersatukan perbedaan itu semua.
Pemerintah juga tidak main-main akan hal ini. Dalam satu negara, Indonesia berani mengakui enam agama sekaligus, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Hal itu tertuang dalam Pasal 1 UU PNPS No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Maka sepatutnya kita harus turut serta dalam mewujudkan komitmen pemerintah diatas, dengan saling merangkul, dan tidak mendiskriminasi. Bulan lalu agama Konghucu yang punya hajad, yaitu hari raya Imlek. Walaupun pandemi, acara tetap dapat berjalan dengan lancar, tertib, dan tanpa kendala.
Dan besok, tepatnya tanggal 14 Maret 2021, giliran agama Hindu yang punya hajad, yaitu hari raya Nyepi. Biarpun acara keagamaan dilakukan dengan cara menyepi, namun bukan berarti umat Hindu tidak terdampak atas musibah pandemi. Ini adalah kali kedua umat Hindu menyambut tahun baru Saka di situasi pandemi.
Karena ada beberapa rangkaian dalam melaksanakan ibadah nyepi. Antara lain ada upacara melasti, meracu: yang identik dengan festival ogoh-ogoh, nyepi, dan ngembak geni: kunjungan ke sanak saudara. Semua rangkaian itu tetap dihimbau untuk melakukan pembatasan. Sama seperti hari raya agama lain ketika pandemi.
Dalam acara nyepi, umat Hindu melaksanakan "Catur Brata" penyepian, yang terdiri dari amati geni (tidak mengumbar amarah, dan tidak menggunakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mengumbar hawa nafsu, dan tidak menikmati hiburan).
Hal itu dilakukan supaya bisa fokus dalam beribadah, membaca kitab suci, dan berpuasa selama 24 jam tanpa makan dan minum. Sebagai orang yang tidak beragama Hindu, saya salut dengan aturan catur brata penyepian tadi.
Dengan menjalankan catur brata, manusia dapat secara utuh merasakan, sadar, dan memaknai hakikat sebagai makhluk dengan sepenuhnya. Tanpa terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau keduniaan.
Bayangkan saja, kita sebagai manusia begitu lekat dengan yang namanya amarah, nafsu, teknologi (handphone), dan kesibukan dalam dunia bekerja. Kita sampai kehabisan waktu untuk memahami diri kita ini siapa, diciptakan untuk apa, dan kelak akan kembali kepada siapa?
Kita sangat terlena dengan kecanggihan smatphone, hingga jika tidak menyentuh sehari saja rasanya gelisah, ada yang kurang, sebenarnya apa yang terjadi dengan diri kita ini? Belum lagi masalah pekerjaan, kenapa pikiran kita berkutat disitu terus? Apakah hidup kita hanya untuk mengurusi hal tersebut?
Sifat-sifat keduniaan itu sangat mendominasi dalam diri kita,
Sebagai manusia yang tidak beragama Hindu, kita patut mengambil nilai esensial dari catur brata tadi. Meluangkan waktu sejenak untuk kembali menata diri, bertanya-tanya kepada diri sendiri tentang hakikat kita diciptakan sebagai manusia.
Walaupun sepenuhnya saya tidak tahu bagaimana cara umat Hindu beribadah, apa yang sebenarnya mereka cari ketika menyepi, nilai esensial apa yang ada dibalik aturan catur brata, tapi saya yakin, buntut dari semua itu pasti kebaikan, kedamaian, dan penuh cinta.
Teruntuk saudaraku yang beragama Hindu, selamat melaksanakan Hari Raya Nyepi, semoga selalu diberi kelancaran, dan keselamatan. Salam hangat dariku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H