Sebuah laporan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menggambarkan pencemaran planet saat ini yang disebabkan oleh plastik sebagai "krisis global" dan mengusulkan agar tindakan cepat dan terkoordinasi diambil untuk mengatasi masalah ini, karena sangat mendesak untuk mengurangi produksi sampah plastik global di lingkungan. Plastik sebenarnya adalah fraksi sampah laut terbesar, paling merusak, dan paling gigih, terhitung setidaknya 85% dari semua sampah laut, menurut makalah berjudul "Dari Polusi ke Solusi: Penilaian Global tentang sampah laut dan polusi plastik".
Plastik adalah polimer organik sintetik yang terbuat dari minyak bumi yang memiliki sifat-sifat yang ideal untuk berbagai kegunaan seperti pengemasan, bangunan dan konstruksi, peralatan rumah tangga dan olahraga, kendaraan, elektronik, dan pertanian. Lebih dari 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahun, setengahnya digunakan untuk membuat barang sekali pakai seperti tas belanja, cangkir, dan sedotan. Jika dibuang sembarangan, sampah plastik dapat merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati.
Setidaknya 14 juta ton plastik berakhir di lautan setiap tahun. Sampah  plastik saat ini merupakan jenis sampah yang paling melimpah di lautan, berjumlah sekitar 80% dari semua sampah laut yang ditemukan dari perairan laut dangkal hingga perairan laut dalam. Sampah plastik ditemukan di garis pantai setiap benua, dan di daerah tujuan wisata dan pemukiman padat penduduk  sampah plastik lebih banyak ditemukan.
Sejak tahun 1970-an, laju produksi plastik tumbuh lebih cepat daripada bahan lainnya. Jika tren pertumbuhan historis berlanjut, produksi global plastik primer diperkirakan akan mencapai 1.100 juta ton pada tahun 2050. Bahkan Pada tahun 2050, menurut perkiraan Yayasan Ellen Macarthur, lautan dapat mengandung lebih banyak plastik daripada ikan. Kami juga telah melihat pergeseran yang mengkhawatirkan menuju produk plastik sekali pakai, barang yang akan dibuang setelah sekali pakai. Sekitar 36 persen dari semua plastik yang diproduksi digunakan dalam kemasan, termasuk produk plastik sekali pakai untuk wadah makanan dan minuman. Karena pengolahan limbah plastik yang kurang memadai karena plastik adalah jenis bahan yang sulit terurai maka besar kemungkinan akan terbawa menuju laut.
Sumber utama sampah plastik yang ditemukan di lautan berasal dari daratan, berasal dari limpasan air hujan dan perkotaan, luapan selokan, pembuangan sampah sembarangan, pembuangan dan pengelolaan limbah yang tidak memadai, kegiatan industri, abrasi ban,dan konstruksi. Polusi sampah plastik berbasis laut terutama berasal dari industri perikanan, kegiatan bahari, dan akuakultur. Menurut Pusat Penelitian Bersama, limbah dari perikanan dan akuakultur merupakan 27% dari sampah laut. Di bawah pengaruh radiasi UV sinar matahari, angin, arus, dan faktor alam lainnya, plastik terurai menjadi partikel kecil yang disebut mikroplastik (partikel yang memiliki ukuran lebih kecil dari 5 mm) dan nanoplastik (partikel yang memiliki ukuran lebih kecil dari 100 nm). Ukurannya yang kecil memudahkan biota laut untuk menelannya secara tidak sengaja.
Polusi akibat sampah plastik adalah masalah serius yang mempengaruhi ekosistem laut. Hal ini mengancam berbagai sektor seperti kesehatan laut, kesehatan spesies laut, keamanan dan kualitas pangan, kesehatan manusia, pariwisata pesisir, dan juga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Dampak yang paling terlihat dari sampah plastik adalah menelan, mencekik, dan menjerat ratusan spesies laut. Satwa liar laut seperti burung laut, paus, ikan, dan penyu salah mengira sampah plastik sebagai mangsa, sebagian besar kemudian mati kelaparan karena perut mereka dipenuhi sampah plastik. Mereka juga menderita laserasi (luka pada kulit atau daging yang mengeluarkan banyak darah), infeksi, berkurangnya kemampuan berenang, dan luka dalam.Â
Mikroplastik telah ditemukan di air kran, bir, garam, dan ada di semua sampel yang dikumpulkan di lautan dunia, bahkan di Atlantik sekalipun. Beberapa bahan kimia yang digunakan dalam produksi bahan plastik diketahui bersifat karsinogenik dan mengganggu sistem endokrin tubuh, menyebabkan gangguan perkembangan, reproduksi, saraf, dan kekebalan tubuh baik pada manusia maupun satwa liar. Baru-baru ini, mikroplastik ditemukan di plasenta manusia, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ini merupakan masalah yang meluas.
Kontaminan beracun juga terakumulasi di permukaan plastik akibat kontak yang terlalu lama dengan air laut. Ketika organisme laut menelan puing-puing plastik, kontaminan ini masuk ke sistem pencernaan mereka, dan seiring waktu menumpuk di jaring makanan. Perpindahan kontaminan antara spesies laut dan manusia melalui konsumsi makanan laut telah diidentifikasi sebagai bahaya kesehatan, dan penelitian sedang berlangsung. Menurut para ilmuwan, mikroplastik dapat masuk ke tubuh manusia melalui pernafasan dan penyerapan melalui kulit dan menumpuk di organ. Namun, ada bukti substansial bahwa bahan kimia yang terkait dengan plastik, seperti metil merkuri dan zat penghambat api, dapat masuk ke dalam tubuh dan dapat menyebabkan terjadinya masalah kesehatan. Penyerapan  mikroplastik  oleh manusia melalui makanan laut kemungkinan akan membahayakan masyarakat pesisir dan masyarakat adat, di mana spesies laut merupakan sumber makanan utama. Hubungan antara paparan bahan kimia yang terkait dengan plastik di lingkungan laut dan kesehatan manusia tidak jelas. Namun, beberapa bahan kimia ini dikaitkan dengan dampak kesehatan yang serius, terutama pada wanita.
Produksi plastik memiliki dampak lingkungan antara lain, sampah plastik berasal dari bahan baku minyak bumi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca selama proses ekstraksi dan produksi. Selain itu, proses produksi plastik juga menggunakan energi fosil yang memberikan kontribusi pada perubahan iklim, sampah plastik menghasilkan emisi gas rumah kaca saat terurai di tempat pembuangan akhir atau saat dibakar, sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik juga dapat mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Hal ini dapat mempengaruhi ketersediaan sumber daya alam dan berdampak pada keberlangsungan hidup manusia dan hewan.
Sampah plastik yang terbuang ke laut dapat memiliki dampak negatif yang serius terhadap kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem laut. Beberapa dampak kesehatan yang mungkin terjadi akibat sampah plastik di lautan antara lain seperti sampah plastik yang masuk ke laut dapat menjadi jebakan untuk hewan laut seperti ikan, kura-kura, dan burung laut. Jika hewan laut ini memakan sampah plastik, maka plastik tersebut dapat masuk ke dalam sistem pencernaan mereka dan mengkontaminasi daging atau produk laut yang dikonsumsi oleh manusia.Â
Kemudian Sampah plastik yang terbuang ke laut dapat menjadi tempat berkembang biak bagi bakteri dan virus yang dapat menyebar penyakit, serta Sampah plastik yang terbuang ke laut dapat membusuk dan melepaskan gas berbahaya seperti metana dan karbon dioksida, yang dapat mencemari udara dan membahayakan kesehatan manusia.
Indonesia kekurangan infrastruktur untuk mencegah polusi plastik seperti sanitary landfill, fasilitas pembakaran, kapasitas daur ulang dan infrastruktur ekonomi sirkular, sistem pengelolaan dan pembuangan limbah yang tepat. Hal ini menyebabkan terlepasnya sampah plastik ke sungai dan laut. Perdagangan sampah plastik global legal dan ilegal juga dapat merusak ekosistem, di mana sistem pengelolaan sampah tidak memadai untuk menampung sampah plastik dan juga kualitas sampah plastik yang diperoleh buruk sehingga sulit untuk di daur ulang.
Sejak tahun 1970-an, laju produksi plastik tumbuh lebih cepat daripada bahan lainnya. Jika tren pertumbuhan historis berlanjut, produksi global plastik primer diperkirakan akan mencapai 1.100 juta ton pada tahun 2050. Kami juga telah melihat pergeseran yang mengkhawatirkan menuju produk plastik sekali pakai, barang yang akan dibuang setelah sekali pakai. Sekitar 36 persen dari semua plastik yang diproduksi digunakan dalam kemasan, termasuk produk plastik sekali pakai untuk wadah makanan dan minuman. Karena pengolahan limbah plastik yang kurang memadai karena plastik adalah jenis bahan yang sulit terurai maka besar kemungkinan akan terbawa menuju laut. diperkirakan 75 hingga 199 juta ton plastik saat ini ditemukan di lautan kita. Kecuali kita mengubah cara kita memproduksi, menggunakan, dan membuang plastik, jumlah sampah plastik yang memasuki ekosistem perairan bisa hampir tiga kali lipat dari 9-14 juta ton per tahun pada 2016 menjadi proyeksi 23-37 juta ton per tahun pada 2040
Dengan berbagai macam dampak yang disebabkan jika tidak dilakukan penanganan sampah plastik secara serius maka tidak menutup kemungkinan bahwa wilayah laut akan rusak karena seakan akan menjadi "Tempat Sampah" raksasa yang ada di bumi. Maka dari itu, upaya harus dilakukan untuk mematuhi dan memperkuat kerangka kerja legislatif internasional yang menangani pencemaran plastik laut. Yang paling penting adalah Konvensi 1972 tentang Pencegahan Pencemaran Laut dengan Membuang Limbah dan Hal Lain (Konvensi London), Protokol 1996 untuk Konvensi London (Protokol London) dan Protokol 1978 untuk Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL).
 Pemerintah dapat melakukan beberapa upaya seperti: mendorong masyarakat untuk menggunakan alternatif pengemasan yang ramah lingkungan, seperti kantong kain atau tas belanja yang dapat digunakan berulang kali; meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah yang ada, seperti mendaur ulang sampah plastik dan memperbaiki fasilitas pengelolaan sampah yang rusak; dan melakukan pengawasan dan pemeliharaan sungai dan pantai untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh sampah plastik.
Pemerintah, lembaga penelitian, dan industri perlu bekerja sama untuk mendesain ulang produk, dan memikirkan kembali penggunaan dan pembuangannya untuk mengurangi limbah mikroplastik dari pelet, tekstil sintetis, dan ban. Konsumen dan masyarakat harus beralih ke pola konsumsi yang lebih berkelanjutan. Ini akan membutuhkan solusi yang melampaui pengelolaan limbah dan mempertimbangkan seluruh siklus hidup produk plastik; dari desain hingga infrastruktur, dan penggunaan rumah tangga.
Juga meningkatkan anggaran untuk penelitian, dan inovasi harus tersedia untuk memberikan bukti yang dibutuhkan pembuat kebijakan, produsen, dan konsumen untuk menerapkan solusi teknologi, perilaku, dan kebijakan untuk mengatasi polusi plastik laut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H