Ketika Didi Kempot, seorang penyanyi yang khas dengan lagu-lagu Jawa meninggal dunia pada Selasa (5/5/2020) di Solo, bukan hanya kaum ambyar di Tanah Air yang berduka. Tetapi nun jauh di seberang, duka juga menyelimuti para penggemarnya yang warga negara Suriname. Di negara itu, Didi Kempot masyhur karena banyak keturunan Jawa yang menetap.
Cerita bermula pada akhir abad 19 silam. Mengutip jurnal ilmiah Julia Martnez dan Adrian Vickers berjudul Indonesians Overseas: Deep Histories and The View from Below, puluhan ribu orang Jawa dijadikan kuli kontrak di wilayah jajahan Belanda yang dahulu bernama Guyana Belanda.
Mereka dikapalkan secara bergilir mulai tahun 1890-an. Kapal yang membawa orang Jawa ke Guyana silih berganti datang sampai tahun 1939. Pemerintah Belanda menempatkan komunitas Jawa sebagai kuli perkebunan. Mereka datang hanya dengan kemampuan tenaga tanpa keterampilan hidup.
Generasi pertama Jawa di Suriname sebenarnya dijanjikan akan dikembalikan ke kampung halaman mereka. Namun hanya 8.000 orang yang kembali di Jawa. Sisanya menetap di Guyana, beranak pinak, dan menjadi warga negara Suriname setelah negeri itu merdeka tahun 1975.
Dari ribuan orang Jawa itu, 132 orang diantaranya ternyata berasal dari Lamongan. Kebanyakan dari Ngimbang, Kedungpring, dan Kembangbahu. Mungkin karena pada saat itu Belanda sudah banyak mempekerjakan mereka di perkebunan di wilayah Ngimbang dan sekitarnya.
Sampai saat ini foto dan data mereka masih disimpan di Arsip Nasional Belanda. Sebagian besar orang Lamongan ini berangkat ke sana awal tahun 1900-an, dengan masa kontrak lima tahun.
Dilihat dari data tinggi badan, buyut-buyut kita dulu kecil dan pendek-pendek. Yang perempuan banyak yang cuma 140-an cm. Yang laki-laki banyak yang cuma 150-an cm. Tampaknya karena kurang gizi. Mereka juga menikah di usia muda. Ada yang tertulis berumur 20 tahun tapi sudah bertatus "mbok."
Saat berangkat ke Suriname, mereka mungkin meninggalkan anak-anak di Tanah Air. Keluarganya juga barangkali tidak mengetahui secara pasti keberadaan meraka hingga bertahun-tahun. Karena kontraknya hanya sekitar 5 tahun, saat itu mereka pastinya berpikir akan kembali ke Lamongan.
Tapi sejarah berkata lain. Situasi politik yang kacau membuat hanya sebagian kecil yang bisa kembali ke Jawa. Banyak yang meninggal dunia di sana selama masa kontrak. Sebagian besar selesai kontraknya dan tetap tinggal di Suriname, berkeluarga di sana, dan memiliki keturunan.
Sebagian dari mereka sempat dipulangkan ke Hindia Belanda yang kemudian menjadi Indonesia setelah merdeka tahun 1945. Â Tapi mereka dikembalikan tidak ke Jawa, melainkan ke Sumatera Barat. Tapi karena di sini hidup mereka lebih sulit, akhirnya mereka minta kembali ke Suriname.
Data mereka di Arsip Nasional Belanda sebetulnya cukup lengkap. Ada data keberangkatan, perusahaan tempat bekerja, tanggal kematian, data keluarga mereka yang memutuskan tinggal di Suriname, dan sebagainya. Di sana mereka dipekerjakan di kebun tebu, kopi, kakao, pabrik gula, dan lain-lain.
Nama orang Lamongan berikut asal daerahnya tertulis jelas. Beberapa nama desa saat ini mungkin berbeda penyebutannya. Seperti Doongpring, sekarang bernama Kedungpring. Ada pula Bangbau yang sekarang bernama Kembangbahu.
Susanti menulis dalam Majalah Arsip Edisi 58 Tahun 2012, orang Jawa yang pergi ke Suriname memiliki kisah masing-masing tentang alasan mereka di Suriname. Sebagian dari mereka, berangkat ke Suriname memang bertujuan untuk memperbaiki nasib.
Mereka yang pada umumnya hidup dalam garis kemiskinan di pulau Jawa sudah mengetahui hal yang akan mereka kerjakan serta hal yang akan mereka dapatkan sebagai pekerja kontrak. Meski sebenarnya mereka juga tidak mengetahui secara pasti di belahan sebelah mana mereka akan dipekerjakan Belanda.
Namun, kata Susanti, ada juga beberapa orang Jawa yang dibohongi bahkan diculik, kemudian dikirim ke Suriname. Penculikan dilakukan dengan cara membohongi bahwa ada anggota keluarga yang ingin menemuinya, namun kemudian ia dibius. Ketika sadar, ia sudah berada di atas kapal yang membawanya ke Suriname.
Ada juga yang beralasan pergi ke Suriname karena jiwa petualangan untuk mengetahui daerah baru dengan kehidupan berbeda. Jadi keberangkatan orang Jawa ke Suriname ada yang dilakukan secara sadar dan ada pula yang tidak tahu apa-apa. (ufi)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI