“seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
–Pramoedya Ananta Toer
Mahasiswa kerap dianggap sebagai insan cendikia, berpikiran kritis serta berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat. Paradigma tersebut membuat kalangan mahasiswa menjadi salah satu entitas yang tak bisa terlepas dari masyarakat sehingga turut bertanggung jawab akan hadirnya kehidupan sosial yang adil dan sejahtera.
Berbagai bentuk sarana pengimplementasian peran mahasiswa terhadap masyarakat, baik dalam kampus maupun luar kampus, menjadi semakin bervariatif bentuknya. Salah satu sarana mahasiswa untuk menuntaskan peran terhadap masyarakat dapat berupa organisasi Pers Mahasiswa (Persma).
Dalam sejarahnya, Persma mempunyai peran aktif dalam perpolitikan dalam negeri. Pada periode awal Orde Baru, Persma dikenal melalui pemberitaannya yang lebih berani dan lebih kritis ketimbang pers umum (Arismunandar, 2012:8). Kala itu, Pers mahasiswa yang tergabung dalam Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) menjadi rujukan tidak hanya oleh mahasiswa universitas Persma bertempat, tetapi bahkan menyentuh masyarakat umum, pengamat politik sampai pejabat-pejabat negeri. Berkembangnya Persma kala itu memang tidak jauh dari idealisme yang dipegang sehingga berbagai pemberitaan berdasarkan kepentingan publik serta bersifat independen.
Tetapi, setelah berbagai pemikiran bebas nan kritis yang dilontarkan oleh aktivis Persma terhadap pemerintah, akhirnya pemerintah orde baru mengeluarkan konsep Back to Campus.
Konsep Back to Campus bahkan masih melekat sampai sekarang bagi beberapa organisasi Persma. Aktivis Persma memandang berbagai persoalan di kampus menjadi urgent untuk diketahui publik. Belum lagi, mahasiswa yang diperkenalkan dengan praktik politik melalui pemilihan birokrasi mahasiswa di kampus.
Bagi aktivis kampus, momen pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) baik tingkat fakultas maupun universitas menjadi wadah untuk mempraktikkan teori-teori serta kapabilitas organisatoris yang dimiliki. Tidak jarang berbagai Psy War, Black Campaign ditebar untuk mendukung ketua BEM piliha]nnya baik hanya sekedar kenalannya, ataupun saudara se-Ideologisnya.
Disinilah seharusnya tempat Persma berperan agar dapat meredam isu-isu negatif kampanye. Namun, tak jarang campur aduknya kepentingan politik kampus justru merambah ke ranah jurnalistik mahasiswa. Pemberitaan-pemberitaan tendensius nan provokatif justru ikut diterbitkan oleh Persma yang terjangkit oleh kepentingan politik kampus. Independensi yang telah dipegang oleh pendahulu pendahulu Persma pun lenyap dimakan kepentingan politik praktis kampus.
Tak hanya itu, Persma seharusnya menjadi pembelajaran serta antitesis dari media mainstream yang mudah disetir oleh kepentingan politik. Jika memang independensi aktivis pers mahasiswa tergadai oleh kepentingan politik praktis, tidak ada bedanya dengan media-media mainstream yang sering dikutuk oleh masyarakat karena tidak membawa kepentingan publik. Tetapi justru membawa kepentingan kepentingan politik. Pada posisi ini, kita patut mempertanyakan independensi pers mahasiswa dalam perpolitikan kampus.
Persma yang sehat tentu persma yang menjunjung kaidah jurnalistik serta memiliki independensi secara organisasi. Tetapi, ketika mempertahankan independensinya justru Persma acapkali dianggap sebagai musuh bersama bagi pihak-pihak yang mempunyai jabatan-jabatan penting dikampus. Dalam hal ini, kita sebagai insan pers tentu dituntut untuk turut mengambil sikap dalam perpolitikan kampus. Namun, kita sendiri tidak bisa menjadi pihak netral.
Netralitas hanyalah sebuah posisi yang tidak akan pernah ditemui baik dalam individu maupun organisasi. Tetapi, menjadi independen adalah suatu keharusan bagi sebuah Persma. Independensi pers sendiri merujuk pada tidak adanya tekanan atau pengaruh apapun diluar kepentingan publik dan hati nurani jurnalis ketika menyampaikan informasi pada publik (Tim AJI Jakarta, 2014:4).
Sehingga, dalam kaitan politik kampus pernyataan-pernyataan yang bersifat abusif, provokatif serta tendensi-tendensi lain harus segera dihilangkan dari jurnalisme mahasiswa. Aktivis Persma seharusnya meyakini bahwa pers mahasiswa adalah pers yang bersandar pada idealisme, pers yang kritis, sehingga punya potensi besar untuk melakukan perubahan (Supriyanto, 1998: 113).
Sehingga dalam hal ini, Pers semestinya tidak boleh menjadi alat praktisi politik kampus yang berjarak dengan kepentingan publik. Tetapi juga, pers tidak menggunakan kemandirian atau kebebasan yang bersifat partisan yang menyebarkan kebencian, permusuhan yang juga akan merugikan publik. Tentu dalam kaitannya dengan politik kampus, Persma mempunyai tugas yang berat. Selain menjadi peredam, penengah, sarana edukasi publik, Persma juga harus menjaga independensinya ditengah gegar politik kampus yang diisi oleh berbagai ideologi serta kepentingan. Sehingga, semuanya kembali lagi pada diri sendiri sebagai mahasiswa. Yaitu sebagai mahasiswa (kaum terpelajar) kita harus adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H