Mohon tunggu...
Abdullah Azzam Al Mujahid
Abdullah Azzam Al Mujahid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah

Suka bermain gitar, berpejalanan, membaca, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Konflik Agraria yang Tak Pernah Ada Habisnya: Mempertanyakan Peran Negara dalam Menghadapi Konflik Agraria

21 Agustus 2024   02:40 Diperbarui: 21 Agustus 2024   03:02 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Manusia, sebagaimana telah dikatakan, pada dasarnya, semuanya bebas, setara, dan mandiri, tidak ada yang bisa dikeluarkan dari tanah ini, dan tunduk pada kekuatan politik orang lain, tanpa persetujuannya sendiri."

-John Locke

Kemarin malam, tepatnya hari Senin 19 Agustus 2024, saya bertemu dengan seorang kawan yang berasal dari Kalimantan. Lantas saya bertanya dan berbincang lebih dalam, saling bertukar pendapat masing-masing tentang persoalan konflik Agraria. 

Ada beberapa sub topik yang menjadi perbincangan saya dan kawan saya malam itu, yang pertama adalah mempertanyakan seberapa pentingnya pembangun IKN, yang kedua adalah persoalan tambang, dan  soal perkebunan sawit. 

Di mana kedua sub topik itu memiliki dampak yang sama terhadap masyarakat lokal. Kita berdua tidak hanya membicarakan tubuh persoalan, tetapi menelusuri lebih dalam; mencari subtansi dan adakah urgensinya dalam keberlangsungan hidup masyarakat lokal. 

Pada persoalan pertama kita membahas soal tambang, perkebunan sawit dan mempertanyakan seberapa pentingnya tambang, dan perkebunan sawit bagi kehidupan masyarakat lokal. 

Menurutnya, pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan sawit memang memiliki keuntungan bagi masyarakat lokal, yakni pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan sawit akan menghasilkan lapangan pekerjaan yang tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal. 

Tetapi di sisi lain, dia juga menambahkan, bahwasannya lapangan pekerjaan tidaklah menjamin kesejahteraan hidup masyarakat lokal, alasannya adalah sebab pembukaan lapangan pekerjaan biasanya ditentukan dengan syarat-syarat yang penuh dengan pengalaman di bidangnya, yang di mana hal itu belum tentu dimiliki setiap individu dalam masyarakat lokal, sehingga kebanyakan lapangan pekerjaan memfokuskan mencari calon pekerja yang memenuhi syarat-syarat dari luar daerah, dan mengesampingkan masyarakat lokal. 

Saya pun sepakat dengan beberapa poin yang disampaikan, tetapi sedikit mengoreksi beberapa poin pertama. Menurut saya, janji terbuka luasnya lapangan pekerjaan hanyalah janji yang dibuat untuk menarik kepercayaan masyarakat lokal agar mau bekerja sama untuk menjadikan lahannya sebagai tempat tambang, ataupun perkebunan sawit. 

Alih-alih menyejahterakan ekonomi masyarakat lokal, banyaknya kegiatan tambang dan sawit justru menyengsarakan masyarakat lokal, dan berdampak buruk bagi kondisi lingkungan. Ironisnya, bukannya masyarakat lokal mendapatkan keuntungan dari hal tersebut, masyarakat lokal justru hanya mendapatkan nasib sial. 

Hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal oleh sebab rusaknya lingkungan akibat banyaknya kegiatan tambang dan perkebunan sawit. Dari nasib sial itu, lantas tidak menjadikan masyarakat lokal hanya berdiam diri. Menurut kawan saya, masih ada beberapa perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat lokal walaupun hasilnya mereka tetap kalah.

Lalu pada persoalan selanjutnya, yakni pembangunan IKN. Seberapa pentingnya pembangunan IKN? Menurutnya, pembangunan IKN ini berasal dari ide presiden pertama Republik Indonesia, yakni Ir Soekarno pada tahun 1957. 

Mengutip harian kompas, "Diberitakan Harian Kompas edisi 25 Januari 1997, Soekarno mempunyai visi bahwa sebaiknya ibu kota baru berada di luar Jawa, khususnya di Indonesia bagian timur." (Kompas.com). 

Selain itu, menurutnya, pembangunan IKN di Kalimantan juga merupakan keinginan langsung dari masyarakat Kalimantan untuk mewujudkan keadilan yang merata dan lain-lainnya.

Dalam persoalan ini, kawan saya tak lagi banyak berpendapat mengenai pembangunan IKN, sebab saya hanya menanyakan tentang bagaimana sikap dan respon yang sebenarnya dari warga Kalimantan, terutama Kalimantan Utara. Mengetahui sikap dan respon warga Kalimantan, dan kenyataan yang ada di lapangan tentunya membuat saya bertanya-tanya lagi. 

Pada kenyataannya, pembangunan IKN ini justru menimbulkan persoalan yang sama, yakni konflik Agraria. Lahan yang digunakan pemerintah untuk membangun IKN, di dalamnya terdapat beberapa masyarakat lokal yang tak setuju oleh sebab tanah atau lahannya yang juga merupakan lingkungan dan sumber mata pencaharian serta tempat tinggal mereka diambil alih oleh pemerintah dengan dalih kepentingan negara.

Tak dapat dipungkiri memang ada jaminan untuk hal itu yang diberikan oleh pemerintah. Tetapi ada beberapa hal lainnya yang membuat masyarakat lokal tak setuju dengan pembangunan IKN. Terutama soal tanah dan ruang hidup masyarakat lokal, yang menjadi sumber keberlangsungan hidup masyarakat lokal.

Mengutip Kompas, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat yang lahannya masuk ke Kawasan Pusat Inti Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak perlu gelisah dengan adanya pembangunan ibu kota baru.

Presiden Joko Widodo sendiri juga mengatakan bahwa sosialisasi pembangunan IKN kepada masyarakat terdampak sebenarnya sudah dilakukan. Hanya saja, diakui memang belum masif (Kompas.com).

Tetapi melihat kenyataan yang ada, tampaknya pemerintah masih tak serius untuk melakukan sosialisasi dan membangun komunikasi soal pembangunan IKN terhadap masyarakat lokal yang terdampak.

Kembali mengutip Kompas, sebelumnya, tim JEO Kompas.com melakukan liputan khusus di wilayah IKN dari 21 hingga 25 Mei 2022. Dalam penelusuran itu, ditemukan fakta bahwa masih banyak warga yang lahannya masuk ke dalam KIPP IKN, tetapi sama sekali tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi dari pemerintah.

Bahkan, ada warga yang mendapatkan informasi itu dari tetangga. Situasi itu memancing ketakutan warga setempat bahwa akan tergusur dan miskin di masa mendatang (Kompas.com).

Kenyataan-kenyataan dalam beberapa persoalan yang saya rangkum ini tentunya membuat saya bertanya-tanya, apa sebenarnya peran negara dalam persoalan sengketa tanah? Apa yang menjadi subtansi dan urgensi dari pembangunan IKN ini untuk kesejahteraan masyarakat lokal yang di mana juga merupakan pra-syarat membangun negara yang maju? Bukankah negara yang maju adalah yang tidak hanya melulu mementingkan pembangunan, tetapi juga mampu menyejahterakan warga negaranya, dengan kata lain membangun kesejahteraan warga negaranya? Dan apa subtansi serta urgensi yang menjadikan kegiatan tambang dan perkebunan sawit sebagai salah satu langkah untuk menumbuhkan ekonomi?

Menurut saya, negara belumlah mengerti perannya. Negara masih bingung dengan perannya. Antara membangun negara modern yang maju, dan kepentingan-kepentingan egois dari para oligarki, negara belumlah dapat membedakan kedua hal tersebut. 

Melihat pada kenyataanya, negara adalah sebuah hasil dari kontrak sosial atau kesepakatan bersama, maka sangat penting untuk negara memperhatikan kesejahteraan rakyatnya---yang merupakan pihak terlibat dalam kesepakatan kontrak sosial. 

Menurut John Locke, seorang filsuf kelahiran Inggris sekaligus ahli teori politik paling terkenal di abad ke 17, yang pada intinya mengatakan bahwa dalam kontrak sosial yang menghasilkan negara, semua masyarakat derajatnya sama, dan hak-hak asasi manusia setiap individunya haruslah dihormati dan dihargai. 

Dan di dalam UU yang mengatur jalannya negara juga terdapat jaminan atas perlindungan hak-hak asasi manusia setiap warga negaranya. Tetapi pada kenyataannya yang terjadi di lapangan, negara justru semakin jauh dari perannya yang sebenarnya; konflik agraria, merampas ruang hidup warga berarti merampas hak asasi manusia.

Saya berpikir dan berpendapat, bahwa negara haruslah kembali mempelajari perannya melalui pemerintah yang kompeten, berintegritas, dan bijaksana. Hal itu tidak harus dengan mengganti kepala negara atau para menterinya. Untuk mengetahui kembali apa peran negara, negara haruslah melakukan refleksi, dan pemerintah pun harus dapat menghindari kebijakan-kebijakan yang bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan bersifat egois dibalik dalih pembangunan negara yang maju. 

Negara, melalui pemerintah haruslah mengenal kembali perannya, bahwa kesejahteraan rakyat, kemerdekaan rakyat, menciptakan tatanan masyarakat dengan adil, setara, dan bijaksana merupakan pondasi paling dasar untuk membangun suatu negara yang maju dan lebih baik.

Persoalan konflik agraria bukanlah semata-mata hanya dilihat sebagai persoalan yang menghambat kemajuan atau pembangunan, tetapi harus dilihat sebagai pertanyaan bersifat alamiah yang ditujukan pada negara itu sendiri, sebagai kesimpulan atas persoalan bahwa masih ada yang salah dalam menjalankan, dan mengartikan peran negara yang sebenarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun