Jakarta (17 Sep.): Dari puluhan media --cetak dan elektronik-- di Jakarta, yang memiliki puluhan wartawan di Kupang, hanya harian Kompas yang menaruh perhatian pada penderitaan masyarakat di 150 desa di Prov. NTT, yang menderita kelaparan. Metro TV baru malam ini menyiarkan lewat satu kalimat pada moving text-nya bahwa 200 jiwa di Dhave, Aesesa, Ngekeo, NTT terpaksa makan singkong beracun.
Rakyat di sana, menurut Kompas (3/9), terpaksa menumbuk biji asam sebagai pengganti makanan pokok. Mereka sudah tidak bisa mendapatkan jagung, singkon, apa lagi beras, akibat kekeringan berkepanjangan.
Kenapa hanya Kompas yang mengangkat berita itu ke permukaan? Apa kerja wartawan berbagai media di Kupang? Mana tanggung jawab sosial mereka untuk menyuarakan penderitaan golongan masyarakat yang tidak punya suara?
Praktis apa yang terjadi di NTT bulan-bulan terakhir ini merupakan pengulangan atas peristiwa di sana tahun 2008. Waktu itu, Kompas memberitakan kelaparan di NTT, SCTV menyiarkannya, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil gubernur NTT waktu itu, yang menjawab, "Saya tidak terima laporan". SBY bertanya, apa kerja kau di situ? Dan saya menulis di Kompas, Juli 2008, "Anjing pun tak akan menggigit tangan yang memberinya makan."
Saya khawatir itu pula yang sekarang terjadi di NTT. Sejumlah wartawan dan media di provinsi itu sudah tidak berani menyiarkan berita tentang kelaparan di berbagai kecamatan di NTT karena mereka menerima "amplop", baik dalam bentuk tunai, iklan atau pun fasilitas dari pemerintah setempat.
Hampir di setiap media di Jakarta ada wartawan yang berasal dari NTT, apa reaksi mereka terhadap berita tentang kelaparan yang melanda provinsi mereka? Mana tulisan mereka?
Terhadap wartawan di Kupang, saya ingatkan, keputusan untuk tidak menyiarkan berita tentang kelaparan di tempat anda, menyembunyikan kebenaran tentang penderitaan rakyat banyak, bukan cuma pelanggaran etika jurnalistik, tapi kejahatan terhadap provesi anda.
Kekeringan memang sudah merupakan peristiwa tahunan di NTT dan banyak daerah di Indonesia, tapi bahwa rakyat di sana harus menumbuk biji asam jawa sebagai pengganti makanan pokok, jelas bukan peristiwa sehari-hari. Dan apa kerja para pejabat di NTT untuk mengatasi kekurangan air bersih/air minum yang sudah menahun di sana?
Seingat saya, di zaman Gubernur Ben Mboi, NTT pernah surplus beras. Kenapa rakyat NTT sekarang harus hidup seperti ketika terjadi paceklik di tahun 1930-an? Apa yang terjadi dengan APBD NTT dan subsidi dari Pemerintah Pusat? Sedikitnya, para wartawan di Kupang harus bisa melakukan investigasi dan mengungkap ketidak beresan pengelolaan mata anggaran belanja di sana.
Saya percaya masih ada wartawan profesional di Kupang yang punya tanggung jawab sosial untuk memberitakan masalah kelaparan yang melanda rakyat di 150 desa di NTT dan membuka mata para redaktur di Jakarta. Terima kasih. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H