Sudah lama saya menarik diri dari perbincangan soal hasil adaptasi buku. Lebih memilih untuk diam dan tak berkomentar, tetapi tetap mengikuti alur perbincangannya.Â
Sudah banyak novel favorit saya yang akhirnya dialih-mediumkan menjadi film. Dan sebagai pembacanya, saya selalu merasa senang kala mendengar kabar tersebut. Bagaimana saya melonjak antusias kala tokoh Ale dalam novel Critical Eleven diperankan oleh Reza Rahadian. Atau bagaimana ngebetnya saya ingin nonton semua seri Harry Potter. Atau bagaimana ekspektasi saya meluap-luap kala melihat trailer Life of Pi.
Saya selalu bahagia di awal, tapi kecewa di akhir.
Saya nyaris selalu tak bisa menamatkan film adaptasi yang saya tonton. Kasusnya nyaris 90% di mana saya mandek nonton di tengah-tengah film. Kenapa? Ini yang akan saya bahas.
1. Buku dan Film
Sudah jelas buku dan film sangat lah berbeda. Keduanya unggul dan lemah di bagian masing-masing.
Jika buku menyediakan 'panggung' yang demikian luas untuk mementaskan berbagai peristiwa, maka film tidak. Jika buku dapat memasukkan detail sekecil apa pun, kesan sedalam apa pun, emosi sekompleks apa pun, maka film tidak. Karena film dibatasi oleh frame bernama durasi dan keefektifan penyampaian.
Namun, justru karena durasi itu lah, film diuntungkan dengan batas kelogisan yang tidak begitu diributkan. Berbeda dengan buku, di mana pembaca lebih kritis serta menuntut penjelasan untuk setiap kejadian yang berlangsung.
Sebagai contoh novel dan film Life of Pi. Di filmnya, penonton mungkin tak akan mempermasalahkan bagaimana Pi Patel, bisa hidup selama tujuh bulan lebih di atas sekoci bersama seekor Harimau Bengal. Tapi di buku, penulis jelas harus memaparkan sebab-sebabnya. Bagaimana Pi sebelumnya memang sudah belajar tentang Zoologi. Ayahnya yang seorang pemilik kebun binatang. Dan sebagainya, dan sebagainya.
2. Sulit dan Menjanjikan
Mengadaptasi sebuah cerita yang sudah dipublikasikan, tak beda dengan dua sisi mata uang. Di satu sisi, film adaptasi merupakan proyek prestisius nan menggiurkan. Sebab cerita yang diusung sudah memiliki penggemarnya tersendiri. Penggemar-penggemar itulah yang bakal jadi calon penonton di bioskop nanti.
Akan tetapi, di sisi lainnya, mengadaptasi sebuah cerita menjadi film tidaklah mudah dan murah. Rumah produksi harus berurusan dengan berjibun masalah teknis terkait hak adaptasi. Setelah hak adaptasi dikantongi, mereka harus pandai-pandai 'memasak' naskah menjadi script film. Itu bukan pekerjaan mudah, sebab pada umumnya cerita di buku lebih kompleks dan rumit untuk diadegankan. Itu pula yang menjadikan biaya produksi film adaptasi, akan lebih besar ketimbang film non-adaptasi.
Mengadaptasi sebuah cerita sama saja tengah berjudi dengan resiko. Karena sekali hasil adaptasi gagal memuaskan penonton, alih-alih keuntungan, kerugian lah yang akan didapat.
3. Pembaca yang Berekspektasi
Kembali ke kacamata pembaca. Pembaca itu pasti, sekali lagi saya katakan, pasti membuat minimal satu harapan saat cerita favoritnya difilmkan. Naluri tersebut timbul dengan sendirinya dan kadang tak bisa dibendung. Hanya saja ada yang bisa mengendalikan harapan mereka, dan ada pula yang tidak.
Saya masuk pada pembaca kategori pertama.
Saya tahu buku dan film adalah dua medium yang berbeda. Saya tahu tidak mungkin memasukkan semua unsur yang ada di buku ke dalam film. Saya tahu betapa sulit dan mahalnya pembuatan film adaptasi itu. Tapi entah kenapa, fakta-fakta tersebut tak bisa membuat saya legowo saja, jika cerita di film melenceng jauh. Saya akan berseru bertanya kenapa tokoh A si ini atau tokoh B si itu. Saya akan tetap mempertanyankan sebab adegan itu dihilangkan atau adegan itu ditambahkan.
Akan tetapi, sikap tidak menerima, seruan kesal, pertanyaan-pertanyaan, kejengkelan, atau apa pun itu, saya pendam dalam hati. Paling jauh mungkin akan saya tuliskan di buku. Sebab apa? Saya rasa sebabnya sudah saya jelaskan.
Saya akan lebih memilih untuk tak menonton film itu, daripada ketika menontonnya saya mencela habis-habisan karya yang dibuat dengan kerja keras. Saya akan lebih memilih untuk mencukupkan diri pada novelnya saja, tanpa harus menyaksikan visualisasinya.
Hal itu sering terjadi, di antaranya pada series Harry Potter, Narnia, The Hunger Games, Ayat-ayat Cinta, Critical Eleven, Bidadari-bidadari Surga, Perahu Kertas dan banyak novel lainnya.
Sungguh bukan hal yang saya inginkan terjadi bila novel yang saya sukai, hanya karena dipindah ke medium yang berbeda, lantas membuat saya berubah mencacinya.
Kalau kalian bagaimana? Silahkan bercerita di kolom komentar. Siapa tahu bermanfaat.
Salam,
Abdullah S.N
Visit my blog for more : https://thesecondwings.blogspot.com/2018/10/ironi-film-adaptasi.html?m=1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H