Mohon tunggu...
Abdul Kodir Alhamdani
Abdul Kodir Alhamdani Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIS AS-SA'ADAH SUMEDANG

Menulis, Melamun, Bermimpi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontroversi Batas Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden RI

16 Oktober 2023   23:20 Diperbarui: 16 Oktober 2023   23:21 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontroversi batasan usia calon presiden dan  wakil presiden (capres dan cawapres) berakhir dengan ditolaknya permohonan yang diajukan Almas Tsaqibbirru, mahasiswa FH Universitas Negeri Surakarta, dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 Dalam putusan tersebut, Mahkamah menerima sebagian permohonan peninjauan kembali Pasal 169 ayat q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Diterima sebagian atas permintaan pemohon. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menetapkan "usia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. tidak dapat ditafsirkan "sekurang-kurangnya berumur 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang memangku jabatan terpilih dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah," kata Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman saat membacakan putusan, Senin. (16 November). ). /Oktober 2023) di dalam kamar. Sidang Paripurna MK.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan hakim konstitusi, Bapak. Guntur Hamzah, Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

"Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun," terang Guntur.

Artinya, Guntur melanjutkan jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalang perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial.

"Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki atau pemah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden atau wakil presiden," papar Guntur.

Pengalaman Jabatan

Guntur menyampaikan andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubemur, Bupati, dan Walikota) tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih ada dua syarat konstitusi yang harus dipenuhi, yakni syarat dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai dan syarat dipilih  langsung oleh rakyat. Jadi, sekalipun seseorang mempunyai pengalaman sebagai pejabat publik, ia tidak dipromosikan atau dicalonkan oleh partai politik peserta atau gabungan partai politik. Tentu saja peserta pemilu tidak bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden. Lebih lanjut, apabila seseorang diusung atau dicalonkan oleh partai politik atau sekelompok partai politik peserta pemilu, tentu harus memenuhi syarat konstitusi sebagai berikut, khususnya Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih  langsung oleh rakyat secara berpasangan. Oleh karena itu,  calon presiden dan wakil presiden yang telah berumur 40 (empat puluh) tahun ke atas tetap dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Sedangkan calon calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden sepanjang mereka mempunyai pengalaman menjabat atau pernah  menduduki jabatan resmi terpilih pada Pemilihan Langsung sebagai  anggota DPR. , anggota DPD, anggota DPRD, gubernur, bupati, atau walikota, tetapi tidak termasuk pejabat yang ditunjuk, seperti penjabat atau pejabat sementara, dan sebagainya. "Bagi pejabat yang baru dilantik, dapat dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden melalui pintu depan, khususnya yang telah berusia 40 tahun," kata Guntur. Dua pintu masuk

Lanjut Guntur, menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa pengalaman pernah atau sedang memegang jabatan terpilih bagi calon presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun, namun mensyaratkan hal tersebut tidak  merugikan calon presiden dan wakil presiden tersebut. . dari usia 40 tahun atau lebih. Sebab, syarat usia calon presiden dan wakil presiden harus berdasarkan prinsip menciptakan peluang dan menghilangkan batasan (memberi peluang dan menghilangkan batasan) secara wajar, adil, dan bertanggung jawab. Mengenai masalah ini. Penting bagi Mahkamah untuk memastikan bahwa kontestasi dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung, terbuka, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa hambatan, karena persyaratan usia cukup 40 (empat puluh) tahun.

"Oleh karena itu, ada dua 'titik tolak' mengenai syarat usia dalam baku pasal 169 huruf q UU7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau menduduki jabatan terpilih. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini. Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian apabila salah satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden," tandas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar tersebut.

Guntur melanjutkan, berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan memperhatikan permohonan pemohon dalam permohonan alternatif, khususnya "ex aequo et bono" yang tercantum dalam  permohonan pemohon, dan untuk menjamin kepastian dari segi hukum, menurut Mahkamah, sudah tepat pengertian dari permohonan tersebut. konstruksi menurut standar yang berlaku harus berusia minimal 40 (empat puluh) tahun atau memegang jabatan terpilih dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.

Oleh karena itu, lanjut Guntur, karena kepemimpinan daerah di tingkat provinsi dan kota saat ini menjadi model bagi jabatan-jabatan terpilih dalam pemilihan umum, maka secara keseluruhan standar yang berlaku saat ini adalah: "harus berusia minimal 40 (empat puluh) tahun". atau pernah/sedang menduduki jabatan terpilih dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang disebutkan dalam putusan status quo akan berlaku mulai pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024. Yang penting, Mahkamah harus menegaskan hal ini  agar tidak ada keraguan sebagaimana terhadap penerapan pasal a quo dalam menentukan persyaratan usia minimal calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam keputusan a quo.

Oleh karena itu, jelas Guntur, berkenaan dengan makna norma dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu, penting bagi Mahkamah untuk menekankan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas yang sama namun karena permohonan tidak tidak sama. Pada beberapa keputusan prinsip sebelumnya, hal ini berdampak: jika keputusannya tidak sama, maka keputusan terbaru yang akan berlaku. Artinya, keputusan status quo akan segera menggantikan keputusan sebelumnya. Pemahaman ini sesuai dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, penafsiran konstitusional terhadap putusan status quo berlaku atas putusan yang dibacakan sebelumnya mengenai masalah konstitusi yang sama, dan putusan status quo tersebut kemudian menjadi landasan konstitusional baru bagi peraturan tersebut.Pasal 169 huruf q UU Pemilu mulai berlaku. keputusan. dinyatakan dalam persidangan umum.

"Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, ternyata pengaturan dalam pasal 169 ayat q UU 7/2017  jelas menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat diterima. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan dalam pasal 169 ayat q UU 7/2017 harus dinyatakan inkonstitusional dengan syarat tidak memenuhi maksud yang tercantum dalam  putusan a quo.Penjelasan Mahkamah  tidak menerima seluruh gugatan penggugat. , sehingga gugatan penggugat sebagian sah. wajar," kata Guntur. Harus ditolak

Dalam putusan tersebut, tiga hakim konstitusi memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dan dua hakim konstitusi memberikan alasan berbeda (concurring opinion). Ketiga hakim konstitusi yang berbeda pendapat tersebut adalah Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya mengatakan, seharusnya Mahkamah menolak permohonan penggugat.

Saldi di awal pendapatnya menyebut putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 merupakan peristiwa "aneh" dan "tidak biasa" yang  dapat dianggap melampaui batas nalar.

Pengadilan segera mengubah pendirian dan sikapnya. Sebelumnya, dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah dengan jelas, lugas, dan tegas menyatakan bahwa standar usia dalam  Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan. Dia.

"Padahal, disadari atau tidak, ketiga keputusan tersebut telah mempersempit ruang gerak selain tindakan yang dilakukan oleh anggota parlemen. Apakah pengadilan telah mengubah pandangannya? Memang ada, namun tidak pernah  secepat ini,  perubahan terjadi hanya dalam beberapa hari. Perubahan tersebut tidak sekedar menggantikan keputusan-keputusan sebelumnya, tetapi didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah diperoleh fakta-fakta penting yang berubah di  masyarakat. Yang menjadi pertanyaan adalah fakta penting apa yang telah diubah oleh masyarakat hingga Mahkamah mengubah pendapatnya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan putusan menolak dan mengubah menjadi menyetujui putusan pada putusan a. Hadiah? kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

Lebih lanjut Saldi membeberkan kronologis proses pengambilan keputusan dan susunan hakim konstitusi yang bertugas menyelesaikan perkara tersebut. Total, ada puluhan permohonan pemeriksaan batasan usia minimal  calon presiden dan wakil presiden sesuai standar pasal 169  q UU pemilu, yang terbagi dalam dua gelombang; Ketiga perkara di atas (nomor berkas 29-51-55/PUU-XXI/2023) merupakan permohonan atau pengajuan gelombang pertama, sedangkan berkas nomor 90-91/PUU-XXI/2023 termasuk dalam permohonan atau pengajuan gelombang pertama. .rekor gelombang kedua. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)  memutus perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023  tanggal 19 September 2023, RPH memanggil delapan hakim konstitusi tanpa kehadiran Wakil Ketua Hakim Konstitusi  Anwar Usman. Hasilnya, enam hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 sepakat menolak permohonan dan tetap mempertimbangkan pasal 169 ayat q UU Pemilu terbuka. mekanisme. kebijakan hukum bagi pembuat undang-undang. Sedangkan dua hakim konstitusi lainnya memilih pandangan berbeda (dissenting opinion). Saldi mengatakan, pada RPH selanjutnya, sejumlah hakim konstitusi pada perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menilai pasal 169 huruf q UU Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka terhadap pembentukan undang-undang (opening legal policy). ), tiba-tiba menunjukkan "ketertarikan" terhadap model alternatif yang diminta dalam berkas Nomor 90/PUU-XXI/2023. Padahal, model alternatif yang dimohonkan pemohon dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada hakikatnya dihadirkan sebagai kebijakan hukum terbuka dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. . Belum lagi pemohon dalam perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 mencabut permohonannya dan kemudian mencabut permohonannya keesokan harinya. Sehubungan dengan hal tersebut, Pengadilan tidak punya pilihan selain menjadwalkan sidang di hadapan panitia untuk menguatkan Surat Penarikan dan Surat Penarikan yang dikirimkan kepada Penggugat. Saldi membeberkan misteri pembatalan pencabutan yang terjadi hanya berselang satu hari, sebagian dari 97 hakim konstitusi putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 ada pada posisi Pasal 169, huruf q UU 7/2017, sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk undang-undang, "berubah haluan" dan berdiri pada posisi akhir dengan "mengabulkan sebagian" berkas Nomor 90/PUU-XXI/2023.  Saldi juga menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dijelaskannya, kelima hakim konstitusi yang duduk di gerobak "dikabulkan sebagian" itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni tiga hakim konstitusi yang sepakat untuk memasangkan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan "atau sedang/sedang memegang jabatan terpilih". melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Sementara  dua hakim konstitusi lainnya hanya menafsirkan permohonan pemohon "pernah menjabat atau sedang menjabat gubernur." Tak berhenti sampai disitu, kedua hakim konstitusi tersebut disebutkan masih tetap berpegang pada prinsip "open legal policy" dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang sebanding atau alternatif. Ia menyinggung soal seleksi pelayanan publik berupa pejabat terpilih, termasuk pemilihan kepala daerah yang lima di antaranya bersinggungan atau titik gelap jabatan gubernur. Oleh karena itu, sebaiknya putusan lima hakim konstitusi yang hadir di dalam bus tersebut "mengabulkan sebagian"  jabatan gubernur. Dengan adanya pilihan Amar tersebut, maka Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dimaknai "Syarat-syarat untuk menjadi calon presiden dan  wakil presiden adalah: harus berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan terpilih dalam pemilihan umum, termasuk pemilihan pimpinan daerah" harus ditolak atau tidak dapat diterima dalam arti "diterima sebagian".

Lebih lanjut, Saldi menegaskan, pembentuk undang-undang sudah jelas mengutarakan dan mempunyai keinginan yang sama dengan para pemohon, sehingga perubahan atau penambahan sistem tuntutan calon presiden dan wakil presiden  dilakukan melalui mekanisme legislasi review dengan melakukan perubahan undang-undang sesuai permintaan mereka. . Penggugat malah melemparkan "bola panas" tersebut ke Pengadilan. Sayangnya, ciri kebijakan hukum terbuka yang sederhana dan nyata ini justru dianggap sebagai "tuduhan politik" oleh Mahkamah dalam memutusnya.  "Jika pendekatan penanganan perkara  seperti ini terus berlanjut, saya sangat-sangat khawatir Mahkamah akan benar-benar terjebak dalam pusaran politik dalam mengambil keputusan atas isu-isu penting berbagai kebijakan yang pada akhirnya akan melemahkan kepercayaan dan legitimasi publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun