Sudah dimaklumi bahwa bank konvensional berkembang bersama datangnya para kolonial. Kesamaan masa antara pendudukan kolonial dengan berdirinya bank-bank ini di masyarakat islam membenarkan pendapat bahwa bank-bank tersebut dibangun dengan sengaja agar membantu penjajahan dengan menguasai perekonomiannya. Juga agar tertanam dihati masyarakat adanya ketidak sesuaian antara yang mereka yakini tentang pengharaman riba dengan realita yang mereka geluti yang tidak lepas dari riba. Demikian juga dibangun untuk menancapkan benih-benih keraguan tentang benar dan cocoknya syari’at islam di masa-masa kiwari ini.
[caption id="attachment_165163" align="alignright" width="135" caption="bank-syariah-ok"][/caption]
Namun Allah Ta’ala telah menjamin kebenaran syari’at-Nya dan memudahkan orang untuk berfikir ulang bahaya riba yang telah menimpa umat manusia dewasa ini. Akhirnya banyak orang yang berfikir untuk membangun bank-bank yang dibangun diatas sistem syari’at islam. Tentu saja tantangannya cukup berat karena harus meyakinkan masyarakat bahwa bank tersebut dapat menjadi solusi pengganti bank-bank ribawi. Karena itu perbankan syari’at harus mampu menunaikan hal-hal berikut ini:
- Bank syari’at harus mampu menunaikan semua fungsi yang telah dilakukan bank-bank ribawi berupa pembiayaan (Financing), memperlancar dan mempermudah urusan muamalaat, menarik dana-dana tabungan masyarakat, kliring dan transfer, masalah moneter dan sejenisnya dari praktek-praktek perbankan lainnya.
- Bank syari’at harus komitmen dengan hukum-hukum syari’at disertai kemampuan menunaikan tuntutan zaman dari sisi pengembangan ekonomi dalam semua aspeknya.
- Bank syari’at harus komitmen dengan asas dan prinsip dasar ekonomi yang benar yang sesuai dengan ideologi dan kaedah syari’at islam dan jangan sekedar menggunakan dasar-dasar teori ekonomi umum keuangan yang tentunya dibangun diatas dasar mu’amalah ribawiyah.
Merebaknya bank-bank syariah beberapa tahun terakhir ini merupakan sesuatu yang perlu d syukuri, namun d sisi lain patut d waspadai, jangan sampai hanya sekdar euforia, nilai syariah hilang dan berdampak pada sekedar label. Karena teori kadang beda dengan fakta di lapangn.
Sebagaimana Simpulan dari desertasi doktoral Dr. Bachruddin, MSi.,Bank Syariah masih setengah hati menjalankan prinsip-prinsip perbangkan syariah, demikian dalam acara diskusi Program Studi Manajemen, FE UII, di kampus FE UII Condong Catur.
Dalam penelitian itu teridentifikasi bahwa CAMEL memberi pengaruh dominan terhadap profit Bank Syariah. Ini artnya, demikian Bachruddin, Bank Syariah masih sama seperti dengan bank konvensional dalam menjelankan bisnisnya. Dengan kata lain, semestinya, secara teoritis, mudharabah dan musayarakah (M&M) menjadi produk inti bank syariah dan karenanya menjadi variabel-variabel dominan bagi bank syariah dalam meraih profit. Apa pasal? Karena ada empat penghambat menghadang: pertama, produk M&M berpotensi memunculkan resiko karena adanya agency-problem. Kedua, mayarakata (di negara berkembang) masih kurang dalam etika bisnis. Ketiga, pengusaha kurang menyukai, khususnya pada pembiayaan musayarakah, dan keempat, pihak bank bersikap risk-averse (menghindari resiko). Penghindaran terhadap resiko ini merupakan salah satu aspek yang sangat dikenal oleh perbankan umum atau bahkan menjadi landasan bagi kebijakan-kebijakan yang ditetapkan bank untuk kredit yang diberikan kepada para nasabahnya. Kenyataan ini mengundang tanya dari para peserta yang hadir (para dosen dari semua prodi yang ada di FE, UII): “mengapa bisa demikian?” “Apa yang salah?” Salah seorang peserta mencoba menjawab dengan mengatakan: “Mungkin anusianya (manajer dan karyawan bank syariah) perlu disyariatkan dulu sebelum mensyariatkan orang lain,” demikian Dr. Anas Hidayat, salah seorang peserta diskusi, memberi komentar. Pertanyaan lain yang muncul adalah: “Jika bisnis atau bank konvensional diarahkan untuk market-driven, maka apakah bank syariah harus market driven atau syariat driven?” Anas menjawab, jika bank syariah hendak menerapkan prinsip market diiven, maka perusahaan akan kesulitan dala menghadapi permintaan yang begit beragam dari berbagai karakter konsumen. Oleh karena itu, menurut Bachruddin, bank syariah hendaknya menerapkan syariah-diven. implementasi dari prinsip ini adalah perusahaan dapat megetahui kebutuhan dan keinginan konsumen, bersamaan dengann itu bank dapat mendidik para nasabahnya untk memahami dan akirnya memakai produk-produk syariah. Rekomendasi dari penelitian itu adalah, pertama, persyaratan modal dalam proyek pembiayaan Musyarakah hendaknya dalam porsi yang kecil, sehingga resikonya kecil. Kedua, dalam tata kelola pembiayaan M&M perlu dilandasi dengan Sistem Penilaian dan Pengawasan yang komprehensif sesuai dengan prinsip “Prudential Banking” dan "Syariah Complience”.
Saya kira perlu adanya pendidikan perbankan syariah yang benar benar islami d perguruan tinggi, agar SDMnya mnjadi profesional dan berakhlak mulia, begitu pun dengan birokrat negri ini, perlu ada training syariah agar terjadi resonansi positif pada semua pihak dan stekholder. Jangan sampai Bank syariah yang bertebaran hanya sekedar label, karena akan memperburuk citra bank syariah yang lain yang murni syariah. Ini juga saya kira yang menjadi faktor penghambat perkembangn syariah.
Mudah-mudahan ini menjadi spirit baru untuk menjadi lebih baik. Proses belajar itu memerlukan kritikan dan itu awal dari kebangkitannya. SYARIAH tetap syariah.
di terbitkan pula di http://ismailkarim86.wordpress.com/2010/06/12/jangan-sampai-bank-syariah-hanya-sekedar-label/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H