Dalam hukum Islam, baik yang diambil dari kandungan al-Qur’an maupun hadits, terdapat banyak ayat atau matan hadits yang membahas permasalahan perkawinan beda agama/golongan. Dari beberapa penjelasan sebelumnya, dalam melihat hukum nikah beda agama menurut pandangan Islam, terlebih dahulu harus dilakukan klasifikasi bentuk pernikahan tersebut. Dengan adanya penjelasan dan klasifikasi pernikahan yang terjadi, kita dapat menentukan hukum dari perkawinan tersebut, seperti perkawinan yang dihukumi haram, boleh atau bahkan di kedudukan hukum makruh.
Berikut beberapa aspek yang akan penulis bahas untuk melihat posisi dan hukum pernikahan beda agama/beda golongan dilihat dari beberapa aspek yang mempengaruhinya, yaitu:
Aspek Yuridis, pada aspek yuridis ditemui pengertian perkawinan itu pada Undang-Undang Perkawinan (UUP) tepatnya pada pasal 2 ayat (1) dinyatakan sebagai berikut:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Pasal ini ditafsirkan bahwa perkawinan dianggap sah jika dilangsungkan kepada para pihak. Maka jika pernikahan dianggap sah, negarapun menganggap sah pernikahan itu, begitu juga sebaliknya, jika pernikahan tidak dianggap sah oleh agama, maka negarapun tidak akan mengakuinya.
Pasal 2 ayat (1) UUP tahun 1974 ini dianggap menimbulkan permasalahan, karena dalam hal ini, negara memberikan kewenangan kepada aparaturnya untuk melakukan penilaian terhadap kepatuhan seseorang dalam bidang hukum, khususnya bidang perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat. Dimana diketahui bahwa penafsiran hukum agama dari agama, terdapat banyak perbedaan antara satu agama dengan agama yang lain. Perbedaanpun terkadang juga muncul dalam satu agama tentang penafsiran yang diberikan dalam memahami suatu hukum misalnya hukum pernikahan.
Hukum Islam, Menurut Mardani Hukum Islam dapat diartikan sebagai “Seperangkat aturan yang berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul (Nabi Muhammad) tentang tingkah laku manusia Mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat semua ummat yang beragama Islam”.
Dari penjelasan Mardani tersebut, maka hukum Islam adalah hukum yang mengikat orang Islam supaya taat dan patuh pada aturan hukumnya. Menjalankan hukum Islam sama halnya wujud dari ketaatannya kepada perintah Allah SWT. Kaitannya dengan perkawinan beda agama, yaitu perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan yang berbeda keyakinan/agama (Muslim dan Non Muslim) menurut hukum agama Islam tentu mengacu pada Al-Qur’an, dan Sunnah, seperti Q.S al-Baqarah, ayat 221, Q.S al-Mumtahanah, ayat: 10 dan terakhir adalah Q.S al-Maidah ayat 5, yang kandungan ayat tersebut berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahlul kitab.
Adapun penjelasan hukum dari perkawinan beda agama/keyakinan bisa dilihat atau dibaca ulang dari pembahasan sebelumnya tentang pengklasifikasian hukum dalam nikah antara muslim dan non muslim. Adapun perdebatan hukum Islam tentang boleh tidaknya perkawinan beda agama, terdapat pada penafsiran ahlul kitab, inilah yang nantinya akan mewarnai status hukum seorang muslim yang menikah dengan beda golongan atau beda agama.
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian pembahasan makalah yang membahas tentang Pernikahan Muslim Non Muslim/ nikah beda agama, dapat disampaikan beberapa hal sebagai berikut:
- Bahwa permasalahan perkawinan beda agama tidak hanya dalam ranah teoritis, namun juga dalam ranah praktis. Perbedaan pendapat tentang sah atau tidaknya perkawinan beda agamapun bergulir dan tidak ada kesepakatan pasti baik dalam ranah hukum Islam maupun hukum positif di Indonesia;
- Sikap Mahkamah Agung (MA) terhadap Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, mengakui adanya kekosongan hukum, sehingga keluarlah putusan Mahkamah Agung nomor 1400/K/Pdt/1986. Yurisprudensi ini kemudian dijadikan dasar hukum dalam memenuhi kekosongan hukum perkawinan beda agama yang tidak diatur dalam UUP. Putusan tersebut diikuti dengan surat edaran MA bernomor KMA/72/IV/1981 bertanggal 20 April 1981 kepada Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai “pelaksanaan perkawinan campuran.”
- Dalam Teori maqosid al-Shari’ah, dinyatakan bahwa ada lima tujuan utama hukum Islam, yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan atau keturunan dan menjaga harta benda. Jika dikaitkan dengan perkawinan beda agama (Muslim dan Non Muslim) maka hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dari maqasid al sari’ah.