Mohon tunggu...
abdul jamil
abdul jamil Mohon Tunggu... Mahasiswa - selalu belajar

Tukang Ketik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nikah Muslim dan Non Muslim (bag. 2)

4 Maret 2022   10:31 Diperbarui: 4 Maret 2022   21:12 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari m.imbd.com

5). Nahdlatul Ulama (NU)

Organisasi Nahdlatul Ulaman (NU) telah menegaskan dalam fatwanya bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Fatwa tersebut ditetapkan dalam muktamar ke-28 di Yogyakarta pada bulan November tahun 1989 silam.

6). UU Perkawinan dan KHI

Dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) diakui adanya perbedaan hukum perkawinan dari agama-agama yang berbeda. Akibatnya di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan yang berbeda satu dengan lainnya dan telah mendudukkan hukum berbagai agama di bidang perkawinan. Dalam hal ini UU Perkawinan menggunakan istilah "Perkawinan Campuran" yang telah sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 (kebebasan beragama) yang mengakui adanya pluralitas agama dan pluralitas hukum perkawinan, maka perkawinan campuran dalam negara ini disebabkan oleh bertemunya dua atau lebih sistem hukum perkawinan yang berlainan sesuai dengan perbedaan agama atau perbedaan kewarganegaraan.

UU No. 1 tahun 1974 mengatur perkawinan campuran secara tersendiri dan menganggap perkawinan itu sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya, yang sesuai dengan pasal 60 ayat (1) sesuai dengan tata cara hukum agama suaminya.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 yang diberlakukan berdasarkan instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 disebutkan bahwa "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seseorang pria dan wanita karena wanita tersebut tidak beragama Islam". Larangan perkawinan antar agama sebagaimana hal ini didasarkan kepada mashlahah dengan tujuan untuk memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, serta keturunan. Para ulama Indonesia sepakat untuk melarang perkawinan beda agama karena kemudharatannya lebih besar daripada manfaat yang ditimbulkannya.

7). HAM (Hak Asasi Manusia) dan Hak Konstitusi

Dalam konsep HAM, pernikahan dirumuskan dalam instrument hukum Internasional yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948 (DUHAM) tepatnya pada pasal 16 ayat 3, yaitu:

  • "Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan disaat perceraian".
  • "Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai"
  • "Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara". Dari konsep tersebut, HAM diartikan memberi kebebasan untuk melakukan pernikahan tanpa memandang agama.

ANALISIS PERNIKAHAN MUSLIM DAN NON MUSLIM

1. Dasar  Pernikahan Beda Agama

Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam beragama, telah membahas tentang adanya larangan melakukan pernikahan beda agama, yaitu pada surah al-Baqarah, ayat 221. sehingga para ulama sepakat pernikahan antara muslim dan non muslim tidak diperbolehkan.[1] hal ini mengacu pada landasan hukum surat al-Baqarah ayat 221. yang memiliki arti “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”.

Selain ayat di atas, juga terdapat ayat yang melarang nikah beda agama atau keyakinan dengan mengembalikan seorang wanita muslim kepada suami yang masih beragama non muslim, hal ini sebagaimana dijelaskan pada Al-Qur’an Surah Al-Mumtahannat, Ayat 10, yaitu: "Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana".

Larangan nikah beda agama dengan tegas dilarang dalam Islam, dengan adanya dua ayat sebagaimana dimaksud. Mesti demikian dalam beberapa kondisi ketegasan pelarangan pernikahan beda agama ini secara teori masih memungkinkan dan memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan.  Pernikahan beda golongan yang diperbolehkan dalam Islam ini berdasarkan pada al-Qur’an Surah al-Maidah ayat 5, yang menerangkan adanya legalisasi pernikahan dengan beda golongan, yaitu: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”.

Jika dilihat secara hukum normatif, dalam memaknai beberapa teks ayat al-Qur’an diatas dengan dikaitkan dengan teori yang diusung oleh Gadamer yaitu Hermeneutika Dialogis, maka tesktual-tekstual dari tiga ayat ini telah menginformasikan hukum tetang posisi perkawinan muslim dengan non muslim dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 

  • Pertama Q.S al-Baqarah, ayat 221, ayat ini melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. 
  • Kedua Q.S al-Mumtahanah, ayat: 10, ayat ini menjelaskan larangan perkawinan wanita muslim dengan laki-laki kafir. 
  • Ketiga Q.S al-Maidah, ayat 5, Kandungan ayat ini berisi ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab.

2. Hukum Perkawinan Beda Agama/Muslim dan Non Muslim (Kajian Dalam Beberapa Aspek)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun