Dekolonisasi Tata Kelola TI dengan Filosofi Ubuntu di Organisasi InternasionalÂ
Dalam era globalisasi dan digitalisasi yang pesat, tata kelola teknologi informasi (TI) telah menjadi pusat dari hampir setiap organisasi. Di ranah internasional, khususnya pada organisasi non-pemerintah internasional (iNGO), tata kelola TI memegang peran strategis untuk memastikan alokasi sumber daya yang efisien, keamanan data, dan keberlanjutan program-program sosial. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Zubler, Plattfaut, dan Niehaves (2024), tata kelola TI dalam iNGO kerap kali mengabaikan satu hal penting: perspektif dari Global South, atau negara-negara berkembang. Struktur yang didominasi oleh negara-negara Global North---termasuk pengambilan keputusan yang terpusat di negara-negara maju---telah memperkuat ketimpangan kekuasaan yang sering kali mencerminkan warisan kolonial.
Artikel berjudul Decolonizing IT Governance in International Non-Governmental Organisations: An Ubuntu Approach ini memberikan pandangan kritis tentang bagaimana tata kelola TI bisa didesain ulang agar lebih inklusif dan adil, terutama dalam konteks organisasi yang beroperasi lintas negara dan benua. Berdasarkan penelitian studi kasus terhadap salah satu iNGO yang beroperasi di lebih dari 100 negara, penulis menemukan bahwa meskipun organisasi ini berusaha keras dalam mengurangi ketergantungan dan meningkatkan partisipasi negara-negara Global South, pengambilan keputusan terkait TI masih dominan di tangan Global North.
Dalam artikelnya, Zubler dan rekan-rekannya mengusulkan lima prinsip tata kelola TI berbasis filosofi Ubuntu---filosofi dari Afrika yang menekankan kerja sama, kesejahteraan kolektif, dan hubungan antar manusia. Ubuntu, yang dikenal dengan semboyannya "umuntu ngumuntu ngabantu" (seseorang adalah seseorang karena orang lain), menantang dominasi hierarki dan menawarkan pendekatan humanis terhadap tata kelola TI yang lebih seimbang. Pandangan ini mengarah pada pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana teknologi dapat digunakan sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar sebagai sarana efisiensi dan kontrol, khususnya di sektor-sektor yang sangat bergantung pada keadilan sosial.
***
Prinsip tata kelola TI yang diterapkan oleh organisasi internasional sering kali lebih mengutamakan efisiensi dan keamanan, sementara tujuan humanistik seperti emansipasi pengguna kerap terabaikan. Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Zubler, Plattfaut, dan Niehaves (2024), terdapat ketimpangan mendasar dalam pengambilan keputusan di iNGO terkait tata kelola TI, di mana pusat pengambilan keputusan masih berada di Global North---wilayah yang memiliki kontrol lebih besar atas sumber daya dan kebijakan dibandingkan Global South. Hal ini mengakibatkan keputusan TI yang cenderung mengabaikan kebutuhan dan kondisi lokal di negara berkembang.
Angka-angka yang disajikan dalam artikel ini menunjukkan bahwa lebih dari 70% pengambilan keputusan penting terkait TI dalam iNGO masih berada di tangan pengelola di Global North, sedangkan hanya 30% melibatkan representasi dari negara-negara Global South (Zubler et al., 2024). Ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang mirip dengan pola-pola kolonial masa lalu, di mana pihak yang lebih kuat mengatur keputusan strategis tanpa cukup memperhitungkan suara dari komunitas yang seharusnya mereka layani. Contohnya, dalam proses implementasi teknologi baru di negara-negara Afrika, keputusan sering kali diambil tanpa konsultasi yang memadai dengan para pemimpin lokal. Akibatnya, teknologi yang diadopsi tidak selalu sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan spesifik masyarakat setempat, sebagaimana diungkapkan oleh 60% responden dari Global South dalam studi ini (Zubler et al., 2024).
Pendekatan Ubuntu yang diusulkan penulis memberikan alternatif yang menarik untuk merancang ulang tata kelola TI agar lebih inklusif dan adil. Ubuntu menekankan pada konsep kolektifitas dan kesejahteraan bersama, di mana setiap orang memiliki hak dan kesempatan untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan. Ini sangat kontras dengan tata kelola TI tradisional yang kaku dan hierarkis, di mana inovasi sering kali dihambat oleh birokrasi yang ketat. Misalnya, Zubler dan timnya menunjukkan bahwa penerapan prinsip Ubuntu di salah satu iNGO telah berhasil meningkatkan partisipasi lokal hingga 40% lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Partisipasi ini tidak hanya terjadi dalam aspek teknis seperti pelatihan dan implementasi, tetapi juga dalam tahap-tahap strategis seperti perencanaan dan evaluasi proyek.
Lebih lanjut, penulis mencatat bahwa penerapan tata kelola TI berbasis Ubuntu tidak hanya bermanfaat bagi Global South, tetapi juga memberikan keuntungan bagi organisasi secara keseluruhan. Dengan melibatkan lebih banyak suara dari komunitas yang terdampak langsung oleh keputusan TI, organisasi mampu mengembangkan solusi yang lebih adaptif dan tepat sasaran. Data menunjukkan bahwa organisasi yang mengadopsi pendekatan dekolonisasi ini mengalami peningkatan efektivitas operasional sebesar 15% dalam tiga tahun pertama implementasi (Zubler et al., 2024). Pendekatan yang lebih kolaboratif ini juga meningkatkan kepercayaan antara donor dari Global North dan mitra lokal, memperkuat rasa memiliki bersama atas proyek-proyek yang dijalankan.
***
Mengadopsi pendekatan dekolonisasi tata kelola TI berbasis Ubuntu, seperti yang diusulkan Zubler, Plattfaut, dan Niehaves (2024), merupakan langkah penting menuju penghapusan ketimpangan kekuasaan dalam organisasi non-pemerintah internasional (iNGO). Dengan berfokus pada prinsip-prinsip seperti kolektivitas, emansipasi, dan kesejahteraan bersama, pendekatan ini menawarkan solusi nyata untuk mengatasi bias yang sudah lama mengakar dalam pengambilan keputusan di tingkat global. Lebih dari sekadar menawarkan keadilan sosial, penerapan prinsip-prinsip Ubuntu juga terbukti meningkatkan efektivitas operasional dan memperkuat hubungan antara Global North dan Global South.