Asas Pemilu yang penting direfleksikan dalam konteks bernegara dan berdemokrasi adalah kata 'jujur dan adil' sebagaimana yang tercantum di dalam konstitusi UUD 1945. Dalam pasal 22E ayat 1 dijelaskan bahwa: Pemilu dilaksanakan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Jujur dan adil ditempatkan paling akhir menunjukkan bahwa prinsip tersebut sulit dilakukan. Jurdil adalah prinsip dan mandat yang melekat kepada penyelenggara Pemilu. Karena apa? Karena tanpa sikap jujur secara moral penyelenggara Pemilu akan ringan memanipulasi suara. Tanpa hukum yang adil, sulit untuk menghasilkan Pemilu yang dapat dipercaya. Tanpa proses Pemilu yang adil, hasilnya pun tidak dapat diterima oleh semua pihak.
Tentu tidak dibenarkan kehendak rakyat dihianati dan dibelokkan menjadi kehendak elit politik secara curang. Baik dalam proses penyusunan aturan maupun dalam pelaksanaan Pemilu dengan cara yang tidak dibenarkan menurut ukuran hukum dan moral. Sikap jujur penting dalam politik sebagai sebuah prinsip yang berlaku universal bagi penyelenggara, kontestan Pemilu dan juga rakyat pemegang kedaulatan.
Makna jujur adalah sesuai antara hati dan perbuatan, tidak curang, amanah dan dapat dipercaya. Sebaliknya tidak jujur adalah perilaku curang, semisal menang dengan cara manipulasi suara, curi start kampanye, kompetisi tidak sehat dengan kampanye SARA serta kampanye hitam.
Jujur adalah sifat yang berasal dari kesadaran imani, dimulai dari suara hati nurani selanjutnya diimplementasikan dalam laku dan tindakan. Pribadi jujur disebut pula orang yang amanah, artinya menjalankan sesuatu yang menjadi perjanjian atau tugas yang diembannya dengan sungguh-sungguh. Dalam Islam, Nabi Muhmmad SAW terkenal dengan sifat Amanahnya sehingga beliau adalah teladan pribadi yang jujur dapat dipercaya.
Bagaimana dengan sikap jujur dalam Pemilu dan Pilkada? Maraknya politik uang adalah cermin pantul dari budaya tidak jujur untuk meraih kemenangan. Politik uang tersebut mencederai iklim kompetisi yang sehat dan mendorong pemilih berlaku tidak jujur pada suara hatinya; karena alih-alih menyalurkan suara berdasarkan kehendaknya sendiri, malah memilih berdasarkan iming-iming materi.
Pada akhirnya hasil Pemilu yang akan menjawab apakah pemimpin jujur atau tidak yang terpilih. Sejujurnya yang diperlukan saat ini adalah politisi jujur. Politisi jujur akan menjadi pemimpin yang demokrastis dan jujur pada rakyatnya, tidak memanipulasi data dan citra. Pemimpin yang demikian akan dicintai rakyatnya. Sebaliknya pemimpin yang tidak jujur lama-lama akan ditinggalkan.
 Adil dan Keadilan Sosial
Pemilu sah dan legitimit apabila dilakukan secara adil. Oleh sebab itu, sistem keadilan Pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan Pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil.
Bagaimana penyelenggara Pemilu menggelar Pemilu secara adil? Yang paling sederhana adalah penyelenggara Pemilu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara benar. Benar disini maksudnya adalah berjalan benar sesuai ketentuan Undang-undang dan peraturan lainnya, baik berupa kode etik maupun aturan teknis lainnya. Sebaliknya setiap keputusan, prosedur atau tindakan menyangkut proses Pemilu yang tidak sesuai dengan aturan termasuk katagori pelanggaran dan ketidakadilan.
Pemahaman di atas sejalan dengan panduan IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) rilis 2010 yang mendefinisikan Keadilan Pemilu sebagai upaya untuk menjamin bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait dengan proses Pemilu sesuai dengan kerangka hukum; melindungi atau memulihkan hak pilih; dan memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan mendapatkan putusan.