[caption id="attachment_117897" align="aligncenter" width="600" caption="Tommy Soeharto terkendala maju menjadi capres/cawapres jika UU Pemilu masih mensyaratkan capres/cawapres harus tak pernah dihukum selama 5 tahun atau lebih. {sumber foto: inilah.com}"][/caption]
“Pangeran Cendana” Hutomo Mandala Putra atau lebih akrap dipanggil Tommy Soeharto, kembali ke ranah politik. Ia sepertinya tak setengah-setengah. Setelah gagal mencoba peruntungan untuk menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada Munas ke-VIII awal Oktober 2009 di Riau lalu, kini ia mencari arah lain, mendirikan partai politik sendiri. Selain mendirikan Parpol sendiri, ia juga aktif menggandeng partai yang tak lolos PT pada pemilu 2009 lalu.
Seperti kita tahu, saat ini Tommy sedang menggagas sebuah parpol baru bernama Nasional Republik (Nasrep). Partai ini digadang-gadang bisa lolos aturan Parliamentary threshold (PT) guna dijadikan kendaraan politik menuju pilpres 2014. Selain Nasrep, Tommy juga menggarap Partai Buruh yang telah mencalonkannya sebagai capres. Kedua parpol itu kini sedang mendaftar di Kemenkumham. Pertanyaannya, bagaimana peluang putra kesayangan mantan presiden Soeharto ini?
Untuk menilik peluang Tommy Soeharto, setidaknya ada tiga variabel penting yang harus dilihat. Pertama dari sudut pandang pengalamannya sebagai politisi. Kedua, kendaraan politiknya. Ketiga, dan ini yang paling penting, dilihat dari sisi administratif persyaratan menjadi calon presiden/wakil presiden.
Kue Lapis
Dari sudut pandang pengalaman sebagai politisi, rekam jejak Tommy dibidang politik sebetulnya kurang begitu mengesankan. Ia bisa dibilang bukan sosok politisi handal. Meski lama menjadi anggota Partai Golkar, kiprahnya tak mengkilap-mengkilap amat. Tak mengherankan apabila kemudian kala ia mencalonkan diri menjadi Ketua Umum partai ini, tak satupun suara yang berhasil digondol. Indikasi ini bisa dimaknai bahwa kemampuan lobby-nya sebagai politisi masih kalah kelas dibandingkan Surya Paloh dan Aburizal bakrie. Kelebihan utama Tommy sebagai politisi adalah posisinya sebagai pebisnis dan “putra kesayangan” Cendana. Dengan status itu, tentunya ia tak akan bermasalah dengan logistik.
Kedua, dari sisi kendaraan politik, Tommy memiliki persoalan serius. Meski survei Indo Barometer pada Mei 2011 menemukan sebagian besar publik cenderung rindu terhadap situasi di era Orde Baru, akan tetapi bukan berarti publik mengharapkan keluarga Cendana untuk kembali menjadi pemimpin politik. Hal ini bisa kita lihat dari hasil perolehan suara partai yang berafiliasi dengan keluarga Cendana, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), misalnya. Partai yang mengusung Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut Soeharto sebagai calon presiden, pada pemilu 2004 dan 2009 tak begitu baik direspon oleh publik. Pada pemilu 2004, PKPB hanya berhasil menempatkan dua wakilnya di Senayan dengan perolehan suara 2.399.290 (2.11%). Pada pemilu 2009, suara PKPB malah meredup menjadi 1.461.182 (1.40%) dan tak lolos Parliamentary Threshold (PT).
Dari ilustrasi ini bisa dibaca, bahwa parpol yang mengusung sosok penting Cendana sekelas Mbak Tutut saja tak mampu merayu hasrat publik, apakah Tommy dengan Nasrep-nya bisa memikat hati masyarakat di tengah reputasinya yang agak miring sebagai mantan terpidana dan polemik PT yang kabarnya akan dinaikkan menjadi 4 – 5 persen? Sementara mengandalkan parpol seperti Partai Buruh juga kurang meyakinkan. Pada pemilu 2009, partai ini hanya memperoleh suara 265,203 (0.25%).
Ketiga, dan ini yang paling penting, adalah sisi administratif persyaratan menjadi calon presiden/wakil presiden. Mungkin bisa kita andaikan Nasrep bisa lolos PT sehingga mampu mencalonka capres/wapres. Atau kalau tidak Nasrep, katakanlah Tommy berhasil membangun partai koalisi untuk mengusungnya menjadi capres/cawapres. Meski demikian, Tommy Soeharto masih mempunyai ganjalan serius lainnya, yakni tak akan lolos persyaratan menjadi capres/cawapres. Kenapa demikian?
Dalam UU no 24 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Pasal 5 poin n menyebutkan, Capres/Wapres harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sementara dalam penjelasan pasal 5 poin n ini mengatakan, hanya orang yang dipidana penjara karena kealpaan atau alasan politik yang dikecualikan dari ketentuan ini.
Sementara kita semua tahu, bahwa Tommy pernah dua kali terlibat kasus hukum yang kedua-duanya divonis bersalah oleh pengadilan. Pertama Tommy dihukum 18 bulan penjara dan denda Rp. 30.6 miliar oleh putusan Mahkamah Agung pada tahun 2002 atas dakwaan perkara korupsi tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading ke PT Goro Batara Sakti. Kasus kedua, Tommy diganjar hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan pembunuhan terhadap Hakim Agung M. Syafiuddin Kartasasmita. Syafiuddin sendiri merupakan ketua majelis hakim yang memngganjar Tomy atas kasus pertama.