Mohon tunggu...
Abdul Aziz
Abdul Aziz Mohon Tunggu... Dosen - Moderate mindset

Aktifitas sehari-hari saya, mengajar, meneliti dan mengabdi...

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Haul Gus Dur di Tengah Badai Kehancuran Hukum dan Demokrasi

11 Desember 2024   11:23 Diperbarui: 11 Desember 2024   11:23 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Dr. Abdul Aziz, M.Ag.

Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

SENAYANPOST - Hukum dan demokrasi, ibarat anak kembar yang beda karakter. Hukum berwatak keras kepala. Demokrasi berwatak lembut. Dalam hal tertentu hukum bersifat positif.

Tapi tidak memberikan solusi tuntas atas suatu masalah, sedangkan demokrasi yang lembut acap menyediakan ruang untuk maksud-maksud tertentu yang melanggar hukum. Demokrasi kerap difungsikan untuk memanipulasi hukum.

Relasi hukum dan demokrasi memang kompleks. Kompleksitas itu hanya bisa diurai dengan baik oleh pemimpin yang baik. Yaitu pemimpin yang punya moral dan etika yang baik, konsisten, dan berkepribadian lurus untuk tetap berada di jalan yang benar, demi kepentingan bangsa dan negara.

Meski hukum dan demokrasi merupakan kembar yang beda karakter, tapi bila salah satunya rusak, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan rusak.

Tak ada negara yang berjalan mulus, jika salah satu tiang utamanya, hukum dan demokrasi, pincang.

Refleksi semacam itulah yang kini merenda perhatian kita di tengah suasana harlah atau haul Gus Dur ke-14 yang diselenggarakan di Ciganjur, Jaksel.

Gus Dur atau Presiden Abdurrahman Wahid wafat, 30 Desember 2009, 14 tahun lalu. Wafatnya Gus Dur segera menyadarkan kita bahwa Indonesia saat ini, secara hukum dan demokrasi, sedang tidak baik-baik saja.

Suasananya mirip seperti ketika Gus Dur dijatuhkan dari Istana, karena alasan hukum yang prematur dengan landasan demokrasi yang mentah, 23 Juli 2001 lalu.

Ya, Gus Dur adalah korban manipulasi hukum dan demokrasi -- dua hal yang justru ingin ditegakkannya.

Ibaratnya, Gus Dur adalah korban senjata yang makan tuannya sendiri. Politisi yang menjatuhkan Gus Dur adalah para mafia hukum dan demokrasi, yang sudah piawai dan berpengalaman memanipulasi dua "instrumen negara modern" itu merebut kekuasaan.

Apa yang menarik dari Gus Dur semasa hidupnya? Publik pasti sepakat, kebesaran Gus Dur adalah karena komitmennya yang tinggi untuk mengangkat martabat manusia (humanis), anti kekerasan, tunduk konstitusi, dan menjadikan hukum dan demokrasi sebagai panglima yang mengiringi perjalanan bangsa dan negara.

Itulah sebabnya, kehidupan Gus Dur, baik sebelum menjadi pemimpin negara maupun sesudahnya, menyimpan kenangan dan keteladanan yang selalu memberikan inspirasi kepada anak bangsa.

Putri bungsu Gus Dur, Inayah Wulandari Wahid mengatakan, pemikiran Gus Dur yang muncul puluhan tahun lalu masih sangat relevan dengan situasi demokrasi saat ini.

Haul tersebut diselenggarakan dalam rangka mencari cara mengurai benang kusut, yang tengah melanda negeri ini.

Tema haul yang bertopik "Meneladan Budaya Etika Demokrasi Gus Dur", tepat sekali manakala melihat Indonesia saat ini sedang diterjang badai politik yang meruntuhkan etika, demokrasi, dan hukum.

Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, demokrasi bagi Gus Dur bukan soal menang kalah, tetapi upaya untuk menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kemaslahatan.

Oleh karena itu demokrasi yang dilaksanakan oleh Gus Dur, merupakan demokrasi yang berdasarkan nilai-nilai luhur, moral, dan etika.

Gus Dur merupakan sosok yang mampu menyelaraskan dua hal yang sering dipertentangkan oleh banyak kalangan, seperti ilmu dan hikmah, akal dan kalbu, serta rahasia dan rasa.

Kedua hal tersebut, seperti halnya akal dan kalbu, berasal dari budaya yang berbeda, yakni dari Barat dan Timur, tetapi Gus Dur mampu menyelaraskannya.

Ini tidak mudah dilakukan, kecuali oleh seorang waliyullah yang selalu menegakkan kebenaran dengan landasan kesucian dengan tujuan mencari ridla Allah semata.

Gus Dur adalah pribadi yang sudah selesai untuk dirinya sendiri. Gus Dur terus berjuang untuk menegakkan keadilan, menjunjung kemanusiaan, menghidupkan demokrasi pro-rakyat, dan memperkuat hukum yang berpihak pada kebenaran.

Empat pilar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, itulah yang selalu dibawa Gus Dur ke mana pun untuk diperjuangkan eksistensinya.

Berhasil? Ternyata, 14 tahun sepeninggal Gus Dur pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara itu makin keropos, seperti kita rasakan saat ini.

Dari kondisi inilah, haul Gus Dur terasa sangat bermakna. Yaitu mengingatkan kita untuk terus berjuang demi menegakkan keadilan, kemanusiaan, demokrasi, dan hukum tanpa lelah.

Gus Dur telah melakukan semua itu. Lalu bagaimana kita?

Artikel ini telah terbit di Senayanpost.com

https://www.senayanpost.com/nasional/96811241214/opini-haul-gus-dur-di-tengah-badai-kehancuran-hukum-dan-demokrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun