Malam itu aku duduk santai di kursi lipat. Sebuah kursi yang terbuat dari pipa besi berdiameter ¾ inci yang melingkari konstruksi kursi lipat sebagai kerangkanya. Sementara, sandaran dan tempat duduknya terbuat dari karet pipih yang berwarna warni dan ditata berderet. Ada jarak sekitar satu cm antara karet satu dengan karet lainnya. Kursi ini bisa ku gunakan baru sekitar sebulan yang lalu setelah ku perbaiki.
Aku merasa puas duduk di kursi ini setelah bertahun-tahun mempertahankan keberadaan kursi ini di rumahku. Berkali-kali kursi ini nyaris lenyap, mulai ditawar oleh tukang rosok, ditaksir orang, hingga mau dibuang oleh isteri karena sempat ku tumpuk begitu saja di halaman depan rumah. Mereka mengira kursi ini sudah tidak terpakai dan mau dibuang karena terlihat karaten, berantakan karet-karetnya dan kotor berlumut.
Kursi lipat ini sebenarnya tidak seberapa harganya. Bahkan kalau dijual ke tukang rosok paling hanya laku beberapa ribu rupiah. Tapi, historisitasnya bagiku yang membuat kursi ini tak ternilai harganya. Kursi ini adalah kursi kenangan yang tak terlupakan. Dulu, ketika aku apel ke rumah mantan pacarku, kerap kali aku duduk-duduk santai bersama do’i di kursi lipat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H