Mohon tunggu...
Humaniora

Membumikan Sunnah

30 November 2015   20:22 Diperbarui: 30 November 2015   20:22 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islam merupakan agama yang kompleks, agama yang penuh dengan peradaban baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Sebagai agama yang kompleks, Islam mempunyai satu kitab suci yang digunakan umat untuk pedoman hidup yakni al-Qur’an al-Karim. Umat Islam dapat bangkit dari keterpurukan dan kesesatan tidak lain karena adanya pedoman hidup yang mesti dicontoh yaitu ayat-ayat al-Qur’an. Namun pada esensinya al-Qur’an pun belum cukup untuk memberi pemahaman terhadap para pembacanya khususnya umat muslim. Maka Tuhan mengutus the Propeth (Nabi) untuk dijadikan sebagai mufassir atas kitabullah tersebut, yaitu dengan menggunakan sunnah.

Rasulullah Muhammad Saw sebagai seorang utusan Allah yang terakhir sekaligus sebagai penutup dari para Nabi sebelumnya menjadi sangat berkharisma. Allah telah menjadikan manusia yang paling sempurna itu sebagai contoh dan teladan bagi umat-umatnya (kaum muslimin) seluruh alam semesta. Oleh karenanya, kekompleksan al-Qur’an dalam mengatur kehidupan manusia terutama kaum muslimin menjadi tervisualkan, atau terimplementasikan dalam kehidupan nyata melalui Nabi Muhammad Saw. Selain sebagai seorang Nabiyullah dan Rassulullah (juru bicara Tuhan), beliau juga sebagai sosok manusia biasa seperti manusia yang lain, yakni memiliki istri, anak, saudara, pembantu, sahabat, serta mempunyai tetangga yang berbeda keyakinan. Dan yang tidak kalah penting, Rasulullah Saw juga seorang leadership, orginizer dan president.

Melihat kesempurnaan yang ada dalam diri Rasulullah tersebut, bagaimana seorang muslim meneladaninya? Minimal dengan berusaha semaksimal mungkin mencontoh sunnah Rasulullah, kehidupan seorang muslim dapat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengaplikasikan sunnah Rasul dalam kehidupan sehari-hari inilah yang dibutuhkan oleh umat muslim, dilakukan  dengan cara menghidupkan sunnah (living sunnah) di masyarakat. Namun pertanyaannya, sudah adakah living sunnah seperti humanisme ala Rasul di masyarakat kita? 

Apa itu Living Sunnah?

Sebelum mengarah kepada living sunnah tentang humanisme ala Rasulullah, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu apa itu sunnah, dan apa itu living sunnah? Sunnah menurut etimologi berarti jalan (yang benar atau baik).[1] ada juga yang mengartikan sebagai cara yang bisa ditempuh baik ataupun buruk.  sebagaimana sabda nabi:

"Barang siapa membuat inisiatif yang baik ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barang siapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang.'' (HR. Muslim)

Menurut penulis, sunnah itu lebih sesuai jika diartikan sebagai satu jalan yang baik, cara yang baik. Karena sebagaimana para ulama memahami sunnah adalah lawan dari bid’ah. Sesuai yang dijelaskan oleh Muhammad Ibrahim al-Mukhanawi dalam kitabnya al-Dirâsâh Ushûliyyah al-Sunnat an-Nabâwiyyah.[2]

Sedangkan sunnah secara terminologi, di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang keilmuan, persepsi dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah Saw. Namun secara garis besar pendapat para ulama tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni pendapat ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh.

As-sunnah menurut fuqaha’ adalah suatu perintah yang berasal dari Nabi Saw namun tidak bersifat wajib. Dia adalah salah satu dari hukum-hukum taklifi yang lima: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.[3] 

Menurut ahli hadis, sunnah merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat atau sirah beliau.[4] As-sunnah menurut ulama ushul fiqh adalah apa yang bersumber dari Nabi Saw selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.[5]

Dengan makna tersebut maka menurut ulama hadis, sunnah sama dengan hadis nabawi. Dan penggunaan makna ini sudah umum, seperti perkataan seseorang, “hukum ini sudah diterapkan dalam al-Kitab”, yakni al-Qur’an, “hukum ini sudah ditetapkan dalam as-Sunnah”, yakni dalam hadis.[6] Akan tetapi bagi ulama ushuliyyah, jika antara sunnah dan hadis dibedakan , maka bagi mereka, hadis adalah sebatas sunnah qauliyah-nya Nabi Saw saja. Ini berarti, sunnah cakupannya lebih luas di banding hadis, sebab sunnah mencakup perkataan, perbuatan dan penetapan (takrir) Rasul, yang bisa di jadikan dalil hukum syar'i.[7]

Sunnah Nabi terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Sunnah surah: luaran nabi seperti rambut nabi, janggut nabi, pakaian nabi, serban nabi, shawl nabi, slipar nabi, celak nabi.
  2. Sunnah sirah: aktivititas harian nabi dari bangun tidur sampai tidur balik seperti cara berjalan, cara makan, cara shalat, cara pakai baju, cara naik kendaraan, cara tidur, cara berisitinjak, bacaan al-Qur’an nabi, qiamullail nabi dan lain-lain.
  3. Sunnah sarirah : dalaman nabi seperti dzikir nabi, pedih hati nabi, tangisan hati nabi, kerisauan nabi terhadap umat, kepedihan hati nabi melihat kerusakan umat, kebencian nabi terhadap kemungkaran dan lain-lain.

Contoh dari living sunnah sendiri, pada zaman Rasulullah dan sahabat adalah terbiasakannya pengucapan salam dari satu orang ke orang lain, dari sahabat yang satu ke sahabat yang lain. Karena berdasarkan hadis Rasulullah Saw, setiap pemberian atau pengucapan salam kepada sesama manusia itu termasuk sedekah.[8] Sebagaimana Umar Hasyim menukil sebuah dari Abu Hurairah hadis:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال، قال رسول الله صل الله عليه وسلم: كل سلامي من الناس صداقة......."

Dari Abu Hurairah ra. Berkata, telah bersabda Rasulullah Saw: “Setiap salam dari manusia itu shadaqah....”

Hadis diatas sampai sekarang diantara manusia masih diamalkan, khususnya oleh para kaum muslimin. Apabila diantara kaum muslimin bertemu, maka mereka saling menyapa dan menebarkan salam satu sama lain. Sebenarnya apa itu living sunnah? Living sendiri yang berasal dari bahasa Inggris dapat diartikan sebagai sebuah penghidupan, menghidupkan. Sedangkan sunnah merupakan apa-apa yang ada dalam diri Rasulullah Saw baik perkataan beliau, perbuatan, takrir maupun sifat beliau. Jadi, sunnah merupakan bentuk pengapliasian atau bentuk implementasi dari hadis.  Maka living sunnah adalah penghidupan sunnah Rasulullah, agar tingkah laku kehidupan seseorang maupun masyarakat sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Sehingga terbentuk satu umat yang baik, umatan wasathan, khairu al-ummat. Hadis tentang memberi ucapan salam diatas merupakan salah satu contoh bentuk living sunnah yang masuk dalam kaegori, ucapan sekaligus perbuatan baik Nabi Muhammad Saw.

            [1] Muhammad Ibrahim al-Mukhanawi, al-Dirâsâh Ushûliyyah al-Sunnat an-Nabâwiyyah (Al-Mandurah: Dar al-Wafa al-Muthaba’ah, 1998), h. 11.

            [2] Ibid, h. 12..

            [3] Manna’ al-Qaththan, Mabâhits Fi ‘Ulûm al-Hadits, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 28;

            [4] Ahmad ‘Umar Hasyim, Mu’âlim ‘Alâ at-Thariqi al-Sunnah (Al-Qahirah: Al-Mujallis al-A’la Lisysyau al-Islamiyyah, 2001), h. 11; Manna’ al-Qaththan, Mabâhits Fi ‘Ulûm al-Hadits, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits..., h. 29; Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 4.

            [5] Manna’ al-Qaththan, Mabâhits Fi ‘Ulûm al-Hadits, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits..., h. 29; Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits..., h. 4.; Muhammad Ibrahim al-Mukhanawi, al-Dirâsâh Ushûliyyah al-Sunnat an-Nabâwiyyah..., h. 12.

            [6] Manna’ al-Qaththan, Mabâhits Fi ‘Ulûm al-Hadits, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits..., h. 29.

            [7] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits..., h. 4.

            [8] Ahmad ‘Umar Hasyim, Min Hudâ al-Sunnah an-Nabawiyyah (Beirut: Dar a-Syuruq,1868), h. 56.

 

Penulis: Abdul Aziz Muslih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun