Mohon tunggu...
Humaniora

Ikatan Mahasiswa Kebumen IAIN Surakarta: Sebuah Gerakan Sosio-Keagamaan dan Miniatur IAIN

3 Oktober 2015   11:50 Diperbarui: 3 Oktober 2015   11:50 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Perguruan Tinggi Agama Islam merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berada dibawah otoritas Departemen Agama (sekarang: Kementerian Agama) Republik Indonesia. Berbagai jurusan baik umum hingga menuju ke akar atau asal usul dari tujuan dibentuknya PTAI di Indonesia yakni menggali serta memperluas keilmuan keislaman. Oleh karenanya berbagai jenis PTAI di Indonesia mulai dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) maupun yang sudah mapan dengan bentuk kemodernannya –Universitas Islam Negeri- (UIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) sebenarnya memiliki tujuan yang sama yakni mencetak generasi Ulama dan Intelektual. Dalam kata lain berarti menginginkan terbentuknya individu Muslim yang intelektualis dan moralis.

Institut Agama Islam Negeri Surakarta adalah salah satu dari puluhan hingga ratusan Perguruan Tinggi Agama Islam yang terdapat di Indonesia yang juga mempunyai tujuan mencetak generasi yang Intelek dan Moralis. Tujuan ini bukan tidak berdasar, sebagaimana esensi dari aksiologi didirikannya Perguruan Tinggi berbasis Islam dibawah otoritas Departemen Agama seperti yang diungkapkan Arief Subhan ketika mengkutip pernyataan B.J. Boland bahwa keberadaaan Departemen Agama dalam konteks negara Indonesia ini sebagai “jalan tengah” yang dapat ditempuh di antara ketegangan yang terjadi antara kelompok-kelompok masyarakat yang bercita-cita membentuk “negara sekuler” di satu sisi, dan kelompok masyarakat yang mencita-citakan “negara Islam” di sisi lain.[1] Maka dapat dikatakan bahwa PTAI ini merupakan bentuk reinkarnasi sekaligus rekontstruksi dari Madrasah klasik yang hanya mengkaji tentang ilmu-ilmu keislaman salaf seperti, dalam mengkaji fikih misalnya masih condong ke madzhab tertentu (fikih Syafi’i), dari teologi hanya menuju ke Asy’ari dan secara global kiblat keilmuan masih condong ke Timur Tengah. Dan kajian keislaman yang sedemikian itu ternyata diaplikasikan pada awal terbentuknya Perguruan Tinggi Islam sekitar tahun 1965-an, walaupun tidak dapat dipungkuri kajian mengenai filsafat atau teologi pada periode ini bisa dikatakan sudah berani diajarkan kepada para mahasiswa (yang kebanyakan pernah ngaji di pesantren tradisional/madrasah).

Kemudian terjadi perubahan kecenderungan mulai sekitar tahun 1980-an, sebagaimana Mujamil Qomar dalam bukunya Strategi Pendidikan Islam  mencatat apa yang dilaporkan Azra tentang perjalanan IAIN ini. Dari yang awalnya berbasis pendidikan konservatif beralih ke pendidikan yang terkesan lebih inklusif seperti, kajian-kaijan Islam di IAIN mulai dawarsa 1980-an hingga sekarang telah berubah menjadi bersifat nonmadzhab atau menggunakan pendekatan nonmadzhabi, terjadinya pergeserah dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif ke arah yang lebih bersifat historis, sosiologis dan empiris, serta orientasi keilmuan yang disuguhkan sekarang lebih luas dan beragam sehingga mulai memunculkan model pendekatan Barat pada Islam.[2]

Dengan melihat beberapa fungsi dibentuk dan kecenderungan dari IAIN maupun PTAIS diatas, dapat ditarik benang merah bahwa sesungguhnya misi dari Perguruan Tinggi Islam adalah pertama, untuk misi akademis (keilmuan) dan kedua, misi dakwah (keagamaan). Namun pada faktanya kedua misi tersebut masih terkesan belum terealisasi secara penuh, tidak seperti yang diharapkan.

Amin Abdullah pun menegaskan demikian, bahwa kinerja Islamic Studies (dirasat Islamiyah) di Perguruan Tinggi Islam agaknya masih lebih terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, hostoris-empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingukngan para peneliti yang jumlahnya masih sangat terbatas. Tentunya ini menjadi problem yang cukup serius dan sangat dilematis dalam menjembatani misi akademis dan keagamaan.[3]

Meminjam kritikan Muhaimin terhadap PTI dalam bukunya Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, disana Muhaimin memaparkan bahwa problematika tentang misi mulia dari PTI yang belum maksimal terealisasi ini disebabkan salah satunya karena kurangnya sumber daya manusia (kelulusan) yang mampu merespons tuntutan dan tantangan perkembangan ipteks serta era informasi dan globalisasi di masyarakat masa kini. Selain karena terbatasnya SDM, juga karena kurang intensifnya kegiatan penelitian yang menggunakan pendekatan dasar yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial, kealaman dan humanities.[4] Ini berarti secara serta merta PTI dalam mengkader ulama dan intelektual masih sebatas penggemblengan akan wawasan keilmuan keislaman saja (yang dibutuhkan oleh personal), belum ke arah tuntutan dan tantangan yang diprioritaskan di masyarakat (yang lebih dibutuhkan oleh kolektif). Masyarakat disana pun harus dipahami masyarakat era sekarang yang membutuhkan pembelajaran dan kerjasama dari berbagai sektor misalnya, pertanian, kesehatan, kebangsaaan (nasionalisme), pemberdayaan desa dan masyarakat hingga masalah kebersihan lingkungan (kealaman)[5] dan ketertiban lalu lintas.  

Kritik tersebut menggarisbawahi perlunya PTI pada tataran operasional dibangun agar lulusannya mampu berkiprah di seluruh kehidupan dan di seluruh keahlian, serta berada pada sluruh strata kehidupan dan keahlian.  Dengan demikian diharapkan lulusan PTI mampu berkiprah dalam forum mana pun, maka perlu dikembangkan bidang-bidang tugas yang lebih luas, yang meliputi penyiapan calon-calon ulama/agamawan, teknolog, dokter, psikolog, budayawan atau sastrawan, ekonom, sosiolog, sejarawanm saintis dan ulama yang (berspektif Islam). Jangan hanya dapat mengucapkan masya Allah ketika terkagum dengan temuan ipteks, atau mengucapkan astaghfirullah ketika temuan ipteks membuat petaka.[6] Boleh jadi agak sulit dalam mengupayakan apa yang diidamkan dari sebuah PTI yang ideal tersebut, namun dengan usaha (bekerjasama, kompak) disertai keyakinan dan spiritual, niscaya tidak dapat dipungkiri pada akhirnya impian tersebut akan tercapai.

Hubungannya dengan sebuah organisasi kemahasiswaan yang dalam hal ini adalah Ikatan Mahasiswa dari satu daerah sangatlah dibutuhkan untuk membantu atau minimal sekedar meminimalisasi problem yang cukup urgen dalam menjembatani misi akademis dan keagaamaan yang terdapat di kampusnya (IAIN). Ambillah sampel munculnya organisasi-organisasi kemahasiswaan yang berideologi Islam seperti HMI, PMII, IMM maupun KAMMI. Jika mau memahami tujuan dari dibentuknya organisasi-organisasi tersebut yang notabene berada dilingkungan kampus, maka secara ushuliyyah mereka memiliki satu misi yakni dakwah Islamiyyah untuk membentuk masyarakat (mahasiswa) yang madani atau ummatan wasathan dan ideal secara kaffah. Walau tidak dapat dipungkiri jalan yang mereka tempuh berbeda-beda (secara furu’iyyah), ada yang melalui jalur politik kampus, lembaga diskusi keilmuan, lembaga dakwah kampus, lembaga sosial, hingga bekerjasama dengan instansi-instansi kebudayaan, kesehatan, lingkungan hidup, dan kepolisian.

Melihat runtutan misi dari Perguruan Tinggi Islam yang direpresentasikan melalui berbagai organisasi keislaman diatas, maka Ikatan Mahasiswa Kebumen merasa turut turun tangan untuk membangun serta merealisasikan misi mulia dari Perguruan Tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Islam. Ikatan Mahasiswa Kebumen merupakan satu organisasi atau mungkin bisa dibilang hanya sebatas komunitas mahasiswa yang berasal dari Kota Kebumen “Beriman” Jawa Tengah, yang tersebar diberbagai penjuru Universitas, Institut, maupun Sekolah Tinggi di seluruh Indonesia.

Sebagai organisasi lokal (Jawa), maka mayoritas mahasiswa Kebumen menempuh sekolah tinggi di universitas-universitas yang berada di kota-kota besar di Pulau Jawa. Mulai dari Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang maupun Surabaya. Sedangkan jika dilihat dari segi sekolah non-formal (pesantren), maka para santri maupun mahasantri juga tersebar di seluruh Indonesia khususnya di seluruh pelosok kota di Pulau Jawa. Hampir bisa dikatakan setiap Pondok Pesantren di Jawa ini pasti terdapat santri yang berasal dari Kebumen. Begitu pula di kampus, tidak dapat dipungkiri bahwa rasa kebutuhan akan pendidikan baik pendidikan formal (sekolah, kuliah) maupun nonformal (mondok, nyantri) sangat tinggi di masyarakat Kebumen. Oleh karenanya jika kita menengok beberapa kampus di Jawa ini boleh jadi terdapat satu atau dua orang asli Kebumen (minimal memiliki darah Kebumen, keturunan Kebumen).

Mereka (baca: para mahasiswa Kebumen) yang tersebar diberbagai pelosok kampus di Pulau Jawa ini secara psikis, sosiologis dan geografis akan merasakan yang namanya kesepian local wisdom. Dalam arti merasa butuh akan sandaran hati dan pikiran untuk berkecimbung (bergaul) dengan teman se-daerahnya, yakni Kebumen. Karena sudah terbiasa bergaul dengan kawan-kawan Kebumen (sebelum menyelami bangku kuliah) di daerahnya masing-masing, secara tidak langsung mereka juga sebenarnya masih sangat butuh berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat sesama Kebumen.

Banyak hal yang melatarbelakangi berdirinya Ikatan Mahasiswa Kebumen di berbagai kampus di Indonesia, terutamanya di kota Surakarta “Kota Peradaban Islam dan Budaya Jawa” ini. IAIN Surakarta sebagai salah satu kampus serta satu-satunya kampus Islam Negeri di Surakarta (se-karesidenan Solo Raya) lambat laun semakin maju. Berkembangnya kampus STAIN Surakarta menjadi IAIN Surakarta yang awalnya merupakan anak dari IAIN Walisongo ini tentunya mengundang minat yang cukup banyak dari berbagai calon mahasiswa di Indonesia, khususnya di Jawa yakni Kebumen.

Disela-sela berkembangnya kampus yang terkenal sebagai pusat kajian “Islam dan Budaya Jawa” ini, pertumbuhan mahasiswa pun tak dapat dihindarkan. Tercatat pada tahun 2015 peminat (mahasiswa yang mendaftar) di kampus IAIN Surakarta ini menempati peringkat nomor 12 se-Indonesia setelah UIN. Itu artinya IAIN Surakarta menempati tingkat peminat pertama dari seluruh IAIN di Indonesia, setelah 11 UIN yang terdapat di Indonesia. Hal ini pun dapat di sampelkan dari bertambahnya mahasiswa dari daerah Kebumen Jawa Tengah di kampus ini.   

Oleh karenanya, untuk tetap memperteguh kesatuan dan persatuan mahasiswa yang berasal dari Kebumen di IAIN Surakarta tersebut, maka dibentuklah Ikatan Mahasiswa Kebumen Institut Agama Islam Negeri Surakarta. Misi dari Ikatan Mahasiswa Kebumen di IAIN Surakarta ini dapat dikategorikan menjadi dua misi utama yakni, misi internal dan eksternal. Misi internal meliputi membantu merealisasikan misi dari Perguruan Tinggi Islam utamanya IAIN Surakarta untuk mengkader mahasiswa yang berilmu (intelektual) dan beragama (bermoral), meneguhkan sikap sosialis, soliditas dan loyalitas antar sesama mahasiswa Kebumen, sehingga dengan demikian diharapkan terwujudnya Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sedangkan misi ekternal-nya adalah misi-misi yang berkaitan atau diperuntukan demi kemajuan masyarakat diluar mahasiswa Kebumen tersebut seperti, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat (kelas menengah kebawah) di Soloraya dan Kebumen pada khususnya, dan di Indonesia secara umum.  Oleh sebab itu, Ikatan Mahasiswa Kebumen selain sebagai sebuah komunitas mahasiswa wong ngapak dari Kebumen, juga dapat disebut sebagai sebuah micro organitation (organisasi sederhana) yang berideologi sosio-keagamaan. Artinya organisasi yang menginginkan transformasi sosial (perbaikan kondisi mahasiswa dan masyarakat) serta menginginkan kader yang memiliki kredibilitas keilmuan keislaman (wawasan keislaman) yang tinggi tanpa menghilangkan adab-kesopanan-moral, serta tetap memepertahankan spiritualitas (kondisi batin yang baik).

Pada dasarnya Ikatan Mahasiswa Kebumen juga merupakan jelmaan atau miniatur Perguruan Tinggi Islam dalam hal ini IAIN Surakarta yang menginginkan terbentuknya mahasiswa atau individu yang intelek (akademis/keilmuan) dan moralis (keagamaan/dakwah). Selain juga sebagai sebuah organisasi yang mengikat mahasiswa Kebumen untuk belajar memaknai rasa nasionalisme (kesatuan dan persatuan).

Dengan melihat runtutan latarbelakang diatas, dapat dipahami bahwa sebuah organisasi atau komunitas sangatlah besar manfaatnya. Dalam hal ini Ikatan Mahasiswa Kebumen IAIN Surakarta aka sangat bermanfaat bagi para mahasiswa Kebumen yang turun andil di dalamnya. Satu kata yang perlu dipernyatakan disini adalah “Jangan merehkan satu organisasi apapun, apalagi meremehkan Ikatan Mahasiswa Kebumen”, apapun bentuk aksi kegiatannya sesungguhnya akan terasa manfaatnya disana. Sejelek-jeleknya ulat berjalan dan membumi hanguskan dedauan sampai kocar-kacir tidak karuan, sesungguhnya kelak ia pun akan menjadi kupu-kupu cantik nan indah yang terbang kesana-kemari memperlihatkan keindahannya. Maka, ambillah sisi-sisi positif dari adanya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Kebumen IAIN Surakarta, jangan mengutuk kegelapan, namun terangilah kegelapan itu dengan lilin. IMAKE IAIN Surakarta akan sangat terbuka menerima saran dan kritik yang sifatnya ‘membangun’ dari semua anggota mahasiswa Kebumen, demi mewujudkan IMAKE IAIN Surakarta lebih baik. Ibarat sebagai satu organisasi yang masih seumur bayi, belum seperti organisasi profesional yang lain, Ikatan Mahasiswa Kebumen IAIN Surakarta tetap berupaya untuk cepat tumbuh menjadi balita, remaja hingga dewasa, sehingga dalam praktik kegiatannya pun tidak mengecewakan para anggotanya. Kalaupun dalam praktiknya IMAKE ini masih cukup jauh dari teori yang disodorkan, kita pun harus mawas dan intropeksi diri, perlu dimaklumi sebagai sebuah organisasi seumuran bayi yang masih latihan merangkak, perlu adanya gotong-royong, kerjasama dari kita semua agar dapat memperlancar jalannya kegiatan-kegiatan maupun misi sebagaimana yang telah dibentuk.

 

 

            [1] Lihat Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20: Permulaan Antara Modernisasi dan Identitas (Jakarta: Kencana, 2012), h. 230-231.

            [2] Mujadil Qomar, Strategi Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 79.

            [3] Ibid.., h. 75.

            [4] Baca Muhaimin, Pemikiran dan Katualisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), h. 79-80.

            [5] Masalah tentang lingkungan (kealaman) ini juga salah satu masalah yang cukup urgen di masyarakat. Jika tidak segera diatasi maka akan berakibat lunturnya rasa kealaman dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Apalagi mengingat Indonesia diberi kekayaan alam yang sangat melimpiah dari Tuhan, yang sebenarnya kita dituntut untuk menjaga dan melestarikannya. Tuntutan ini pun kebermanfaatannya akan dirasakan oleh kita sendiri, bukan untuk Tuhan. Bencana alam seperti banjir dan tanah longsor tidak akan terjadi jika kita dalam mengelola kebersihan lingkungan (kealaman) baik dan tepat. Inilah yang juga menjadi salah satu ajaran Islam,  dan seharusnya masuk dalam pendidikan Islam.  Hal ini sudah diterangkan dalam bukunya Erwati Aziz, Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 54. Disana Erwati menerangkan bahwa alam sesungguhnya karunia atau nikmat Tuhan sebagai wujud kasih sayang-Nya untuk manusia. Tapi semua nikmat itu hanya merupakan hak pakai, semacam konsesi dari Tuhan untuk manusia agar mengelola alam bukan menjadi hak milik yang boleh diperlakukan sesuka hati tanpa mengindahkan aturan, tata cara dan norma-norma yang diterapkan. Jadi manusia tidak berkuasa atas alam. Itulah sebabnya Tuhan meminta manusia agar senantiasa berperilaku baik, sopan dan kasih sayang kepada alam lingkungan dan sekali-kali jangan merusaknya (sebagaimana dalam QS. al-Qashash: 77). Ini pula yang menjadi salah satu dasar Ikatan Mahasiswa Kebumen membuat program “upaya pelestarian lingkungan hidup”, yang tergolong dalam program kerja sunnah. Upaya seperti meminimalisasi penangkaran binatang-binatang dan tumbuhan dilindungi, turut empati dan membantu terhadap kejadian kebakaran hutan di Indonesia, penanaman pohon masal, kerjabakti dalam rangka pembersihan sungai, dan berbagai cara lainnya yang dapat mendorong terhadap upaya pelestarian lingkungan.  

            [6] Muhaimin, Pemikiran dan Katualisasi Pengembangan Pendidikan Islam..., h. 76.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun