Awalnya saya hanya terdiam membaca tulisan yang digoreskan oleh kedua teman saya yang terbit di Mimbar Mahasiswa Solopos, Mutimmatun Nadhifah dengan Paradoks KKN Transformatif-nya (25/8/2015), kemudian dilanjutkan oleh Qibtiyatul Maisaroh dengan Mempertanyakan KKN Transformatif (8/9/2015). Keduanya memang dapat dibilang berhasil dalam mengkritisi praktik KKN yang dijalani oleh para mahasiswa di masyarakat. Mulai dari hal pakaian (jas almamater) dan sepatu yang seyogyanya perlu disisihkan hingga bahasa yang juga perlu dibenarkan dari diri mahasiswa di masyarakat. Namun akhirnya saya juga ingin sedikit turut campur tangan dengan opini kedua teman saya yang notabene memiliki kesamaan dalam jalur keilmuan.
Dalam pandangan saya, opini dari suatu fenomena alam dapat dianalogikan sebagai satu penafsiran dari fenomena tersebut. Atau kalau dalam ilmu hadis disebut dengan ma’anil hadis (ilmu untuk memahami hadis: secara kontekstual). Oleh karenanya, fenomena KKN yang dikritisi oleh Mutimmatun dan Qibtiyatul merupakan bentuk penafsiran atau pemahaman mereka tentang KKN (Transformatif), dimana mereka memahaminya secara kontekstual. Saya menyebut kontekstual karena mereka dalam memahami praktik KKN ini belum masuk ke esensi atau nilai-nilai KKN yang sebenarnya. yakni menyentuh pada tujuan utama KKN yang terbentuk dalam pelaksanaan kegiatan (program kerja) yang dilaksanakan bersama dengan masyarakat.
Muncul Pertanyaan
Tentunya jika sudah mengacu ke pihak kampus dan mahasiswa, terdapat sebuah pertanyaan yang perlu diluncurkan yaitu “siapa yang seharusnya berhak diperbaiki -bukan yang berhak disalahkan- dalam kaitannnya praktik KKN yang belum sesuai dengan yang diinginkan dari buku panduan KKN kampus?” Perlu dipertegas disini, saya membuat pertanyaan tersebut bukan bersifat khusus yang ditujukan kepada satu kampus tertentu. Namun pertanyaan disini saya tujukan ke seluruh kampus secara umum dengan model KKN-nya masing-masing, walaupun boleh jadi hanya terjadi atau disebabkan oleh satu kampus saja. Hal ini dalam satu kaidah yang tercangkup dalam ulumul Qur’an disebutkan –al-‘ibratu bi ‘umûmil lafzhi, lâ bi khushûshis sabab-, yang mengambil pelajaran dari keumuman lafadz bukan kekhususan sebab. Tidak menutup kemungkinan kalau kekeliruan yang dilakukan oleh para mahasiswa ketika mereka terjun dimasyarakat disebabkan oleh ketidakmaksimalan dari pihak kampus dalam memberikan pembekalan KKN. Satu mahasiswa dari kampus tertentu yang tercoreng dimata masyarakat, tentunya akan menimbulkan ketidaknyamanan kepada kampus yang bersangkutan. Dengan kejadian seperti ini, akhirnya kampus-kampus lain pun mengambil pelajaran agar lebih mempersiapkan serta mematangkan mahasiswanya sebelum diterjunkan ke masyarakat.
Setelah melihat kenyataan problematik yang tidak bisa dipungkiri tersebut, dapat disimpulkan bahwa salah satu pihak yang seyogyanya turut bertanggung jawab dengan kejadian ini adalah pihak pelepas mahasiswa KKN. Akan lebih tepat jika saya menggunakan kata ‘seyogyanya’ disana, daripada kata ‘seharusnya’. Karena kata seyogyanya lebih mengindikasikan setengah harus dan setengah pantas, bukan sepenuhnya salah. Sebab antara yang diharapkan di teori (buku panduan KKN) dengan praktiknya dilapangan berbeda. Ketidaksesuaian antara teori dengan praktik inilah yang menjadi problematika, sehingga dapat mengganjal tercapainya tujuan KKN yang diterapkan oleh kampus. Maka, ini sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaan yang saya luncurkan diawal tulisan ini.
Kurang matangnya pembekalan yang diberikan dari pihak pelepas KKN, disertai kurang tanggapnya para mahasiswa terhadap pembekalan tersebut merupakan akar permasalahan dalam fenomena praktik KKN yang telah berkembang di masyarakat. Sehingga tidak salah jika kita mendengar bahwa KKN di sebagian kampus di Indonesia sempat dihapus atau ditiadakan. Hal ini juga bukan tidak berdasar. Saya sempat ngobrol dengan teman saya yang seorang alumni dari salah satu Perguruan Tinggi ternama di Surakarta, ia mengatakan bahwa alasan KKN dihapus di kampusnya salah satu alasannya adalah untuk menjaga image (beban moril) kampus tersebut dari pencemaran nama baik di masyarakat jika mahasiswanya malah mengotori masyarakat. Selain karena sebagian besar mahasiswanya belum bisa beradaptasi dengan baik di masyarakat, mereka juga tidak jarang malah membuat ulah dan masalah dengan masyarakat yang disebabkan oleh berbagai hal.
Melihat realitas seperti itu, memang ada untung-ruginya suatu instansi pendidikan seperti Perguruan Tinggi mengadakan KKN. Namun hemat saya mengatakan bahwa KKN tetap harus dilaksanakan, karena dengan KKN lah mahasiswa dapat belajar dari kehidupan yang nyata yaitu bermasyarakat. Tapi juga harus dipertimbangkan lebih matang dalam memberanikan diri melepas mahasiswa yang jumlahnya tidak sedikit itu ke masyarakat umum (pedesaan) yang notabene mempunyai adat-istiadat, bahasa dan agama yang beragam.
Maka saya akan sangat setuju jika sebagian kampus berupaya membenahi kegiatan Kuliah Kerja di wilayah dengan mengubah pola dari yang bersifat pragmatis kepada yang bersifat analitis. Dalam hal ini mahasiswa diposisikan sebagai Agent Of Change di masyarakat melalui pendekatan parsitipasif, yaitu belajar dan bekerja bersama-sama masyarakat untuk melakukan trnasformasi sosial, apalagi yang mengarah pada perubahan sosial keagamaan masyarakat, memfungsikan mahasiswa sebagai fasilitator (fasilitasi pertemuan), katalisator (sumber ide perubahan), dan dinamisator (penggerak masyarakat) dalam menjawab problem sosial yang dihadapi, sehingga hasilnya berupa analisis-analisis kritis sosial keagamaan yang tentunya dapat dipertanggungjwabkan secara akademik dan adanya perubahan kesadaran serta kemandirian masyarakat untuk memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Demikian yang juga terpaparkan di buku LP2M, Panduan KKN Transformatif IAIN Surakarta (2015:10). Selain model KKN ini sangat relevan jika diterapkan di masyarakat sehingga bermanfaat untuk masyarakat, disisi lain juga bermanfaat untuk mahasiswa yaitu dapat meminimalisasi finansial mereka. Karena memang model KKN ini sifatnya lebih mengacu ke non-fisik.
Namun sekali lagi, terkadang teori sudah tepat tapi realisasinya tidak demikian. Maka, alangkah baiknya jika pembekalan teori KKN ini lebih diasupi dengan gizi yang matang. Salah satunya dengan mempertajam proses pembekalan serta diadakannya praktik pembekalan di kampus (sebelum praktik terjun langsung di masyarakat). Kita dapat menganalogikan ke mahasiswa jurusan keguruan yang harus praktik mengajar kecil-kecilan (micro teaching) terlebih dahulu sebelum mereka melaksanakan kegiatan mengajar yang sesungguhnya dalam PPL di sekolah-sekolah. Seyogyanya pembekalan KKN juga sedemikian itu, disamping sebagai pelatihan untuk mematangkan mahasiswa dalam bermasyarakat, juga dapat dikategorikan sebagai bentuk praktikum mahasiswa, tentunya dengan memanfaatkan dana praktikum yang seharusnya telah tersedia bagi para mahasiswa untuk paraktik (khususnya di kampus negeri).
Beberapa hal menurut saya yang perlu dimatangkan dalam pembekalan dan pelatihan mahasiswa sebelum terjun kelapangan diantaranya seperti, Pertama mematangkan teori-teori KKN sesuai dengan model KKN kampus dan kemudian mempraktikannya. Kedua, diadakan pelatihan bahasa, yaitu dengan pelatihan terhadap bahasa daerah yang hendak dijadikan sasaran untuk KKN. Selain bahasa menjadi kunci utama terjalinnya good connection antara mahasiswa dengan masyarakat setempat, Kunjana Rahardi dalam bukunya Bahasa Prevoir Budaya (2009: 6) juga mengatakan bahwa bahasa dapat menjadi penanda keadaan perkembangan dari budaya dan masyarakatnya. Maka dengan mengkaji dan mempelajari bahasa setempat dengan cara mendatangkan guru bahasa daerah yang kan dituju KKN, kita boleh jadi akan mengetahui lebih awal mengenai perkembangan budaya masyarakatnya, bahkan sebelum kita survey kesana. Ketiga, mematangkan mahasiswa dengan mengajar mereka tentang etika, adab sopan-santun bermasyarakat misalnya, dengan memberikan pengarahan bahwa mahasiswa sebisa mungkin dalam berbicara dengan memakai bahasa masyarakat setempat, mempelajari adab kesopanan di daerah yang kan dituju (karena tidak menutup kemungkinan antara daerah satu dengan yang berdampingan adab-kesopanannya berbeda), memberitahu tentang perbedaan strata (mengarahkan mahasiswa agar tidak menggurui masyarakat sekaligus memberitahu agar menghindari terjadinya jurang pembeda/pembatas antara mahasiswa dengan masyarakat seperti sepantasnya tidak memakai jas almamater, sepatu dan semacamya pada kegiatan kemasyarakatan), walaupun itu hal yang sepele namun tidak bisa juga untuk disepelekan. Keempat, membekali mahasiswa dengan mempelajari tentang adat-istiadat daerah yang kan dituju untuk KKN. Kita tidak bisa memberdayakan masyarakat setempat yang dituju jika kita juga belum mengetahui kebiasaan, adat-istiadat daerah atau wilayah tersebut. Misalnya mahasiswa yang berasal dari Bugis, akan kesulitan untuk terjun menghadapi masyarakat di Jawa, mahasiswa Sunda akan kesulitan jika menghadapi (memberdayakan) masyarakat Batak, dan lain sebagainya. Termasuk beradaptasi anak kota dengan pedesaaan pun akan berbeda. Hilman Latief, seorang research associate di The Maarif Institute for Culture and Humanity menyatakan dalam bukunya Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis (2010:42) bahwa terjadi perbedaaan antara orang desa dengan orang kota dalam mengungkapkan rasa peduli mereka terhadap sesama. Ia mencontohkan bahwa cara orang kota (yang kaya) mengekspresikan sikap dermawan terhadap sesamanya tidak diukur dengan sekedar finansial, tapi juga dari dedikasi mereka dalam menyediakan waktu untuk mengabdikan diri pada instituti, menyumbangkan pikiran untuk kebaikan bersama, dan menyisihkan tenaga untuk menjadi relawan dalam sebuah komunitas.
Tentunya berbagai hal yang saya kemukakan diatas sebagai solusi pembekalan KKN tidak lepas dengan yang namanya waktu. Untuk itu memang akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengimplementasikan beberapa solusi tersebut, sekitar kurang lebih dua bulan. Sebagian Perguruan Tinggi pun sudah ada yang menerapkan sistem pembekalan KKN seperti ini. Kurun waktu dua bulan menurut saya merupakan waktu yang ideal sebagai waktu pembekalan kepada para mahasiswa KKN, dalam catatan dengan tidak mengganggu proses perkuliahan. Sehingga pada nantinya KKN dapat terealisasi sesuai dengan teori yang diinginkan dalam buku panduan kampus dan tidak lagi terkesan paradoks.
Oleh: Abdul Aziz Muslih
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H