Mohon tunggu...
Humaniora

Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia

20 September 2015   11:43 Diperbarui: 20 September 2015   12:40 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebuah Resensi Buku Jombang Cairo-Jombang Chicago)

Kita boleh curiga kepada kimia tanah dan air sumur di Jombang Selatan yang dulu membesarkan Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Seakan-akan terdapat zat tertentu aneh yang mendoroh kedua tokoh ini rajin menyodorkan hil-hil yang mustahil. Kedua tokoh ini telah menjadi tokoh nasional karena kiprah dan pemikiran keislamannya yang tampil beda (baru, kontroversi dan inklusif). Dalam konteks kehidupan keberagamaan dan kehidupan berbangsa, Gus Dur dan Cak Nur adalah dua sosok sentral yang arti penting dan popularitasnya sulit ditandingi. Kedua figur ini telah membuat sejarah dengan kiprahnya berhasil membangun peradaban muslim Indonesia yang berbeda dengan era sebelumnya. Boleh jadi, ini lah yang membuat hati penulis buku ini ingin mengungkap mengenai kiprah dan pemikiran kedua tokoh bangsa tersebut dalam rangka pembaruan Islam di Indonesia.

Gus Dur dalam pandangan mayoritas adalah misteri. Ia sosok yang kontroversial yang tak henti-hentinya membuat bingung semua orang. Saking nyeleneh-nya, Gus Dur bahkan membuat semua orang yang mencoba memahaminya menjadi “frustasi”. Keputusan ini tercermin dalam banyak ungkapan yang menghiasai ranah wacana di Indonesia. Bahkan dalam bahasa yang setengah humor Gus Dur dinilai sebagai keajaiban dunia yang kedelapan. Bagi kaum Nahdliyin, mantan Presiden RI ke-4 ini dipercaya sebagai wali, paling tidak keturunan wali. Di area politik aktivis Forum Demokrasi ini dituding inkosisten. Yang lebih ekstrem lagi, dia sampai dijuluki orang yang waton suloyo hingga Forum Langitan pun merasa perlu memintanya berjanji untuk berhenti bikin “geger”, baik dengan ucapan maupun perbuatan, sebelum memberikan restu bagi Gus Dur naik tahta kepresidenan.

Anggapan negatif terhadap dua tokoh tersebut telah ditepis oleh Syamsul Bakri dan Mudhafir dalam buku Jombang Kairo, Jombang Chicago ini. Syamsul Bakri dan Mudhafir menilai antara Gus Dur dan Cak Nur memang ada sedikit berlainan. Asal memang boleh sama dari Jombang. Dari segi tradisi akademik pun sama-sama tumbuh dari pesantren, tetapi dua sosok ini tetaplah figur dengan karakteristik (watak individu, pemikiran, jalur perjuangan) yang berbeda. Dalam buku ini dijelaskan secara komprehensif tentang bagaimana pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam rangka pembaruan Islam di negeri Khatulistiwa ini. Jika Gus Dur terkesan meledak-ledak, cuek, rumit dan melangit, Cak Nur sebaliknya, dicitrakan sebagai sosok yang jernih, adem dan membumi.

Jika dilihat dari segi latarbelakang pendidikannya, Cak Nur adalah alumnus Gontor dan universitas Barat dengan tradisi modern, Gus Dur alumnus pesantren

tradisional dan universitas Timur Tengah dengan tradisi relatif formalistik. Namun, keduanya memiliki minat baca yang sama. Mereka menyukai bacaan-bacaan serius yang berbahasa asing. Keduanya mahir dengan berbagai bahasa di negara-negara Islam dan Barat sehingga wawasan keislaman dan kemodernan mereka luar biasa melampaui rekan seangkatannya. Dengan kejeniusan yang dimiliki ini, pada usia muda mereka telah mengemukakan pokok-pokok pikiran yang cenderung cemerlang dan mewarnai alam pikiran umat Islam Indonesia. Dalam dikursus pemikiran Islam Indonesia keduanya dikelompokkan ke dalam tokoh neomodernisme.

Pemikiran Gus Dur

Buku setebal 158 halaman ini tidak lain adalah menekankan pemikiran seorang Abdurrahman Wahid yang memiliki pandangan dasar bahwa Islam harus secara aktif dan substantif ditafsirkan dan dirumuskan ulang agar tanggap terhadap kehidupan modern. Olehkarenanya, reformulasi Islam dalam kehidupan sekarang ini menurutnya sangat diperlukan untuk diterapkan.

Cara pandang Gus Dur yang apresiatif terhadap perubahan ini pada dasarnya bersumber dari kaidah yang dianut  ulama Nahdlatul Ulama pada umumnya, yaitu al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa akhdzu bi al-jadid al-aslah (memelihara nilai lama yang baik dan mengambil nilai baru yang lebih baik). Konsep tersebut sekaligus menjadi titik simpul yang diusung dalam buku ini. Tidak hanya Gus Dur, Cak Nur pun sebenarnya bisa dikatakan memagang konsep dan kaidah yang dicanangkan ulama itu.

Dari sinilah Abdurrahman Wahid menekankan bahwa tantangan umat Islam saat ini adalah melakukan perubahan. Untuk itu, diperlukan proses kreatif yang dinamis dengan menjadikan warisan masa lalu sebagai dasar inspirasional, bukan dasar legal formal guna menemukan informasi Islam yang lebih sesuai dengan realitas sosiologis dalam kerangka ke-Indonesiaaan.

Urgensi dari reformulasi Islam sangat diperlukan dalam upaya menyesuaikan Islam dengan realitas kehidupan muslim yang berjalan dinamis dan beragam. Dengan dinamisasi itu, dimkasudkan agar terciptanya wajah dan sifar progresif Islam yang relevan dan dapat diterima. Gagasan-gagasan pemikiran Abdurrahman Wahid ini telah mengindikasikan adanya respons kalangan tradisionalis (NU) terhadap modernitas.

Selain itu, dalam konteks kenegaraan Gus Dur juga menyatakan bahwa jika Islam secara legal dan formal dijadikan asas kenegaraan, dikhawatir

kan akan menciptakan kendala psikologis bagi umat nonmuslim yang juga pemilik negeri ini dalam partisipasi aktifnya membangun bangsa. Jika ini terjadi, menurut Abdurrahman Wahid akan menyebabkan rapuhnya ikatan kebangsaan yang sudah dibangun para pendiri bangsa.

Buku ini juga menceritakan tentang ketika Gus Dur pernah menuding ICMI sebagai salah satu kalangan Islam eksklusif yang tidak menghargai pluralisme agama. Syamsul Bakri dan Mudhafir berhasil menyebutkan alasan mengapa Gus Dur menuding ICMI tersebut.“Benturan itu dipengaruhi oleh kerasnya pandangan keislaman yang eksklusif dan inklusif, seperti tercermin dalam pelontaran isu Kristenisasi di Indonesia oleh para intelektual muslim yang tergabung dalam ICMI”, ungkap Gus Dur. Dengan sendirinya perdebatan seru mengenai isu Kristenisasi ini akan mengganggu hubungan antaragama yang sedang dibangun. Menurut Gus Dur, Islam seharusnya tidak ditampilkan secara eksklusif dan diskriminatif terhadap pihak lain. Olehkarenanya, pandangan Gus Dur yang kosmopolitan ini merupakan cara pandang yang akomodatif, moderat, pluralis dan antisektarian sehingga diharapkan muslim dapat menerima dan mengembangkan kerja sama dengan nonmuslim. Tentunya kerja sama pada bidang sosial-ekonomi, bukan kerja sama dalam hal akidah-ibadah.

Pemikiran Cak Nur

Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid memiliki pola pemikiran dan gerakan tersendiri dalam melakukan pencerahan terhadap mayarakat Islam dalam konteks bagaimana umat Islam menghadapi peradaban global akibat dampak modernisasi dan globalisasi dalam skala yang lebih luas. Ak

ibat dari adanya arus modernisasi dan globalisasi ini setidaknya telah menghadirkan banyak tawaran dalam kehidupan beragama. Clifford Geertz dalam hal ini mengungkapkan bahwa tawaran itu muncul dalam dua wajah, yaitu sekularisasi pemikiran dan ideologis agama. Untuk itu, Nurcholish Madjid menganjurkan sekularisasi dalam pengertian sosiologis, yaitu memanfaatkan akal untuk hal-hal yang bersifat duniawi sehingga secara efektif dapat berhasil guna kesejahteraan hidup manusia.

Dalam hal ini Cak Nur menolak sekularisme. Karena menurutnya sekularisme merupakan ideologi yang tertutup dan mirip agama. Sementara itu, Abdurrahman Wahid tidak memilih ekstrimitas keduanya, hanya saja ia berpandangan bahwa sekularisasi akan dianggap positif apabila yang dimaksudkan adalah proses sosial yang mengarah pada penerapan nilai-nilai humanisme yang berbasis pada ajaran agama. Untuk itu, dia tidak pernah menganggap pandanga Cak Nur sebagai sesuatu yang menyimpang.

Titik-titik simpul pemikiran Nurcholish Madjid sebenarnya bertumpu pada beberapa hal. Salah satunya adalah relativisme, yakni bahwa kebenaran penafsiran keagamaan bersifat relatif terhadap perkembangan ruang dan waktu. Oleh karena itu, diperlukan selalu usaha reinterpretasi ajaran agama menurut kedisinian dan kekinian (here and now).

Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur

Terlepas dari perbedaan karakter tersebut, dua putra asli Jombang ini memiliki persamaan yang sangat mendasar, yaitu sama-sama cendikiawan, berani dalam melawan arus, progresif, dan visioner. Kapabilitas yang jauh melampaui visi mayoritas orang sezaman inilah yang membuat kedua sosok ini kerap terlihat aneh di mata publik, ditatap penuh dengan kecurigaan, bahkan dituduh sebagai musuh Islam.

Padahal sesungguhnya, yang dilakukan Gus Dur dan Cak Nur adalah memberikan tanggapan yang tepat terhadap realitas zaman yang semakin kompleks. Dua cendikiawan santri ini mengemukakan gagasan-gagasan pembaruan dalam rangka memberdayakan agama sehingga mampu menjadi kekuatan yang produktif dan penuh solusi menghadapi persoalan kehidupan global. Pembaruan bagi keduanya adalah sangat salah jika agama hanya dipahami sebagai lahan spiritualitas yang melenakan sehingga melupakan persoalan aktua

l. Kesalahpahaman yang berujung hujatan mestinya tak perlu hadir jika saja umat Islam Indonesia mampu mempercayai bahwa yang dilakukan Gus Dur dan Cak Nur dapat dipertanggungjawabkan karena masih dalam bimbingan pengalaman, ilmu pengetahuan juga boleh jadi dari wahyu Ilahi.

Kelebihan dan Kekurangan

Buku ini mencoba memaparkan sosok dan kiprah Gus Dur dan Cak Nur dalam pergulatan di bumi intelektual Indonesia tanpa harus terjebak pada kontroversi atau konflik yang ada. Yang dikedepankan dalam kupasan buku ini adalah objektivitas dan validitas informasi.

Namun, buku ini tidak secara khusus berbicara tentang karier politik Gus Dur dan Cak Nur. Andaikan itu ada, hanyalah perluasan saja dari perjalanan mereka di jalur politik. Makna penting dalam buku ini terletak pada elaborasi pemikiran Islam kedua tokoh ini yang banyak memengaruhi cara pandang umat Islam dalam kehidupan dan pembangunan. Struktur pemikiran Islam di Indonesia menjadi semakin cair oleh pandangan dan pemikiran Islam keduanya. Hasilnya adalah mencairnya ketegangan antara umat Islam dengan negara, modernitas dan peradaban lain dengan munculnya Islam kosmopolitan dan neomodernisme. Islam kosmopolitan yang mengakui adanya relativitas pandangan atau kebenaran. Hanya kebenaran Tuhanlah yang mutlak dan tak dapat dibantah. Sementara itu, semua pemahaman manusia tentang kebenaran Tuhan adalah relatif. Dengan demikian, tidak dibenarkan untuk mengabsolutkannya.

Sumbangan berharga yang digoreskan Syamsul Bakri dan Mudhafir tentang pembaruan pemikiran Islam Gus Dur dan Cak Nur dalam buku ini, setidaknya dapat menggugah sekaligus membuka cakrawala kita dalam membentuk kepribadian yang spiritualis, moderat, inklusif, toleran, humanis dan pluralis.

 

Ditulis Oleh:

Abdul Aziz el-Martani

Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun