Mohon tunggu...
Aziz Aljaisyi
Aziz Aljaisyi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Pengajar

Saya seorang pendidik dan penulis yang berusaha berkontribusi dalam pembinaan umat melalui dakwah dan pendidikan. Dengan latar belakang pendidikan hingga S2 di bidang Pendidikan Islam, saya telah menulis beberapa buku Islami. Saat ini, saya aktif sebagai pengajar, khatib, pemateri dalam forum ilmiah, dan terus berupaya memberikan manfaat melalui ilmu dan pengalaman yang saya miliki.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Literasi Sebagai Pilar Peradaban: Menggali Hikmah Dari QS. Al Alaq

23 Januari 2025   06:11 Diperbarui: 23 Januari 2025   06:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagi saya membaca merupakan kebutuhan hidup

Literasi adalah fondasi utama dalam membangun peradaban. Kemampuan membaca dan menulis tidak hanya menjadi kunci untuk mengakses ilmu pengetahuan, tetapi juga membuka jalan bagi individu untuk memahami dunia, berpikir kritis, dan berkontribusi pada kemajuan masyarakat. Sebut saja Hos Cokro, Tan Malaka, Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, M. Natsir, Buya Hamka dan tokoh pergerakan kemerdekaan lainnya mereka adalah para Bibliophile, gemar membaca dan menulis.

Namun bebalik dengan keadaan saat ini, dimana tingkat literasi di Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan. Berdasarkan berbagai survei internasional, minat baca dan kebiasaan menulis di kalangan anak-anak dan remaja Indonesia masih tergolong rendah. Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal literasi. Hasil survei ini menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 0,001%, yang berarti dari 1.000 orang, hanya 1 orang yang memiliki minat baca tinggi. Survei PISA (Program for International Student Assessment) menempatkan Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara untuk kemampuan membaca. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan literasi siswa di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Justru mengalami peningkatan pada penggunaan media sosial dan game. Data We Are Social dan Hootsuite (2023) menyebutkan Indonesia memiliki 191 juta pengguna aktif media sosial, setara dengan sekitar 69% dari total populasi. Di zaman berkembangnya teknologi seperti saat ini anak-anak dan remaja mereka cendrung tertarik untuk membuka media sosial dan game online dari pada membuka buku apa lagi menulis. Sehingga mudah terprovokasi dengan berita singkat melalui potongan video karena tidak menerima informasi secara utuh, selain itu penyakit mager alias males membuat mereka enggan berfikir keras untuk mengembangkan diri.

Kondisi ini menjadi perhatian serius, mengingat literasi memiliki peran strategis dalam membentuk kualitas generasi penerus bangsa serta sebagi pilar peradaban. Ingat hadirnya kemerdekaan di Indonesia setelah dijajah ratusan tahun oleh kolonial adalah berawal dari sebuah gagasan yang keluar dari para pemikir yang gemar membaca lalu mereka dobrak para penjajah dengan tulisan-tulisan mereka, sehingga membangkitkan kesadaran dan semangat bangsa Indonesia untuk meraih sebuah kemerdekaan.

Tanpa kemampuan membaca yang baik, seseorang sulit memahami informasi yang kompleks, sementara tanpa kebiasaan menulis, ide-ide cemerlang sulit terdokumentasi dan dibagikan. Oleh karena itu, upaya membangun kebiasaan membaca dan menulis sejak dini harus menjadi prioritas bersama, baik oleh keluarga, sekolah, maupun masyarakat luas.

Kita bisa perhatikan surat yang pertama kali turun pada Al Qur'an adalah surat Al Alaq ayat 1-5. Didalam ayat tersebut terkandung nilai literasi. Pada ayat pertama Allah memerintah kan kepada Nabi Muhammad untuk membaca, bahkan Allah sebutkan dua kali pada ayat yang ketiga. Allah berfirman,

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,

Artinya: Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,

Lalu pada ayat keempat Allah sebut Qalam yang berarti pena atau alat tulis,

Artinya: Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (pena),

Seakan-akan Allah menjelaskan bahwa kunci ilmu hanya ada pada dua hal yaitu; membaca dan menulis, dan membaca lebih Allah dahulukan daripada menulis sebab seorang tidak akan mampu menulis jika ia tidak gemar membaca. Dalam teori literasi, membaca adalah proses input di mana seseorang menyerap informasi, memahami struktur bahasa, dan memperkaya kosakata. Menulis, di sisi lain, adalah proses output di mana seseorang mengungkapkan ide berdasarkan pemahaman yang diperoleh dari membaca. Teori Linguistik (Krashen, 1985): Stephen Krashen dalam Input Hypothesis menjelaskan bahwa pemahaman terhadap bahasa (melalui membaca) adalah prasyarat untuk kemampuan produksi bahasa (menulis). Dengan kata lain, seseorang hanya dapat menulis sejauh apa yang telah dipahami melalui membaca.

Imam ibnu katsir menjelaskan terkait tafsir ayat diatas bahwa ilmu mencakup 3 aspek;

  • Ilmu yang ada dihati ( )
  • Ilmu yang ada dilisan ( )
  • Ilmu yang ada pada tulisan ( )

Adapun ilmu yang ada pada tulisan membuktikan penguasaan pada dua aspek lainnya (ilmu yang ada dihati dan dilisan). Kita sering menjumpai seorang yang pandai berbicara belum tentu dia mampu menulis atau seorang yang dia memahami ilmu belum tentu dia dapat menuangkan ilmunya kedalam tulisan berbentuk sebuah karya.

Ilmu yang ada di hati adalah representasi dari pemahaman mendalam dan internalisasi ilmu. Dalam konteks ini, hati dianggap sebagai pusat pemahaman dan refleksi spiritual dalam Islam. Imam Ibnu Katsir mengacu pada bagaimana ilmu yang benar menumbuhkan keyakinan (Aqidah), iman, dan kesadaran yang sejati. Dari sudut pandang psikologi kognitif, ilmu di hati dapat dihubungkan dengan proses internalisasi, yaitu bagaimana seseorang memahami, memproses, dan menyerap ilmu hingga menjadi bagian dari sistem keyakinannya. Dalam Islam, ilmu yang ada di hati harus melahirkan ketaqwaan kepada Allah Ta'ala. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28). Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yang benar tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga menghasilkan kesadaran moral dan spiritual.

Ilmu di lisan adalah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan atau menyampaikan ilmu melalui ucapan. Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa ilmu yang terinternalisasi dalam hati akan terlihat dari kemampuan seseorang berbicara dengan jelas, lugas, dan penuh hikmah. Ilmu di lisan melibatkan proses produksi bahasa, yang merupakan salah satu aspek penting dari komunikasi manusia. Teori linguistik, seperti Speech Production Model dari Levelt (1989), menjelaskan bahwa berbicara membutuhkan pengetahuan di memori (ilmu di hati) untuk menghasilkan ucapan yang bermakna. Dalam pendidikan Islam, penyampaian ilmu secara lisan merupakan tradisi penting, seperti halnya metode pengajaran Nabi Muhammad kepada para sahabat. Ilmu yang ada di lisan harus disampaikan dengan hikmah dan kejelasan agar dapat dipahami oleh orang lain (QS. An-Nahl: 125).'

Sedangkan ilmu yang ada pada tulisan menjadi bukti penguasaan atas dua aspek sebelumnya (ilmu di hati dan ilmu di lisan). Tulisan adalah bentuk konkret dari pengetahuan dan menjadi sarana dokumentasi agar ilmu dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebab menulis adalah proses mentransfer ilmu dari pikiran (hati) dan bahasa (lisan) ke dalam bentuk permanen (tulisan). Menurut teori Cognitive Load (Sweller, 1988), menulis melibatkan pengolahan informasi tingkat tinggi karena membutuhkan pemahaman, analisis, dan sintesis pengetahuan.

Teori Imam Ibnu Katsir dalam tafsir Qs. Al Alaq tentang tiga aspek ilmu menunjukkan bahwa ilmu yang sempurna melibatkan internalisasi di hati, ekspresi melalui lisan, dan dokumentasi melalui tulisan. Ketiganya saling bergantung dan membentuk rangkaian keilmuan yang utuh. Secara ilmiah, konsep ini relevan dengan teori-teori pendidikan modern yang menekankan pentingnya memahami (hati), mengomunikasikan (lisan), dan mengaplikasikan (tulisan) ilmu untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan.


Sebagai pilar peradaban, literasi harus menjadi prioritas bersama. Membudayakan membaca dan menulis sejak dini adalah langkah strategis untuk membangun generasi penerus yang cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Semoga kita semua dapat terus menghidupkan tradisi literasi sebagai warisan intelektual dan spiritual yang tak ternilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun