Seakan-akan Allah menjelaskan bahwa kunci ilmu hanya ada pada dua hal yaitu; membaca dan menulis, dan membaca lebih Allah dahulukan daripada menulis sebab seorang tidak akan mampu menulis jika ia tidak gemar membaca. Dalam teori literasi, membaca adalah proses input di mana seseorang menyerap informasi, memahami struktur bahasa, dan memperkaya kosakata. Menulis, di sisi lain, adalah proses output di mana seseorang mengungkapkan ide berdasarkan pemahaman yang diperoleh dari membaca. Teori Linguistik (Krashen, 1985): Stephen Krashen dalam Input Hypothesis menjelaskan bahwa pemahaman terhadap bahasa (melalui membaca) adalah prasyarat untuk kemampuan produksi bahasa (menulis). Dengan kata lain, seseorang hanya dapat menulis sejauh apa yang telah dipahami melalui membaca.
Imam ibnu katsir menjelaskan terkait tafsir ayat diatas bahwa ilmu mencakup 3 aspek;
- Ilmu yang ada dihati ( )
- Ilmu yang ada dilisan ( )
- Ilmu yang ada pada tulisan ( )
Adapun ilmu yang ada pada tulisan membuktikan penguasaan pada dua aspek lainnya (ilmu yang ada dihati dan dilisan). Kita sering menjumpai seorang yang pandai berbicara belum tentu dia mampu menulis atau seorang yang dia memahami ilmu belum tentu dia dapat menuangkan ilmunya kedalam tulisan berbentuk sebuah karya.
Ilmu yang ada di hati adalah representasi dari pemahaman mendalam dan internalisasi ilmu. Dalam konteks ini, hati dianggap sebagai pusat pemahaman dan refleksi spiritual dalam Islam. Imam Ibnu Katsir mengacu pada bagaimana ilmu yang benar menumbuhkan keyakinan (Aqidah), iman, dan kesadaran yang sejati. Dari sudut pandang psikologi kognitif, ilmu di hati dapat dihubungkan dengan proses internalisasi, yaitu bagaimana seseorang memahami, memproses, dan menyerap ilmu hingga menjadi bagian dari sistem keyakinannya. Dalam Islam, ilmu yang ada di hati harus melahirkan ketaqwaan kepada Allah Ta'ala. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28). Hal ini menunjukkan bahwa ilmu yang benar tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga menghasilkan kesadaran moral dan spiritual.
Ilmu di lisan adalah kemampuan seseorang untuk mengekspresikan atau menyampaikan ilmu melalui ucapan. Imam Ibnu Katsir menekankan bahwa ilmu yang terinternalisasi dalam hati akan terlihat dari kemampuan seseorang berbicara dengan jelas, lugas, dan penuh hikmah. Ilmu di lisan melibatkan proses produksi bahasa, yang merupakan salah satu aspek penting dari komunikasi manusia. Teori linguistik, seperti Speech Production Model dari Levelt (1989), menjelaskan bahwa berbicara membutuhkan pengetahuan di memori (ilmu di hati) untuk menghasilkan ucapan yang bermakna. Dalam pendidikan Islam, penyampaian ilmu secara lisan merupakan tradisi penting, seperti halnya metode pengajaran Nabi Muhammad kepada para sahabat. Ilmu yang ada di lisan harus disampaikan dengan hikmah dan kejelasan agar dapat dipahami oleh orang lain (QS. An-Nahl: 125).'
Sedangkan ilmu yang ada pada tulisan menjadi bukti penguasaan atas dua aspek sebelumnya (ilmu di hati dan ilmu di lisan). Tulisan adalah bentuk konkret dari pengetahuan dan menjadi sarana dokumentasi agar ilmu dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebab menulis adalah proses mentransfer ilmu dari pikiran (hati) dan bahasa (lisan) ke dalam bentuk permanen (tulisan). Menurut teori Cognitive Load (Sweller, 1988), menulis melibatkan pengolahan informasi tingkat tinggi karena membutuhkan pemahaman, analisis, dan sintesis pengetahuan.
Teori Imam Ibnu Katsir dalam tafsir Qs. Al Alaq tentang tiga aspek ilmu menunjukkan bahwa ilmu yang sempurna melibatkan internalisasi di hati, ekspresi melalui lisan, dan dokumentasi melalui tulisan. Ketiganya saling bergantung dan membentuk rangkaian keilmuan yang utuh. Secara ilmiah, konsep ini relevan dengan teori-teori pendidikan modern yang menekankan pentingnya memahami (hati), mengomunikasikan (lisan), dan mengaplikasikan (tulisan) ilmu untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan.
Sebagai pilar peradaban, literasi harus menjadi prioritas bersama. Membudayakan membaca dan menulis sejak dini adalah langkah strategis untuk membangun generasi penerus yang cerdas, kreatif, dan berakhlak mulia. Semoga kita semua dapat terus menghidupkan tradisi literasi sebagai warisan intelektual dan spiritual yang tak ternilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H