Gua diberi kesempatan mengunjungi Jayapura untuk menetap beberapa hari. Jelang pergi, gelontoran wejangan dan saran datang menyaba telinga kanan dan kiri. Kata mereka, bahwa kondisi di Papua begini, begini, & begini. Orang-orang di Papua juga begini, begini, & begini.
Lantas, satu minggu menetap di Jayapura, sekaligus berkeliling ke daerah Sentani, Abepura, dan Jayapura. Mata mengamati sepanjang iringan perjalanan, sepintas. Mulut bercengkrama bersama para penduduk, sekilas.
Hasil dari mata dan mulut yang bekerja melalui pengamatan, bahwa Jayapura bukanlah kota yang kuno dalam segi peradaban, bukan juga kota yang menyeramkan, seperti selentingan cerita yang berbalut gelontoran wejangan.
Orang-orang di Jayapura sudah beragam dan heterogen, tak didominasi orang Papua yang homogen. Para pendatang kebanyakan berasal dari daerah Tengah/Timur Indonesia, seperti orang Sulawesi. Tapi juga banyak dari suku Jawa.
Kesimpulan sementara, mayoritas pendatang di Jayapura adalah suku Jawa dan orang-orang dari daerah Tengah/Timur Indonesia (selain daerah Papua).
Kepingan-kepingan tebing, pulau, bukit, dengan nuansa hijau berpadu sorot cahaya matahari bersama nuansa tropis, biru laut yang eksotis, langit jernih yang menggerayangi awan putih berlapis-lapis, dan udara yang cukup higienis.
Itu semua adalah kemewahan alam yang membingkai tanah Jayapura dalam segi geografis. Dengan sajian pemandangan alam yang bombastis, Jayapura selalu membuat mata terbelalak tanpa habis!
Perjalanan takdir membawa gua ke tanah eksotis Jayapura. Beragam hikmah  menyapa isi dada dan kepala, bermacam realita telah mengoyak mata. Gua menjadi orang yang cukup beruntung, karena bisa melihat Indonesia lebih dekat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI