Gua diberi kesempatan mengunjungi Jayapura untuk menetap beberapa hari. Jelang pergi, gelontoran wejangan dan saran datang menyaba telinga kanan dan kiri. Kata mereka, bahwa kondisi di Papua begini, begini, & begini. Orang-orang di Papua juga begini, begini, & begini.
Lantas, satu minggu menetap di Jayapura, sekaligus berkeliling ke daerah Sentani, Abepura, dan Jayapura. Mata mengamati sepanjang iringan perjalanan, sepintas. Mulut bercengkrama bersama para penduduk, sekilas.
Hasil dari mata dan mulut yang bekerja melalui pengamatan, bahwa Jayapura bukanlah kota yang kuno dalam segi peradaban, bukan juga kota yang menyeramkan, seperti selentingan cerita yang berbalut gelontoran wejangan.
Di Jayapura, fasilitas umum sudah tersedia dengan sangat layak. Fasilitas seperti Minimarket, Mall, Apotik, sudah cukup banyak. Kendaraan umum (angkot) cukup marak. Ya, hampir sama persis seperti di Jakarta.
Orang-orang di Jayapura sudah beragam dan heterogen, tak didominasi orang Papua yang homogen. Para pendatang kebanyakan berasal dari daerah Tengah/Timur Indonesia, seperti orang Sulawesi. Tapi juga banyak dari suku Jawa.
Kesimpulan sementara, mayoritas pendatang di Jayapura adalah suku Jawa dan orang-orang dari daerah Tengah/Timur Indonesia (selain daerah Papua).
Kepingan-kepingan tebing, pulau, bukit, dengan nuansa hijau berpadu sorot cahaya matahari bersama nuansa tropis, biru laut yang eksotis, langit jernih yang menggerayangi awan putih berlapis-lapis, dan udara yang cukup higienis.
Itu semua adalah kemewahan alam yang membingkai tanah Jayapura dalam segi geografis. Dengan sajian pemandangan alam yang bombastis, Jayapura selalu membuat mata terbelalak tanpa habis!