Mohon tunggu...
Aziz Baskoro Abas
Aziz Baskoro Abas Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Nulis

Doyan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Masa Transisi dan "Keberuntungan" Liverpool Merajai Liga Inggris

1 Juli 2020   16:39 Diperbarui: 1 Juli 2020   16:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Akun Instagram Liverpool FC

Berawal Dari Rafael Benitez

Rafael Benitez adalah pelatih yang mengisi gelar Liga Champions kelima pada lemari koleksi Anfield. Ia juga yang membawa Liverpool ke final Liga Champions musim 07-08, dan 'hampir' merajai Liga Inggris musim 08-09. Musim 09-10 adalah karir terakhirnya bersama Liverpool, ia harus menemui jalan pisah lantaran dianggap ‘gagal’ merengkuh trofi Liga Inggris.

Lalu, Roy Hudgson merapat sebagai suksesor Rafa untuk memulai kisah baru bersama Liverpool. Baru setengah musim berjalan, Liverpool malah terlempar jauh dari zona Liga Champions, minim produktifitas gol, dan bahkan sempat bertengger di zona degradasi. Ini adalah fase transisi yang paling memalukan bagi Liverpool sepanjang era premier league.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Di tengah-tengah musim kompetisi, Roy Hudgson akhirnya didepak dari kursi. Lalu Kenny Dalglish, salah satu legenda Liverpool, gilirannya mengambil alih kemudi. Ia berhasil memulihkan Liverpool di akhir musim. 

Lalu ia mendatangkan ‘Sang Penembak Jitu’, El Pistolero, Luis Suarez, untuk menambal lubang vital di lini depan Liverpool akibat kepergian Fernando ‘El Nino’ Torres. King Kenny, begitu sapaan akrabnya, sempat meniupkan angin segar dengan raihan trofi Carling Cup. Tapi di musim berikutnya, ia tak cukup kuat untuk membangun ulang skuad Liverpool di masa transisi.

Bendan Rodgers ditunjuk untuk menukangi pembangunan Liverpool pada periode selanjutnya, masih dalam keadaan terjelembab di masa transisi. Ia datang berdasarkan riwayat apik saat menjadi juru taktik Swansea. Gue melihat, Rodgers berhasil membangun tim pada masa transisi. 

Puncaknya terjadi pada musim 13-14, Liverpool hampir menjadi kampiun Liga Inggris, sebelum insiden ‘terpeleset’ sang kapten, juga hasil imbang dengan Crystal Palace.

Pada fase itu, transisi Rodgers sukses meramu duet mengerikan; SAS (Suarez dan Sturridge). Duet itu juga ditopang oleh pemain yang menemui kematangan, seperti Rahemm Sterling dan Philiphe Coutinho. Sayangnya, fase transisi itu tidak melenggang lama. Suarez pindah ke Barca, dan Sterling pindah ke Manchester City. 

Praktis, transisi harus dimulai dari nol lagi. Lucunya, gue melihat ada semacam ‘pembelian panik’. Ricky Lambert, Lazar Markovic, bahkan Mario Balotelli! Gue ulangi, ya. Mario Balotelli. Mereka dibeli untuk masuk dalam proyek pembangunan tim jilid dua. Dan hasilnya, ya sudah pasti gagal.

Penunjukan Jurgen Klopp

Hingga tiba lah tamu agung, Jurgen Klopp. Ia datang membawa rencengan catatan sebagai Juara Liga Jerman dan finalis Liga Champions kala menangani Dortmund. 

Di tangan Klopp, masa transisi Liverpool perlahan mulai menggigit. Klopp sukses memboyong Liverpool ke partai final Capital One, Liga Eropa, dan Liga Champions. Kendati gagal juara, itu merupakan sinyal yang cukup kuat, bahwa pondasi skuad Liverpool telah berada di lajur yang tepat.

Kontroversi Kepergian Coutinho

Kepergian Coutinho adalah badai hebat di saat masa transisi sedang berlangsung. Ketakutan itu hadir kembali sebagai pengingat terhadap sejarah buruk, bahwa Rodgers pernah gagal membangun tim di jilid kedua pasca Suarez dan Sterling pergi. Praktis, hanya Adam Lallana yang 'setara' terhadap kemampuan Coutinho sebagai gelandang kreatif.

Pelan-pelan, Klopp dapat memberangus keraguan itu. Kehilangan Coutinho dibalas tuntas oleh gelar Liga Champions musim 18-19. Pada musim itu juga, Liverpool mulai mendominasi Liga Inggris. Fase transisi itu tampak mekar menjadi bunga-bunga kemenangan. Jalan gelap transisi Liverpool mulai menemui jalan terang.

Dan pada awal musim 19-20, Liverpool mulai berani mengeluarkan taringnya. Ia siap menjadi penantang serius gelar juara Liga Inggris. Dan selama musim 19-20 berjalan, Liverpool benar-benar tampil kesetanan. Ia melesat jauh meninggalkan para pesaingnya di belakang.

Variabel Eksternal

Seutas catatan menarik. Setelah gue mengulik variabel internal di tubuh Liverpool itu sendiri, kini gue akan mengulik variabel eksternal. Saat Liverpool telah menemukan masa jayanya, justru tim-tim Inggris lain sedang berada di masa transisi. Pada musim kompetisi 19-20 dimulai, gue memprediksi hanya Manchester City yang akan menjadi pesaing Liverpool. Karena kedua tim itu sama-sama dalam kondisi matang, atau dengan kata lain, tidak sedang dalam masa transisi.

Sementara Arsenal, Chelsea, Manchester United, sedang berada di masa transisi. Sepeninggal Arsene Wenger, Arsenal terus membongkar pasang skuadnya. Chelsea malah baru memulainya sejak ditinggal Conte. 

Begitu juga MU, yang tak kunjung membaik pasca Alex Ferguson pamit dari kursi pelatihan. Dan itu adalah salah satu faktor 'keberuntungan' Liverpool dari aspek eksternal. Gue membayangkan, Liverpool belum tentu merengkuh gelar juara jika; tim-tim besar Inggris berada pada masa jayanya.

Justru yang tidak diperhitungkan adalah Leicester. Perginya Ranieri, Mahrez, Drinkwater, dan Kante, dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, memangkas habis sebagian kekuatan inti tim tersebut. Tapi diam-diam ia berhasil menyelinap di antara barisan Liverpool dan Manchester City. Siapa arsiteknya? Brendan Rodgers.

Kesimpulannya, Liverpool akan merasakan kembali semilir era keemasan, karena ia berhasil melewati sekelumit masa transisi. Sebagai catatan, gue hanya menganalisa sejak musim 10-11, sepuluh tahun adalah waktu yang cukup panjang dalam mengarungi masa transisi. Bahkan kalau ingin dirunut, sudah tiga puluh tahun Liverpool harus berada di zona transisi, karena tak kunjung merengkuh gelar Liga Inggris.

Setelah berhasil melewati masa transisi menuju masa keemasan, tugas Klopp adalah melanggengkan masa jaya itu selama mungkin. Seperti Alex Ferguson bersama Manchester United, seperti Guardiola bersama Barcelona, atau seperti Ancelotti bersama AC Milan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun