Mohon tunggu...
Aziz Baskoro Abas
Aziz Baskoro Abas Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang Nulis

Doyan Nulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Benyamin Biang Kerok, Bentuk "Unrespect" terhadap Penonton

3 Maret 2018   19:13 Diperbarui: 4 Maret 2018   07:52 4009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompilasi pencarian dari Liputan6, Okezone.com, 21cineplex.com

Ekspektasi gue dengan film ini begitu tinggi, bahkan dibanding film Dilan, gue lebih prefer ke film ini. Karena film Dilan menurut gue film yang sangat mainstream, mengisahkan sepasang anak muda yang dimabuk cinta, dengan konflik dan intrik dalam proses percintaanya. Akan menjadi berbeda dengan film Benyamin Biang Kerok. Sosok Benyamin merupakan legenda dalam dunia seni, punya karakter yang kuat dan melekat dengan nuansa Betawi. 

Benyamin ya Betawi, Betawi ya Benyamin. Citra Benyamin yang melegenda dengan karakter dan identitas yang kuat dengan gaya khas betawi, bakal menjadi daya tarik film Benyamin Biang Kerok. Sampai akhirnya gue membuat analisis kecil kecilan bahwa "cuma ada dua alasan buat orang yang menonton film Benyamin nanti, 1.)Nostalgia 2.) Penasaran Reza sebagai Benyamin.

Akhirnya gue nonton dan BOOM !!!

Gue bikin point per point

1. Perlu gue apresiasi di film ini, semua aktor bermain dengan sangat apik, termasuk Reza. Semua elemen cerita hidup karena apiknya sang aktor mengeksekusi peranya.

2. Drama musikal yang nyentrik membuat penonton bernostalgia akan lagu-lagu bang Ben dengan aransemen yang modern. Kombinasi yang jenius. Bahkan gue sampe sempet ikutan joget pas nonton.

3. Alur cerita yang random membuat mutu dan esensi dari film ini 0 (nol). Pengki (Reza) yang memulai dengan peran bak 007, tiba tiba punya jiwa sosial dengan membela penduduk kampung aslinya supaya tidak digusur, tiba tiba mengejar cintanya Aida. Jadi, ketidak jelasan alur yang dibangun membuktikan randomnya sebuah cerita. Dalam film ini, tidak jelas mau dibawa kemana sisi emosional penonton. 

Mau dibawa ke genre action kah dengan Pengki (Reza) menjadi detektif? atau mau dibawa ke genre kritik sosial dengan Pengki (Reza) jadi pembela rakyat kecil? atau mau dibawa ke romantisme dengan Pengki (Reza) jadi pengejar cinta Aida? Boleh boleh saja mencampuradukan genre, namun harus tetap ada yang menjadi fokus sehingga genre yang lain hanya menjadi instrumen.

4. Esensi dialog Betawi yang sangat minim. Balik lagi ke citra Benyamin, Benyamin ya Betawi, Betawi ya Benyamin. Dari overall cerita, hanya Somad (Ajis Doa Ibu), Rano Karno, dan Mpok Omas yang membuat esensi dari dialog Betawi serasa kental.

5. Kesongongan ending cerita yang menggantung pada film Benyamin Biang Kerok ketika klimaks, itu benar benar merupakan sebuah cambuk sebagai bentuk unrespect terhadap penonton.

Pada titik tertentu, kerap kali ada campaign "ayo nonton film Indonesia", "jangan nonton yang bajakan", atau retorika sejenis yang mempunyai tujuan yang sama. Seolah olah campaign itu mengajak orang untuk mengahargai sebuah karya film dengan menonton di bioskop. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun