Pada kesempatan ini saya tidak mau membahas soal sepakbola semata tapi pada sesuatu yang lain. Ya semacam semangat atau apalah. Saya suka bertanya kenapa Jepang bisa jauh meninggalkan kita. Padahal sepakbola kita diawal-awal lebih maju di banding mereka. Bahkan seorang Ronny Pattinasarany pendiri Asiop berani sesumbar kalo lawan Jepang ngga perlu latihan juga menang.
Indonesia sangat jumawa waktu tahun 80 dan 90-an. Dan di tahun itu Jepang tidak banyak bicara di Asia. Ikut turnamen sering kalah. Pernah di tahun 1988 ikut Piala Asia kalah tiga kali dan seri sekali dan gagal. Di tahun yang sama Indonesia di latih oleh Antoni Polosin dari Rusia. Dari sini star antara Indonesia dan Jepang hampir sama.
Ternyata tahun 88 itu adalah titik balik buat kedua belah pihak. Empat tahun kemudian Jepang juara Asia dan tiga tahun kemudian Indonesia juara Sea Games. Setelah itu Jepang terus menanjak sementara Indonesia jalan di tempat atau mungkin menurun. Jepang 10 tahun kemudian jadi tuan rumah Piala Dunia, Indonesia sampai sekarang belum pernah ikut Piala Dunia.Â
Jadi bisa di simpulkan sejak tahun 1991 sampai tahun 2016 PSSI dan prestasi sepakbola Indonesia terpuruk. Kenapa sampai tahun 2016. Kenapa tidak sampai sekarang. Tahun 2016 itu adalah titik balik sepakbola Indonesia. Di bawah komando Edy Rahmayadi sebagai ketua PSSI kompetisi kelompok umur di mulai. Meskipun belom sempurna tapi sudah terbukti banyak menjaring bakat-bakat sepakbola Indonesia yang mentas sekarang ini. RR dan Marcelino dll adalah produk dari kompetisi yunior.
Sementara di Jepang tahun 1992 ketika mereka juara Asia kompetisi profesionalnya belum ada. Baru tahun 1994 klub profesional berkompetisi. Tapi awalnya tidak banyak. Karena syaratnya berat. Yang terberat harus punya stadion sendiri. Tapi meski begitu sepakbola Jepang sudah berkompetisi di sekolah dan kampus-kampus. Para pemain sepakbola Jepang umumnya berasal dari kompetisi tersebut.
Indonesia juga punya kompetisi sepakbola remaja seperti Piala Suratin dan Piala Pelajar tapi tidak di kelola dengan baik dan gaungnya kurang. Tidak ngelink ke klub profesional. Baru ketika ada kompetisi Epa jebolan kompetisi remaja ( _seperti Piala Suratin dan Piala Pelajar tadi_) bisa di tampung oleh klub Epa. Itulah sebetulnya titik tolak sepakbola Indonesia.Â
Ketika Erick Tohir naik jadi ketua PSSI kebijakan sepakbola Indonesia berubah lagi. Menteri BUMN itu ingin hasil yang instan. Ingin cepat ikut Piala Dunia. Maka dicari pemain diaspora yang merumput di Eropa. Untungnya kompetisi sepakbola remaja dan junior kita sudah berjalan. Mungkin di tim senior akan di dominasi oleh pemain diaspora tapi untuk remaja dan yunior tetap mengandalkan produk dalam negeri yang terus berkompetisi.Â
Di titik ini sepakbola Indonesia sebenarnya sudah menuju jalan yang benar. Dengan catatan kompetisi Epa harus terus di perbaiki kwalitasnya. Jangan lagi seperti turnamen tapi benar-benar dengan sistem kompetidi, home and away. Kwalitas pelatih ( _dari D sampai B_) harus di perbanyak, dipermudah dan di subsidi. Karena itu juga bagian dari perbaikan sepakbola Indonesia. Kalau pelatih grass rootnya kurang, kwalitasnya tidak ada bagaimana mau menghasilkan pemain yang berkwalitas.Â
Jadi besok malam ketika timnas Indonesia melawan Jepang sudah ada gambaran bagaimana kedua tim itu bermain. Yang satu tim yang sudah di bangun sejak puluhan tahun. Sementara Indonesia adalah tim yang di bangun sejak eranya Erick Tohir atau mungkin sejak eranya Edy Rahmayadi. Tapi bola itu bundar. Segala sesuatu yang di luar dugaan bisa saja terjadi di lapangan. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H