sekelasku, Aisyah." Zahra mengulurkan tanggannya ramah, mengajak bersalaman.
"Aku Satria Kinasih, biasa dipanggil Tria. Nama kita sama maskulin ya. Tenang, aku cewek tulen ko." Tria tersenyum manis.
"Ya, salam kenal. Aku Faza, dari kelas X IPA 3, senang berkenalan dengan kalian. Semoga kita bisa menjadi teman yang baik selama seminggu kedepan."
"Aamiiin. Oke, waktu berkenalannya sudah selesai. sekarang, kita harus merapikan barang-barang terus segera berkumpul di masjid. Ada kegiatan pembukaan sanlat. Pak Encang sudah siap dengan Kyai. Ayo berangkat!" Aisyah bersuara. Ajakannya ini langsung disambut kami semua dengan sigap.
Kami bergegas berjalan menuju masjid yang berada di lantai satu, dekat gerbang pintu masuk utama. Disana, semua anak sudah berkumpul dan duduk dengan tertib. Anak laki-laki ditempatkan di lantai satu, sementara anak perempuan di lantai dua.
Pembukaan berjalan khidmat. Pak Encang, kepala sekolah kami menyerahkan secara simbolis perwakilan siswa untuk dididik sebagai santri kepada Kyai, yang
disambut dengan hangat oleh Kyai. Selesai serah terima, Kyai kemudian menyampaikan kuliah umum. inti kuliah yang disampaikannya tentang kecintaan pada ilmu dan kewajiban semua orang berakal untuk mempelajari ilmu-ilmu Allah.
Dua jam kami mendengarkan kuliah umum dari kyai sepuh. Berikutnya, ada seorang panitia yang menjelaskan rundown kegiatan sanlat. Waaah, padat sekali kegiatannya. Kami harus bangun pukul 02.00 dan baru bisa tidur pukul 21.00. Targetnya, selesai pesantren kami harus bisa membaca al quran dengan tartil, dan menghafal juz 30. Jika berhasil, ada hadiah yang disediakan kyai untuk kami. Hmmm, menarik nih. Â Semoga saja, saat di test nanti aku masih hafal surat- surat pendek yang ada dalam juz 30.
Hari-hari berjalan lambat. Aku bersemangat kembali menambah hafalanku.  Alhamdulillah,  setelah  serangkaian test, aku berada di kelompok paling atas. Kelompokku ini memiliki kemampuan hafalan yang melebihi ketentuan panitia. Jadi, kami akan mendapat tugas tambahan khusus dan mendapat pelajaran yang terpisah dari teman-teman lainnya. Tria, kebalikan dari
aku.  Dia  belum  lancar  membaca  al  quran,  jadi  target utama dia bukan hafalan juz 30, tetapi mampu membaca al  quran  dengan  tartil.  Tria  mendapat  kelas  tersendiri sehingga belajarnya lebih intensif. Kondisi yang berbeda jauh ini menjadi guyonan teman sekamar.
"Allah maha adil ya. Kita satu kamar dengan anak- anak ajaib. Tria level paling bawah dan Faza di level langit," Kata Zahra menggoda Tria.
"Tenang, aku satu tempat tidur sama anak langitan. Artinya, dengan mudah ilmu dia ku serap. Ya kan, Za?" Tria menjawab dengan percaya diri. Aku tertawa dan mengangguk.
"Terang aja dia pasti mau bantu, soalnya pasti takut di kasih jurus karate kamu, sih!" kali ini Aisyah menimpali. Tria cemberut, merasa tersudut oleh dua orang teman. Aku baru tau, mereka bertiga ternyata teman satu SMP, makanya sudah sangat kompak.
"Kalm Tria,  pokoknya  aku  akan  bantu  sebisa mungkin. Kamu pulang dengan semangat baru, siap menjadi muslimah yang baik." Kataku mendukungnya. Tria tersenyum cerah, merasa mendapat  dukungan kawan baru.
Tujuh hari berikutnya, kami lewati dengan penuh sukacita. Lelah yang mendera di saat melaksanakan serangkaian kegiatan yang padat, tidak jadi halangan bagi kami untuk terus bersemangat mempelajari al quran,  shalat  berjamaah  lima  waktu,  belajar  aqidah, ahlak dan sirah nabawiah menjadi santapan utama yang kami geluti selama tujuh hari. Ada saja kejahilan teman- teman pada saat melihat teman yang tertidur disaat belajar. Semua jadi obat kantuk kami.
Pada acara penutupan, namaku disebut sebagai  peserta terbaik untuk kelompok putri. Aku mendapat hadiah  berupa  buku-buku,  kitab  dan  al  quran.  Saat namaku dipanggil panitia, Tria heboh bertepuk tangan. Untunglah, Sarah dan Aisyah segera menarik tangannya. "Ini bukan bioskop, Tria! Tenanglah." Kata Zahra sambil menarik tangan Tria. Dia nyengir dan tertunduk malu.
*****
Semester dua  sudah  dimulai.  Aku  sudah  bisa beradaptasi dengan baik dan belajar lebih bersemangat. Ada perubahan tugas mengajar guru matematika. Aku harus beradaptasi dengan beliau. Gaya mengajarnya
sangat berbeda. Suaranya pelan, kadang saat beliau menjelaskan, anteng sendiri dengan papan tulis. Kami tentu saja menjadi bingung. Belajar sendiri menjadi solusi. Beberapa anak yang berduit, memilih mencari guru privat sementara sementara bagi aku, harus puas latihan soal mandiri atau belajar mandiri dari modul- modul yang kucari di Mr Goegle.
Hari ini, kami melakukan kegiatan ulangan matematika yang pertama pada semester kedua ini, jadi kami semua sibuk menyiapkan diri. Ketika Bapak Faisal datang, suasana langsung tampak tegang.
"Setiap anak saya beri soal yang berbeda. Perhatikan kode soal yang saya tulis di sudut kanan atas. Waktu yang diberikan seratus menit," katanya sambil membagikan soal secara berkeliling.
"Bagi anak yang sudah mendapat soal, dipersilahkan untuk mulai mengerjakan."
Tanpa menunggu perintah yang kedua, aku langsung mengerjakan soal. Kernyitku terangkat, bingung harus bagaimana mengerjakannya. Kulirik Dinda, lebih parah. Wajahnya seperti mau menangis. Tanpa bicara, kutepuk tangannya perlahan. Soal itu kukerjakan sebisanya.
Ternyata, improvisasi belajar lewat tutorial pada Mbah Goegle lumayan membantu. Aku mengerjakan soal  sebisanya saja. Waktu yang diberikan ahirnya habis juga. Dengan berat hati, semua anak menyerahkan lembar jawabannya masing-masing.
Entah angin apa yang membawa pak guru untuk langsung memeriksa jawaban kami semua. Suasana semakin tegang. Sambil menunduk, Dinda menangis.
Pak Faisal berdiri di depan kelas. Matanya menyapu semua siswa di kelas ini. "Bapak sangat kecewa. Dari 38 siswa, hanya seorang yang mendapat nilai mendekati KKM, yaitu Faza, dengan nilai 72. Nilai rata-rata kelas ini 31. Dengan sangat terpaksa, ulangan saya batalkan. Silahkan pelajari secara mandiri. Minggu depan, kita bertemu lagi untuk ulangan."
Setelah Pak Faisal menyimpan kertas yang sudah dikoreksinya diatas meja guru, beliau segera meninggalkan ruang kelas. Helmi, ketua kelas membagikan hasil ulangan. Kami terdiam. Tidak ada sedikitpun coretan  pada kertas ulangan  ini, semua bersih. Hanya  angka  dengan  tinta  merah  yang menunjukkan jika kertas ini sudah diperiksa.
*****
Seminggu ini, kami sekelas fokus mempelajari bahan ulangan harian pelajaran matematika. Kami  terus berdiskusi memecahkan soal-soal yang disajikan Pak Faisal.  Sulitnya  soal-soal  ini  membuat  kami bekerjasama untuk terus mencari informasi sebanyak- banyaknya. Lelah rasanya memaksa mata untuk terus bisa terbangun dan mau mengamati angka-angka ini.
Jadwal ulangan yang dijanjikan ahirnya datang jua. Kami mengerjakan soal ulangan dengan lebih teliti. Sekarang, sepertinya  tingkat  kesulitan  soal  yang diberikan Pak Faisal sedikit berkurang. Dinda yang minggu kemarin menangis dan mendapat nilai 35, sekarang bisa menarik nafas lega.
Seratus menit yang diberikan untuk mengerjakan soal berlalu dengan cepat. Walaupun setengah hati, kertas yang kukerjakan ahirnya diberikan juga pada Daniel yang bertugas mengambil lembar jawaban. Pak Faisal tersenyum padaku... lalu bertanya, Â "Puaskah dengan jawaban yang kau berikan?". Aku menjawab dengan gelengan kepala.Pak Faisal tersenyum.
"Anak-anak, coba simak baik-baik pembicaraan ini. ketika mendapat nilai buruk minggu lalu, apa yang
kalian rasakan? Sedih, marah, kecewa jadi satu bukan?" tanyanya. Kami semua mengangguk.
"Soal matematika itu membuat kalian frustasi. Tapi Bapak tau, kalian berusaha terus mempelajari soal- soal sulit itu dengan berbagai cara. Hasilnya? Hari ini bapak melihat, semua bisa menarik nafas lega dan mampu mengerjakan soal. Bayangkan... ini baru bagian kecil dari ujian hidup. Di depan sana, ada setumpuk masalah yang harus kalian selesaikan. Bapak ingin, kalian bisa mengambil hikmah setiap kejadian yang kalian lalui."
Kami semua terdiam,ucapan Pak Faisal begitu mengena dihatiku. Ya, ketika kami ujian, sebenarnya kami sedang berlatih kesabaran menghadapi masalah, tekun menyelesaikan  langkah demi langkah, berintegritas dan  bertanggungjawab  menyelesaikan semua persoalan. Hanya anak-anak yang kuatlah yang dapat menyelesaikan ujiannya dengan baik.
*****
Semakin lama  berada  di  semester  kedua, pelajaran yang diikuti semakin sulit. Kami semua larut mengerjakan tugas-tugas yang lebih berat. Ritme belajar
semakin padat. Beratnya beban belajar  di sekolah, diimbangi dengan kegiatan ko kurikuler yang mengasah empati kami pada sesama manusia.
Pada ahir semester, kami mengunjungi sebuah desa di Pangalengan. Semua anak  yang mengikuti kegiatan ini dibagi kedalam kelompok kecil antara tiga atau empat orang, dan menetap di rumah penduduk selama tiga hari. Setiap anak harus mengikuti kegiatan harian orangtua asuh yang ditempati.
Aku ditempatkan di rumah Ibu Icih, seorang ibu yang baru pulang dari Malaysia, karena bekerja sebagai TKW.. Bu Icih dan suami awalnya petani penggarap. Hidup yang sulit memaksanya menjadi TKW dengan harapan bisa membeli tanah sendiri. Setelah pulang TKW, Ibu bisa membeli  sawah  dan ladang, yang kemudian digunakan suaminya untuk menanam padi dan sayuran.
Setiap pagi aku ikut suami istri itu ke ladang, menggarap kebun dan pulang pukul 13.00. Aku, Dinda dan Indri harus membiasakan diri membantu  Ibu angkatku untuk memasak dengan menggunakan kayu bakar. Hari pertama, mataku berair dan dadaku sesak
karena salah meniup songsong11. Bukan api yang kutiup, tapi abu sisa pembakaran kayu bakar. Terang saja, abu mengepul membuat muka kami berempat cemong- cemong. Bu Icih kontan saja tertawa menyaksikan wajah kami yang belepotan jelaga. Duuh, wajah Dinda yang rajin facial berubah drastis. "Hmmm... dasar anak kota, teu nyaho gawe geuning12," umpat Bu Icih. Aku yang mengerti sedikit bahasa sunda hanya nyengir. Dinda lalu bertanya,
"Za, Ibu ngomong apaan sih?".
Aku kemudian menjawab asal saja, "Hmmm.. dasar anak  kota,  bisanya  kerja  mengurus  wajah cantiknya saja!". Dinda nyengir, merasa tersindir.
"Kenapa Bu Icih tau ya, kalo aku suka nyalon?" "Karena kamu geulis atuuuh" jawab Indri sambil
tersenyum.
"Aaah sudahlah, daripada kalian ribut teu jelas, sudah... sana mandi. Tuh, ngagerek timba13 heula nya!" Bu Icih kembali bicara pake bahasa sunda.
11 Biasanya terbuat dari bambo kecil yang digunakan untuk meniup bara api, sehingga kayu terbakar
12 Dasar anak kota, tidak mengerti cara bekerja
13 Menimba air di sumur