Mohon tunggu...
Abdulazisalka
Abdulazisalka Mohon Tunggu... Tutor - Tinggal di The Land of The Six Volcanoes . Katakan tidak pada Real Madrid.

Membacalah, Bertindaklah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Self-Diagnose, Fenomena Paling "Toxic" dan Berbahaya

15 Desember 2020   05:15 Diperbarui: 16 Desember 2020   08:42 5688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Olah Pribadi. Kita perlu berkonsultasi kepada orang yang ahli untuk mendiagnosa gangguan kesehatan.

"Setelah baca di Internet, kayanya aku ngalamin depresi deh. Abisnya, gejalanya sama banget. Fix banget nih!!"

Tak jarang kita menjumpai orang-orang "mengklaim" bahwa ia menderita penyakit mental. Depresi, Bipolar, OCD (Obsessive Compulsive Disorder), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan berbagai macam lainnya.

Seiring perkembangan teknologi, semua hal dapat dengan mudah di akses melalui internet. Tak terkecuali dengan informasi kesehatan mental. Banyak jurnal, pendapat, gambar, dan gejala-gejala tentang gangguan kesehatan mental berlimpah tersebar di dunia maya.

Semua informasi dapat ditemui hanya dengan mengetik beberapa kata di Google, raksasa mesin pencari itu. Seringkali pencarian ini dilakukan untuk mengetahui informasi penyakit. Tak memungkiri gejala dari mental illness atau gangguan kesehatan mental juga dicari untuk kemudian melakukan self diagnose terhadap kondisinya .

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dalam beberapa tahun terakhir, hampir 1 miliar manusia hidup dengan gangguan mental, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri. 

Penyebab gangguan mental memang cukup banyak. Bisa karena faktor genetik, ekonomi, lingkungan, cuaca dan penanganan yang tidak tepat. Dampak terbesar tak tertanganinya kesehatan mental dengan baik pada era teknologi sekarang adalah self diagnose.

Dokumen Olah Pribadi. Contoh respon orang-orang setelah melakukan self diagnose tanpa berkonsultasi ke ahli.
Dokumen Olah Pribadi. Contoh respon orang-orang setelah melakukan self diagnose tanpa berkonsultasi ke ahli.

Self Diagnose merupakan tindakan mendiagnosa penyakit atau kondisi diri sendiri dengan mencari informasi secara mandiri melalui media tertentu.

Kegiatan self diagnose ini sebenarnya tidak sepenuhnya salah, jika setelah itu melakukan konsultasi ke orang yang memang profesional. Sebagai manusia, tentu sudah menjadi sebuah keharusan untuk mengenali diri sendiri. Mengenali berbagai macam hal, termasuk kelemahan dan penyakitnya.

Sebenarnya saya juga heran dengan orang-orang yang melakukan self diagnose saja tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Hanya berbekal informasi dari internet atau sumber lainnya, ia mampu mendiagnosa dirinya sendiri. Itu tidak wajar bagi saya.

Tindakan tersebut akan menjadi toxic ketika tidak ada penanganan yang pasti, lalu menyebarkan informasi bahwa dirinya menderita penyakit kesehatan mental, kepada keluarga, teman, dan orang terdekat tanpa berkonsultasi ke dokter atau psikolog adalah tindakan yang kurang tepat.

Mengapa self diagnose itu toxic?

Kakak sepupu saya pernah mendiagnosa dirinya menderita bipolar. Ayah, ibu dan keluarga lainnya kalang kabut. Karena ia merasa tak perlu ke psikolog, maka orang sekelilingnya memperlakukan dirinya dengan berbekal informasi dari internet tentang penanganan terhadap orang bipolar.

Benar saja, semakin hari tak ada perubahan. Justru ayah dan ibunya kelimpungan memikirkan anaknnya. Akhirnya dengan penuh kesabaran saya merayu ia untuk berkonsultasi ke psikolog. Ia berkenan.

Setelah rayuan maut saya lancarkan, kami bergegas ke tempat praktek psikolog. Sesudah konsultasi dan interaksi selesai, akhirnya diagnosa resminya keluar. Ia tidak menderita bipolar. Hanya sekedar cemas terhadap pekerjaannya.

Lalu kami diberi langkah-langkah untuk menangani kecemasan tersebut. Benar saja tak sampai satu minggu kondisi lekas membaik. Keluarganya lega dan tak pusing lagi memikirkannya.

Sangat merugikan sekali self diagnose. Karena salah diagnosa terhadap diri sendiri. Orang lain ikut dirugikan. Pusing memikirkan nasib orang yang mengklaim menderita penyakit tersebut.

Itulah mengapa, self diagnose bisa menjadi toxic bagi lingkungan sekitar. Ketika Anda mengklaim menderita mental illnes dan menyebarkan informasi tersebut, tentu orang terdekat Anda akan khawatir dan ingin memberikan perlakuan yang tepat.

Dokumen Olah Pribadi. Kita perlu berkonsultasi kepada orang yang ahli untuk mendiagnosa gangguan kesehatan.
Dokumen Olah Pribadi. Kita perlu berkonsultasi kepada orang yang ahli untuk mendiagnosa gangguan kesehatan.

Apa dampak negatif self diagnose?

Pertama, kesimpulan diagnosis yang salah, maka perlakuan juga salah
Membaca sebuah gejala dari penyakit tertentu. Lalu kita simpulkan bahwa kita menderita penyakit tersebut, jika  tidak tepat maka perlakuan yang diperlukan untuk penanganan akan keliru. Tidak memperbaiki keadaan, malah memperburuk kondisi.

Misalnya, Anda mengalami suasana hati yang tidak enak. Berubah-ubah, lalu mood Anda kacau sekali. Kadang baik, kadang tidak enak. Lalu Anda melakukan diagnosa terhadap hal yang anda alami. Setelah berselancar di dunia maya, Anda menyimpulkan sedang mengalami manic-depressive.

Padahal, perubahan suasana hati dan perasaan juga bisa karena mood swings. Akhirnya penanganan yang Anda lakukan keliru. Justru bisa menambah penyakit baru lainnya karena penanganan yang tidak tepat.

Kedua,  merugikan diri sendiri dan orang lain
Anda yang melakukan self diagnose cenderung akan berakhir pada sebuah kesimpulan yang salah. Dengan kesimpulan yang salah, maka secara tidak langsung juga telah gagal dalam menentukan perlakuan dan penanganan terhadap masalah tersebut.

Orang lain yang dekat dengan kita juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kesulitan mengerti apa sebenarnya penyakit tersebut dan perlakuan yang baik untuk mengobatinya. 

Bisa jadi juga, orang yang melakukan self diagnose menggunakan diagnosa abal-abalnya untuk membenarkan tindakan atau perilaku buruk yang ia lakukan. Orang lain dipaksa untuk menerima kondisinya atas hasil diagnosa yang belum tentu tepat.

Ketiga, menimbulkan kecemasan yang berlebihan
Ketika melakukan self diagnose dan mengambil kesimpulan sendiri secara sepihak, kecemasan akan hadir seiring diagnosis yang Anda tetapkan. Alih-alih mendapatkan perlakuan yang tepat, justru rasa cemas berlebihan akan menjadi sahabat dekat Anda.

Perasaan cemas ini juga menghadirkan rasa takut, sedih, dan paling besar dampaknya adalah menurunkan kepercayaan diri Anda. Akibat kecemasan yang berlebihan, nantinya Anda akan lebih tertutup dan tidak berkata sesuai fakta sebenarnya.

Dalam tingkatan atau level tertentu, rasa cemas ini juga bisa menyebabkan Anda terdorong untuk membeli obat atau melakukan cara-cara yang diyakini dapat mengobati gangguan kesehatan yang justru dapat membahayakan Anda dan orang lain.

Bagaimana supaya kita bisa terhindar dari self diagnose?

Adil dalam berpikir dan bertindak adalah kunci terhindar dari self diagnose. Sesederhana kita memahami bahwa untuk memperbaiki motor yang rusak butuh keahlian tertentu. Kalau kita tidak ahli, kita pergi ke bengkel untuk mencari mekanik yang bisa memperbaiki.

Evaluasi dan mencermati semua informasi yang Anda terima di Internet juga penting. Jangan sampai tanpa memperdalam informasi, Anda telah membenarkannya. Ingat, tak semua yang ada di Internet itu benar.

Anda juga harus berkomunikasi dengan orang yang paham. Berkonsultasi ke dokter, psikolog atau psikiater. Jangan lupa selalu melakukan manajemen yang baik terhadap diri Anda.

***

Perlu dipahami bahwa mental illness bukan sebuah trend yang bisa kita diagnosis sesuka hati dengan menyelami internet. Pada masalah kesehatan fisik atau mental, tentu kita harus mengobati dan berkonsultasi kepada ahlinya.

Dokter, psikolog atau psikiater adalah tempat yang tepat untuk itu semua. Mereka dapat mendiagnosa dengan objektif dan paham obat atau perlakuan yang tepat.

Jangan sampai tedensi self diagnose membuat hilangnya kepercayaan terhadap orang-orang yang justru benar mengalami gangguan mental. Ketika itu semua terjadi,  mereka yang benar memiliki gangguan mental akan di labeli "pura-pura" atau sekedar "caper".

Melakukan diagnosa tentu dibutuhkan skill khusus. Psikiater atau psikolog adalah orang yang memiliki kualifikasi untuk mendiagnosa kesehatan mental seseorang. Mereka telah melalui pelatihan, pendidikan, dan pengalaman yang teruji.

Jangan pernah berpikir dengan stigma bahwa orang yang pergi ke psikolog atau psikiater itu adalah orang gila. Stigma tersebut sangat salah dan tidak tepat. Justru berkonsultasi dengan orang yang profesional akan membantu kita untuk tidak melakukan self diagnose.

Hayo, adakah dari Anda yang melakukan self diagnose terhadap diri Anda dan orang lain? Jika iya, mari segera bertaubat dan berkunjung ke medikus yang tepat.

Mari semuanya, jika Anda mengalami atau melihat orang lain merasa kesehatan mentalnya terganggu, jangan segan untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan diagnosa dan penanganan yang tepat :)

Sumber 1,2,3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun