Saya akan mengenang Aditya (nama sebenarnya) tanpa rasa sedih. Sebab ia meninggalkan hal-hal luar biasa. Oleh karena itu saya tak akan membuang waktu dengan kisah-kisah melankolis. Tak perlu juga parade kesedihan.
Tertawa lepas penuh kebahagiaan. Teriakan lucu penuh canda. Etos kerja tiada peluh. Goyangan komando saat dengar dangdut. Displin anti terlambat. Mungkin itu yang tak bisa saya lupakan. Ada satu lagi, ia menderita tapi tak pernah mengeluh.
Ia memiliki penyakit bawaan Congenital Talipes Equniovarus. Penyakit apa itu? Sebenarnya sederhana, mungkin Anda pernah melihat juga. Kaki pengkor adalah penyakit itu. Cacat bawaan dari lahir, yang sebenarnya ia juga tak tahu penyebabnya.Â
Kaki boleh tak sempurna. Jalan boleh goyang-goyang. Tak bisa lari bukan persoalan. Tapi semangat dan otaknya sungguh brilian. Bayangkan saja, dengan kekurangan itu ia bisa naik motor RX King dengan kencang. Saya saja saat di bonceng takut luar biasa.
Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono, Ngeluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake (Harga diri seseorang dari lidahnya (ucapannya), harga diri badan dari pakaian, Berjuang tanpa perlu membawa bantuan, menang tanpa merendahkan atau mempermalukan)Â Filosofi petuah Jawa yang sering Aditya ucapkan.
Dulu kami pernah berkerja satu tim. Ia adalah seorang broker proyek swasta. Saya selaku pendamping untuk urusan negosiasi. Adit memang tak pandai bicara, tapi ia pandai memenangkan hati banyak orang. Bahkan ada satu teman yang heran luar biasa dan berkata "Kok bisa ya adit dapat wanita cantik seperti itu?" Ya, rupanya canda dan senyum gigi ompongnya telah memikat banyak wanita.
Pernah suatu ketika, kami mendapat jatah pengadaan komputer. Lokasi perusahaannya di Pasuruan, Jawa Timur. Negoisasi telah selesai, saya langsung pesan barang di Kramat Jati, Jakarta Timur. Beberapa waktu berlalu, barang tiba tepat waktu. Tapi Adit kena 'semprot' oleh salah satu petinggi perusahaan itu.Â
Ternyata ada masalah. Sepele sebenarnya, ini soal salah paham. Jadi, ketika barang tiba ternyata komputer itu kosong. Wajar saja, pun saat negosiasi ia tak meminta untuk di isi perangkat lunak tertentu. Adit dengan santai menghadapi semprotan itu dengan senyuman andalannya. Saya yakin, siapapun yang melihat senyum itu akan tertawa. Sekalipun selera humornya rendah, paling tidak ia akan tersenyum.Â
Masalah selesai begitu saja. Ada satu hal yang saya kagum. Petinggi perusahaan itu meminta Adit datang saat siang hari. Ia langsung berangkat naik bus. Ternyata pada saat perjalanan tak kebagian tempat duduk. Ia berdiri sampai tujuan. Setelah sampai masih harus jalan kaki sekitar tiga kilometer menuju lokasi kantor perusahaan tersebut.
Cerita itu tak saya dapat dari Adit secara langsung. Sepupunya yang menceritakannya. Waktu itu, saya termenung. Kaki, yang menjadi keterbatasan rupanya mampu ia lawan. Demi menjaga kepercayaan, relasi dan tanggung jawab perkerjaan.
Apa pelajaran berharga yang saya dapatkan dari sosok Aditya?
Pertama, keterbatasan fisik bukan menjadi kelemahan abadiÂ
Dalam keterbatasan, ia telah menang. Banyak orang dengan fisik normal justru selalu menyerah dengan keadaan. Adit tidak seperti itu. Kaki yang tak normal ternyata tidak mampu membuatnya berdiam diri. Semangat kerja dan menjalani tugas dengan baik selalu ia pegang sampai akhir.
Kedua, senyuman adalah hal paling indah untuk menjawab celaan
Selama saya kenal dirinya, tak jarang ia mendapat kata-kata yang kurang menyenangkan. Beberapa teman bercanda keterlaluan. Tapi ia tetap tersenyum. Tak pernah sekalipun ia membalikan ucapan konyol itu. Rupanya, senyumannya telah membuat orang-orang normal itu segan untuk menghina.
Ketiga, mandiri tanpa pernah mengeluhÂ
Waktu tak pernah dusta. Mulai dari pertama bertemu dengannya, sampai saat saya menulis ini. Belum pernah sekalipun mendengar keluh kesahnya. Segala persoalan ia atasi sendiri. Makan tak makan asal happy. Ia tak pernah sekalipun lalai dari pekerjaannya, segala sesuatu tuntas jika berada pada genggamannya.
Lama sekali saya tak jumpa dengannya. Rasanya enam tahun lebih. Kami hanya berkomunikasi seperlunya. Kabar terakhir ia aktif di partai perindo cabang kampungnya, Trenggalek, Jawa Timur. Beberapa kali kami bertukar kabar, bercanda via media sosial.Â
Pada subuh tahun lalu, tepatnya satu hari pasca perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia. Ibunya mengirim saya pesan, bahwa Adit telah dipanggil Tuhan. Sempat terdiam, ternyata air mata tak terbendung. Kaget, marah, kesal, sedih campur aduk. Baru semalam berkabar kalau ia ingin terus berkarir di partai sampai tingkat nasional. Mungkin takdir mengantarkan ia pada kebahagiaan sejati.
Demikianlah kenangan saya akan Aditya. Walau berbeda pandangan politik dengannya tak jadi soal. Bertahun-tahun setelah ini saya yakin akan lahir sosok-sosok seperti Adit. Penuh semangat. Murah senyum. Pantang menyerah. Kebaikannya tak pernah mati.
Semoga kau tenang di surga kawan!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI