Aku terduduk di depan swalayan, di tepi jalan yang terdiri dari kesibukan. Malam larut dengan sendirinya, Seekor Lonte nampak di seberang jalan. Otak mini, rok mini, baju Mini, rambut berponi: perpaduan yang sungguh nyentrik. Menyebrang ia masuk swalayan, membeli sesuatu—yang entah apa itu aku tak tau dan tak berkeinginan untuk tau, lantas menanti jalang menjemput. Lonte menanti dengan pasti. 30 menit hangus dari peredaran, ia mulai bosan memandang muka gawai. Matanya berusaha mencari-cari alasan agar tetap hidup. Masih berdiri ia dengan kaki-kaki mungilnya, tak jauh dari tempatku memandang bulan yang tersenyum kecut ke arahku. Simpatik aku. Ku hampiri Lonte itu, kutawari ia bangku, diterimanya dengan sopan. Kutawari ia minumanku, ditolaknya dengan sopan; kutawari ia pikiran; kutawari ia caci; kutawari ia puji; kutawari ia dengki; kutawari ia hati, seluruhnya ditolak dengan sopan. Bahkan, cara ia menolak lebih sopan dari cara berpakaiannya. Upaya terakhir: kutawari ia barang satu dua batang rokok, diterimanya dengan Sopan. Ia tak meminta korek, sebab miliknya lebih bagus dari milikku. 15 menit hangus dari peredaran. Sepuntung rokok kulihat sedang asik berenang-renang di kubangan, di tepi jalan. Lonte itu mulai bercerita tanpa diminta; menjawab tanpa ditanya, sedang aku mendengar sambil berkaca—pada diri yang durjana.
Satu jam hangus sudah tak bersisa, sejak lonte itu muncul di penglihatan. Tak kulihat satu jalang pun menjemputnya.
“Brengsek!” Pekiknya pada gawai di muka.
“Mang, tutup jam berapa?” tanyanya padaku pura-pura lugu. Ini bentar lagi tutup Mbak, tapi santai aja, kursinya mah di situin aja gapapa.
Udah mang beres-beresnya? Udah Mbak. Ati-ati mang pulangnya. Iya Mbak, Mbaknya juga ati-ati, mau berangkat kerja toh Mbak? Iya Mang. Mang, makasih ya Mang rokoknya. Sama-sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H