Mohon tunggu...
Abdulah Mazid
Abdulah Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Masyarakat

Hai! Saya Abdul; orang biasa yang terkadang suka membaca, menulis, memancing dan tidur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Ulat Kesepian dan Belalang Periang

20 Juni 2022   20:28 Diperbarui: 22 Juni 2022   22:00 1184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sungguh? Terima kasih banyak Belalang, kau memang yang terbaik" ujar sang Ulat dengan penuh kebahagiaan. 

"Simpan terima kasihmu sampai senja tiba, aku akan membawakanmu semangkuk kebahagiaan yang kau impikan setiap malam itu" ujar belalang sambil berlalu terbang. 

Hari itu untuk pertama kalinya, ulat tidak pergi ke pucuk perdu untuk menikmati daun-daun muda yang biasa ia lahap untuk mengisi perutnya. Bayangan tentang semangkuk sawi terus menghinggapi kepalanya. 

Tibalah saatnya senja menyingsing di ufuk barat, daun-daun perdu tua berkerlapan diterpa cahaya jingga dari senja. Sore pun tiba, tibalah saatnya mimpi sang Ulat menjadi kenyataan. Akhirnya ia bisa menikmati manis dan lembutnya sawi yang ia mimpikan setiap malam sepekan ini. 

Namun sampai sore berganti malam, Belalang tak kunjung datang. Ulat mulai kelelahan menunggu, sampai-sampai ia tertidur di depan pintu rumahnya. Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya, Belalang tak pernah datang lagi menemui Ulat. 

Ulat pun mulai berusaha menerima kenyataan bahwa memang ia tidak ditakdirkan untuk menikmati kebahagiaan yang dijanjikan Belalang padanya. Di sela-sela kesedihannya, Ulat mulai merajut kepongpong untuk membalut seluruh tubuhnya, ia satukan helai demi helai benang menjadi sebuah tempat persemayaman yang nyaman, Ulat pun memulai tidur panjangnya. 

Di pagi yang cerah itu, sang Ulat keluar dari persemayaman dengan kedua sayap indahnya. Sayapnya berbinar-binar diterpa sinar perak sang mentari. Akhirnya tiba, hari yang selalu dinantikan Ulat sepanjang hidupnya, menjadi Kupu-kupu. 

Kepak sayap pertamanya ia dedikasikan untuk sang Belalang. Sang Ulat yang kini sudah menjadi Kupu-kupu terbang untuk pertama kalinya keluar dari perdu, ia terbang melintasi sungai kecil di sebelah selatan perdu. 

Satu tempat yang sangat ingin ia datangi adalah kebun sayuran. Ia terbang landai melintasi bebatuan sungai, menyusuri jalan setapak yang menuju sebuah bangunana yang terbuat dari tanah liat yang disusun sedemikian rupa dan besar. Ia takjup menyaksikan bangunan besar itu. Apakah ini yang disebut sebagai rumah manusia? 

Belalang pernah menceritakan tentang bangunan ini, ternyata lebih besar dari yang ia bayangkan. Setelah melewati bangunan yang disebut sebagai rumah manusia itu, sampailah ia pada tujuan utamanya, kebun sayuran. 

Matanya menyapu ke segala arah kebun sayuran itu. Ia merasa sedih, ia tak menemukan belalang di sana. Dari jauh, terdengar sayup-sayup suara memanggilnya. Ia mencari sumber suara itu. Kemudian seekor burung kolibri menghampirinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun