Mohon tunggu...
Abdul Afwu
Abdul Afwu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemikir Lepas

Ini adalah sampah pikiran, saya membuang semuanya di sini. Umpanya itu bermanfaat bagi anda, ambil. Apabila mengganggu saya minta maaf, harap maklum ini sampah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jakarta, Manusia, dan Polusi Udara

12 September 2023   14:02 Diperbarui: 15 September 2023   18:12 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Keluar rumah ISPA, tak keluar rumah STRESS" begitulah kira-kira gambaran kondisi masyarakat Jakarta dikepung oleh polusi udara yang sangat buruk. Polusi udara di Jakarta bukan lagi tak layak hirup, tapi sudah memasuki tahap tak layak huni. Kontaminasi nya bukan lagi ke paru-paru, bisa jadi ke makanan, air, atau bahkan kulit secara langsung. Jakarta tak layak huni bukan lagi karena harga tanah dan rumahnya yang sangat ugal-ugalan, namun Jakarta sudah tak mampu lagi menyediakan udara yang menjadi komoditas primer bagi manusia. Lambat laun bisa jadi tak hanya udaranya saja yang tak layak hirup, kedepan bisa jadi airnya menjadi tak layak guna dan tak layak minum. Kalau sudah begini Jakarta akan menjadi museum, kota sepi yang pernah jaya pada masanya.guna dan tak layak minum.

Ada kisah menarik dari Jakarta, Manusia, dan Polusi Udara nya. Saya akhir-akhir ini kerap melihat di media sosial ramai diperbincangkan tentang polusi udara di Jakarta. Yang membicarakannya pun mulai dari orang Jakartanya langsung, hingga orang-orang non Jakarta, tak terkecuali dari manca negara. Tapi percayalah, saya itu sangat igit-igit dengan orang Jakarta yang membicarakan tentang polusi udara. Jujur saja saya mengamati cuit-cuit dari beberapa teman di Jakarta yang isinya kurang lebih sama semua, "sambat dan kritik". Tak ada jalan pikir yang benar-benar berbicara bagaimana mereka memulai kontribusinya untuk tempat tinggal nya sendiri menjadi bebas polusi udara.

Contohnya saja, seorang teman saya memulai cuitan di Twitternya dengan narasi sambatan. Dia merasa gatal di tenggorokannya dan mengaitkan dengan pemberitaan tentang polusi udara di Jakarta. Lagi-lagi dia menuntut haknya untuk mendapatkan udara yang bersih guna menunjang kesehatannya agar dapat beraktivitas secara leluasa di luar ruangan. Cuitannya sangat panjang sekali, sesekali ia berdebat di kolom komentar dan berterimakasih saat teman lainnya menvalidasi cuitannya.

Kejadian di atas sungguh lucu sekali, tak hanya lucu tapi konyol. Mari kita sejenak berpikir, teman saya sambatan melalui media sosialnya, yang tak lain tak bukan melalui HP pribadinya. Yang HP pribadinya itu hanya dapat dihidupkan melalui baterai yang menghisap listrik, yang listrik itu dihasilkan dari energi-energi tak terbaharukan yakni batu bara. Semakin dia intens sambat di sosial medianya, semakin tinggi pula tingkat konsumsinya terhadap listrik dari batu bara. Semakin produktif pula para PLTU Batu Bara menghasilkan polusi di Jakarta. Sungguh konyol.

Sesungguhnya saat kita sedang menggunakan HP atau alat elektronik lainnya, secara bersamaan kita sedang berkontribusi dalam mencipt

Jika manusia Jakarta ingin polusi udaranya berkurang, maka kurangilah menggunakan ponsel yang memakan daya listrik dari PLTU Batu Bara. Gunakanlah ponsel atau alat-alat elektronik anda secukupnya, sebab kita harus sedikit sadar bahwa banyak hal-hal tidak penting yang kita lakukan dalam menggunakan alat-alat elektronik yang secara tidak langsung berkontribusi terhadapt polusi udara. Jika ini dilakukan secara masif maka akan sedikit terlihat hasilnya. Ya, akan sedikit hasilnya karena masih banyak hal yang harus warga Jakarta lakukan untuk mengurangi polusi udara di tempat tinggalnya.

Hal-hal tak rasional lainnya juga diperlihatkan oleh manusia Jakarta lainnya. Tak sedikit dari mereka yang berlomba-lomba mengunggah video story berdurasi pendek memperlihatkan view Jakarta dari dalam pesawat ketika terbang. Mereka memperlihatkan betapa tebal gulungan hitam yang melingkupi area Jakarta dan sekitarnya. 

Sesekali ada yang menyomotnya sambal menyindir "beginilah Jakarta, sesak akan polusi, mobilitas tinggi, kendaraan serba pribadi". Memang sudah terkenal bahwa Jakarta sangat terkenal dengan kemacetannya. Sehingga tak jarang beberapa warganya mengambil alternatif jalur udara. Mereka pikir jalur udara adalah upaya terbaik dalam efisiensi dan efektifitas mobilitas di tengah kemacetan Jakarta.

Tapi tahukah anda, bahwa ternyata Pesawat adalah kendaraan yang menjadi top scorer dalam menghasilkan jejak karbon yang juga berpotensi meningkatnya polusi udara dan pemanasan global. Orang-orang yang naik pesawat sembari memvideokan gulungan hitam polusi udara itu kalau tinggal di Swedia pasti sudah dipermalukan habis-habisan. Melalui gerakan flight shame, orang-orang eropa kini mulai menghindari pesawat sebagai transportasi. Mereka lebih suka menggunakan kendaraan umum jalur darat. Tidak terbang bukan berarti tidak berpergian, mereka begitu sadar betapa pesawat bisa sama buruknya dengan memiliki kendaraan pribadi, atau bahkan bisa lebih parah.

Masyakarat Jakarta harus mulai menghentikan perdebatan tentang transportasi pribadi, sebab jawabannya sudah sangat jelas. Kini perdebatan itu sudah harus beranjak menuju tranportasi umum manakah yang paling baik untuk digunakan. Avtur sebagai bahan bakar pesawat udara mengemisikan CO2, CH4. NOx, SO2, dan CO. Saat anda menggunakan pesawat sebagai kendaraan, anda telah menggunakan 1/5 dari "jatah karbon" sepanjang tahun. Dan Jakarta adalah pemilik bandara tersibuk di Indonesia melansir dari Databoks (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/24/ini-deretan-bandara-tersibuk-di-asia-tenggara-pada-maret-2023-indonesia-di-posisi-puncak). Sungguh Jakarta akan benar-benar tenggelam dalam kabut gelap yang kotor.

Sudahlah, daripada meributkan manusia-manusia Jakarta yang tak kunjung berkontribusi mengurangi polusi. Ada hal yang lebih saya takutkan, yakni manusia Jakarta itu pergi dan menetap tersebar setelah Jakarta punah. Saya takut mereka menyebar dan menetap di tempat lain dengan gaya hidup yang sama dan cara berpikir yang tak berubah. Satu persatu dari Indonesia akan menjadi Jakarta, menjadi gelap, menjadi sesak, menjadi asing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun