Secara turun temurun, Pendidikan dan Sekolah adalah dua term yang selalu melekat. Jika Pendidikan disebut, maka sekolah yang muncul, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain Pendidikan tanpa Sekolah adalah ilusi.
Sekolah seolah-olah menjadi bayangan ruh pendidikan yang mengikuti arah jalan majikannya. Padahal eksistensi sekolah dalam pendidikan justru memunculkan stereotip baru pada masyarakat.
Seseorang dikatakan berpendidikan apabila ia menempuh jalur lembaga sekolah/bergelar. Konsepsi semacam ini jelas menyesatkan, orang-orang tidak dapat lagi membedakan antara simbol dan substansi.
Sekolah, ijazah, dan nilai adalah simbol, sedangkan substansi pendidikan terletak pada proses humanisasi. Atau Paulo Freire menyebutnya sebagai perjuangan atas ketertindasan; kemiskinan, ketidakadilan, pembodohan.
Kesesatan stereotip masyarakat pada simbol-simbol pendidikan nampaknya telah mengakar. Pada tahun 2014 saat seorang Menteri Kelautan dan Perikanan diangkat dengan riwayat pendidikan Paket C, banyak orang yang meragukannya.
Tentu saja sebab masyarakat berpandangan ijazah adalah standart kualifikasi dalam kepemimpinan. Sayangnya keraguan dan paradigma tersebut patah, bahkan riset Polcomm (Political Communication) tahun 2015 menyatakan bahwa Menteri Kelautan telah memperoleh suara survei sebagai menteri paling populer.
Adalah beliau Ibu Susi Pudjiastuti, berkat prestasi dan keberaniannya dalam mengambil kebijakan-kebijakan kontroversial; penenggelaman kapal asing yang tertangkap. Beliau telah mendekontruksi paradigma atas praktek kepercayaan yang mengultuskan lembaga sekolah/ijazah menjadi determinan kredibilitas individu. Satu kata untuk mereka yang masih memandang orang sebelah mata dengan ijazahnya, “Tenggelamkan!”.
Semua kritik ini berawal dari pergeseran makna sekolah yang sebenarnya. Dalam tradisi asalnya, masyarakat Yunani Kuno sering menggunakan waktu senggangnya untuk datang dan berkumpul membahas sesuatu atau sekedar mendengarkan ceramah.
Tradisi tersebut seringkali disebut dengan istilah skhole, scola, schola, atau scolae. Sehingga apabila ditelisik lebih jauh lagi, akar kata “Sekolah” atau “School” berasal dari bahasa Yunani yaitu skhole yang berarti waktu luang.
Secara umum istilah tersebut bermakna leisure devote to learning (waktu luang yang khusus dipergunakan untuk belajar). Seiring waktu, kegiatan tersebut mengalami perluasan. Pengikutnya bukan hanya bapak-bapak tetapi anak laki-lakinya pun turut diikutsertakan, lalu keduanya dipisahkan menjadi golongan-golongan tersendiri.
Seiring berputarnya roda dinamika zaman, orang tua mulai terbiasa dalam menitipkan pola asuh anak mereka kepada seseorang/lembaga. Sayangnya pada saat itu belum menjadi sebuah lembaga yang terstruktur, sistematis, dan metodis.
Barulah pada abad ke-18, Johan Heinrich Pestalozzi menampilkan sebuah ide dalam rangka melanjutkan pemikiran Johannes Amos Comenius berupa sistem sekolah dan pelembagaan secara terstruktur.
Jika sebelumnya Comenius hanya mencetuskan ide teori pengajaran, justru Pestalozzi lebih kepada sistem dan strukturnya seperti pengelompokkan umur, urutan mata pelajaran, jenjang tahap pembelajaran, dll.
Setelah itu terjadi perubahan secara simultan dari berbagai aspek, seperti fasilitas, kurikulum, metode, dll. Dari munculnya lembaga sekolah, timbullah fenomena yang mengindikasikan bahwa telah terjadi peralihan fungsi dari scola matterna (pengasuhan keluarga/ibu) menjadi scola in loco (lembaga pengasuhan luar rumah)
Peralihan fungsi pengasuhan dalam hal mendidik menuai banyak kritikan dari kalangan intelektual. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah peralihan tersebut dapat dikembalikan seperti asalnya atau malah semakin tidak karuan? Yang menjadi pokok permasalahan adalah keterlenaan orang tua dalam mengemban tugas pendidikan. Sekolah yang asalnya sebagai pengisi waktu luang, sekarang malah menjadi kebutuhan bahkan gaya hidup.
Pada tahun 2017 KEMENDIKBUD sempat mendapat protes dengan adanya kebijakan “FULL DAY SCHOOL” (Peraturan Menteri No 23 Tahun 2017). Arogansi sekolah dalam mengambil peran sebagai pendidik begitu kentara. Jika dibaca dalam sudut pandang saya, peraturan tersebut berbunyi:
“Orang tua hendaknya fokus mencari uang, biar urusan pendidikan menjadi masalah Sekolah”. Pertanyaan terbesarnya adalah “Sudahkah sekolah berkaca bahwa ia telah menjadi gedung nan tinggi yang memisahkan anak dengan lingkungannya?”.
Datangnya pandemic menunjukkan bahwa sekolah kian tak berguna. Dalam pandangan Illich, sekolah sebagai
“proses yang dikhususkan untuk umur tertentu dan yang berkaitan dengan guru, kehadiran purna waktu, dan sebuah kurikulum”
telah mengerdilkan nilai-nilai pendidikan. Patutnya para ahli pendidikan perlu merekonstruksi ulang sistem pendidikan. Namun sebagai catatan, kita telah dikembalikan pada masa pengasuhan keluarga.
Ketidakberdayaan lembaga dalam mengontrol pendidikan saat ini mengharuskan orang tua untuk ikut berperan dan berkontribusi dalam menyelenggarakan pengajaran.
Begitulah seharusnya pendidikan, keterlibatan antar semua elemen sangatlah diperlukan. Orang tua tidak serta-merta menyerahkan secara penuh pada lembaga, namun harus berkolaborasi dengan lembaga. Justru ini yang kita harapkan dalam pendidikan, menghilangkan keterasingan (alienasi).
Di sekolah belajarnya apa di rumah yang dikerjakan apa, harus ada koherensi dalam sebuah pembelajaran. Pendidikan tidak terletak pada gedung-gedung, semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H