Mohon tunggu...
Abdul Afwu
Abdul Afwu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pemikir Lepas

Ini adalah sampah pikiran, saya membuang semuanya di sini. Umpanya itu bermanfaat bagi anda, ambil. Apabila mengganggu saya minta maaf, harap maklum ini sampah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Tanpa Bangunan: Kembalinya Fungsi Pendidikan dari Sekolah ke Keluarga

4 September 2023   16:30 Diperbarui: 4 September 2023   16:37 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Desain Penulis

Seiring berputarnya roda dinamika zaman, orang tua mulai terbiasa dalam menitipkan pola asuh anak mereka kepada seseorang/lembaga. Sayangnya pada saat itu belum menjadi sebuah lembaga yang terstruktur, sistematis, dan metodis.

 Barulah pada abad ke-18, Johan Heinrich Pestalozzi menampilkan sebuah ide dalam rangka melanjutkan pemikiran Johannes Amos Comenius berupa sistem sekolah dan pelembagaan secara terstruktur. 

Jika sebelumnya Comenius hanya mencetuskan ide teori pengajaran, justru Pestalozzi lebih kepada sistem dan strukturnya seperti pengelompokkan umur, urutan mata pelajaran, jenjang tahap pembelajaran, dll. 

Setelah itu terjadi perubahan secara simultan dari berbagai aspek, seperti fasilitas, kurikulum, metode, dll. Dari munculnya lembaga sekolah, timbullah fenomena yang mengindikasikan bahwa telah terjadi peralihan fungsi dari scola matterna (pengasuhan keluarga/ibu) menjadi scola in loco (lembaga pengasuhan luar rumah)

Peralihan fungsi pengasuhan dalam hal mendidik menuai banyak kritikan dari kalangan intelektual. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah peralihan tersebut dapat dikembalikan seperti asalnya atau malah semakin tidak karuan? Yang menjadi pokok permasalahan adalah keterlenaan orang tua dalam mengemban tugas pendidikan. Sekolah yang asalnya sebagai pengisi waktu luang, sekarang malah menjadi kebutuhan bahkan gaya hidup. 

Pada tahun 2017 KEMENDIKBUD sempat mendapat protes dengan adanya kebijakan “FULL DAY SCHOOL” (Peraturan Menteri No 23 Tahun 2017). Arogansi sekolah dalam mengambil peran sebagai pendidik begitu kentara. Jika  dibaca dalam sudut pandang saya, peraturan tersebut berbunyi:

Orang tua hendaknya fokus mencari uang, biar urusan pendidikan menjadi masalah Sekolah”. Pertanyaan terbesarnya adalah “Sudahkah sekolah berkaca bahwa ia telah menjadi gedung nan tinggi yang memisahkan anak dengan lingkungannya?”.

            Datangnya pandemic menunjukkan bahwa sekolah kian tak berguna. Dalam pandangan Illich, sekolah sebagai 

“proses yang dikhususkan untuk umur tertentu dan yang berkaitan dengan guru, kehadiran purna waktu, dan sebuah kurikulum”

telah mengerdilkan nilai-nilai pendidikan. Patutnya para ahli pendidikan perlu merekonstruksi ulang sistem pendidikan. Namun sebagai catatan, kita telah dikembalikan pada masa pengasuhan keluarga. 

Ketidakberdayaan lembaga dalam mengontrol pendidikan saat ini mengharuskan orang tua untuk ikut berperan dan berkontribusi dalam menyelenggarakan pengajaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun