Saya selalu percaya hal-hal besar bermula dari hal kecil. Hari itu, Minggu, 24 Oktober 2021 akan ada langkah kecil untuk hal besar (semoga) menuju Kota Pancasila (Ende, NTT). Tidak ada yang mengira kesempatan dan keberuntungan ini tiba pada saya. Untuk pertama kalinya pula saya merasakan menaiki pesawat. Perjalanan 1000 km pertama saya hanya ditempuh dalam waktu beberapa jam. Sesaat sebelum pesawat terbang, saya mengingat semua memori indah. Saya punya kebiasaan untuk menenangkan diri saya dengan memutar beberapa memori hidup yang menyenangkan. Detik-detik pesawat lepas landas saya melihat matahari tersenyum sembari merasakan sedikit goncangan pesawat.
Pesawat selalu memiliki struktur yang aneh, saat saya kecil saya selalu berlari melihat ke atas meminta uang kepada pesawat dan bertanya, "mengapa ada benda aneh sebesar itu bisa terbang?" Ribuan kaki di atas permukaan air laut saya termenung, banyak sekali pertanyaan yang melintas di kepala. Sesekali ku lontarkan saja pada teman sebangku ku, "Coba tebak sedang apa Pilot pesawat sekarang? Kalau ia sakit perut dan lama di kamar mandi bagaimana? Kalau hujan deras apakah kaca depan pesawat ada pembersihnya (wiper)?" dia hanya tertawa mendapati celoteh anehku. Kalau seperti ini, rasa-rasanya ingin sekali duduk ngopi dengan Pak B.J Habibi sembari bertanya struktur pesawat dan filosofi nya. Tapi saya akhirnya menemukan satu hal saat berada di ketinggian,
"Semakin tinggi maka semakin luas pandangan kita. Menjadi tinggi adalah menjadi luas pandangannya, menjadi luas pandangan menjadikannya bijak pula dalam bersikap".
Sebelum tiba di Ende, pesawat transit cukup lama di Bali. Untuk melanjutkan ke Ende, kami mesti berpindah pesawat dari yang semula pesawat besar menuju pesawat yg lebih kecil. "Tapi sekecil-kecilnya pesawat tetap saja dia besar" batinku sendiri. Pesawat mungil sempat landas di Labuan Bajo, singgah sejenak menurunkan penumpang yang ingin berlibur atau kembali ke kampungnya. Labuan Bajo, pulau yang mungkin terkenal bagi kalangan Borjuis untuk berfoto ria dan beristirahat sejenak dari keruwetan pekerjaannya. Lautnya terlihat membentangkan diri, sangat indah, seperti tersenyum cantik malu-malu pada manusia asing seperti kami. Perjalanan pun dilanjutkan, keberangkatan menuju bandara Ende dilakukan kembali. Dari Labuan Bajo pesawat mungil melompat menuju kota tujuan kami. Perjalanan pesawat adalah pengalaman yang paling membosankan di antara transportasi lainnya. Selain terlalu cepat dan mahal, suasana pesawat sangatlah hening, tidak ada penjual kaki lima yang berteriak "Cangcimen, cangcimen", tidak ada pula klakson yang berbunyi keras seperti di kereta, dan tidak ada acara lempar koin seperti di kapal. Satu-satunya alternatif mengisi kebosanan di pesawat adalah tidur.
Setibanya di kota Ende, kami melanjutkan langkah menggunakan Mobil Elf (Oto). Setidaknya masih membutuhkan 3 jam lagi untuk tiba di Kampung Woloboa tempat persinggahan kami. Kesan pertama saya tiba di Ende adalah INDIA. Saya seperti di India, tidak paham apa yang dibicarakan mereka, setiap menit klakson jalan berbunyi kencang, para sopir bemo menyalakan suara musik membuat kerikil di jalan bergetar. Setelah semakin dekat dengan tujuan, jalanan curam dan bebatuan menghiasi perjalanan kami. Kali ini saya sedikit agak tegang, sebab tidak ada satupun lampu jalanan yang menerangi. Dalam oto pun gelap kami menerangi sendiri dengan menyalakan flash kamera. Kiri kanan jurang, sekali melakukan kesalahan, bisa fatal akibatnya. Untungnya sopir sudah handal melakukan offroad di antara bebukitan. Kami pun tiba d Kampung Woloboa selepas Maghrib. Kisah heroik akan segera dimulai, pikirku dalam kepala sembari menggeser-geser layar HP tak bersinyal.
Malam terasa sejuk, di sebuah kampung perbukitan kami diturunkan dari oto. Gelap dan hembusan angin adalah teman yang pas bagi mereka yang mencari kesunyian, meneduhkan hatinya, serta mendinginkan kepalanya. Semua mata penduduk menuju pada kami, sesekali terdengar nyaring suara dengan bahasa mereka. Manusia selalu seperti itu, mereka selalu penasaran dengan hal-hal baru. Begitu pula denganku, setiap jarak pandang yang bisa kuraih akan kuamati seksama. Terlihat ada surau kecil yang cukup sederhana, kokoh, dan ramai oleh anak-anak. "Sepertinya hanya itu surau di kampung ini", gumamku pelan. Kami disambut hangat oleh penduduk di sana. Semilir angin malam kini tak terasa lagi, gurat senyum penduduk cukup mampu menghilangkan kepenatan dan kebekuan suasana. Beberapa snack roti disuguhkan kepada kami, serta kopi dan teh sebagai pelepas dahaga. Sejujurnya saya cukup penasaran dengan tiga hal sesampainya di kampung tersebut. Pertama, saya penasaran bahasa yang sedang mereka pergunakan dan artinya. Kedua, saya penasaran dengan rasa kopi yang sedang dihidangkan. Ketiga, saya penasaran dengan rokok hitam bertuliskan "Arrow" di saku bapak tua yang asyik bicara. Bahasa adalah cara manusia mengakrabkan dirinya dengan sesama. Entah sejak kapan bahasa muncul pertama kali, dan tiba-tiba sekarang berkembang menjadi ribuan ragamnya. Sedangkan rokok dan kopi selalu menjadi teman sempurna dalam perbincangan hangat mengakrabkan diri. Bahasa, kopi, dan rokok adalah perpaduan sempurna seseorang dalam bersosial. Sepuluh hari kedepan saya ingin belajar banyak dari mereka, semoga semuanya baik-baik saja.
[Keluarga Kami]
Embun mulai membasahi dedaunan di sepanjang jalanan, kicau burung mulai terdengar nyaring. Monyet-monyet mulai bangun dan mencari makan berkerumunan di antara bukit yang kaya sumber daya alamnya. Air sejuk perbukitan segera membasahi wajah ini. Terlihat aktivitas rumah sudah berjalan sejak pukul lima pagi. Saya tinggal dengan keluarga besar di sana, Mama Nur (Mama Asuh), Baba Sultan (Baba Asuh) Mama Tua (Mertua Mama Nur/Ibu Baba Sultan), Kak Wanti (Adik Baba Sultan), dan Kak Aidil (Adik Baba Sultan). Baba Sultan dan Mama Nur dikaruniai tiga anak yakni Gaflan (Laki-laki), Tasya (Perempuan), dan Jihan (Perempuan). Keluarga besar tersebut tinggal di dua rumah berjajar yang kemudian saya, Febri, Chika, Indah, dan Salsa tempati untuk dua minggu kedepan.
Pagi sekali Mama Nur, Kak Wanti, dan Mama Tua bangun pagi memasak dan bersih-bersih rumah. Di hari-hari tertentu mama Tua pergi ke Ende dan menginap di sana untuk menjual kain tenun, sedangkan Kak Wanti sibuk mengajar di SMP Wolowaru, Mama Nur rajin menenun, dan Kak Idil pergi ke rumah Kepala Desa sebagai Sekertaris Desa. Sebagai pendatang kami tidak merasa asing, kedekatan kami terjalin dengan baik. Setiap hari kami makan bersama, duduk melingkar bergantian mengambil makanan dimulai dari para laki-laki lalu perempuan terakhir. Adat di sana masih kental, seluruh kegiatan rumah dan dapur hanya boleh dilakukan oleh perempuan. Laki-laki tidak diperkenankan melakukan akivitas rumah seperti menyapu atau melakukan aktivitas dapur seperti memasak, mereka menyebutnya pamali.
Jika diingat-ingat kembali, pernah di hari pertama saat bangun pagi dan belum mengetahui dan memahami banyak hal di sana, saya pergi menuju dapur dan ingin membantu untuk mencuci piring, lalu Mama Nur menyuruh untuk duduk di ruang tamu saja. Saat makan pagi mereka memberitahu bahwa perempuanlah yang harusnya membantu bukan laki-laki. "Laki-laki memasak hanya satu tahun sekali saat adat Kapena. Adat Kapena dilakukan pada bulan sepuluh memperingati musim panen, semua laki-laki di kampung pergi ke tengah hutan untuk memasak bersama. Perempuan tidak diperkenankan untuk ikut, mereka hanya boleh menunggu di rumah" kata Mama Nur menjelaskan adat di sana sembari menyuapi Tasya makan. Mendengar penjelasan tersebut kami kemudian tertarik menanyakan tentang bahasa dan adat-adat di sana. Kami pun larut tenggelan dalam obrolan dengan keluarga besar baru kami.
Pagi datang, malam pulang. Tak pernah satu waktupun kami tidak mengobrol, terkhusus saya dan Baba Asuh. Entah mengapa saya merasa sangat dekat sekali, hari ini saya kemudian mengingat kembali dan memutar memori saat bersama Baba Asuh. Pernah saya diajak pergi ke pasar bersama Baba. Jarak pasar sangat jauh, sepanjang perjalanan saya mengobrol banyak dengan baba. Mengobrol dengan Baba tidaklah susah, Baba suka bercanda, sangat sabar, dan suka bercerita. Tidak hanya itu hampir setiap waktu senggang saya mengobrol dengan baba di ruang tamu, baba memang suka sekali bercerita. Baba punya perawakan yang tinggi dengan rambut ikal pendeknya. Jika dibandingkan denganku, Baba lebih atletis badannya. Sesekali ia bermain sepak bola di sore hari. Pernah suatu hari, saat semua teman-teman relawan sudah pergi setelah adat Kapena di tengah hutan, saya bersama Baba mandi di sungai hanya menggunakan celana dalam. Baba tertawa melihat saya bermain air seperti anak kecil. Air memang selalu berhasil membuatku bahagia, bahkan sesekali saya masih sering bermain hujan meskipun sendiri.
[SDN Inpress Watubewa]
Tempat sekolah dengan jutaan semangat dari siswa-siswinya. Hari-hari saya sebagian besar dihabiskan untuk mengajar di sana. Menjadi bagian dari mereka adalah sebuah kehormatan tersendiri bagi pribadi saya. Jika kalian bertanya, "Seperti apa anak di sana?" Jawabannya "Anak-anak di sana selalu mampu menularkan senyum hangatnya, memberikan semangat belajarnya, dan menuangkan harapan besarnya pada siapapun yang datang di kelasnya untuk belajar bersama". Esok hari saya berharap akan ada satu dari mereka mendapatkan kesempatan berkeliling Indonesia bahkan dunia untuk mengenal jutaan budaya Indonesia yang bermacam-macam. Kemudian mereka kembali lagi menuju sekolahnya dan bercerita pada adik-adiknya. Tentunya menjadi sebuah motivasi bagi siswa-siswi di sana ketika mendengar keseruan cerita mengenal berbagai budaya dan adat istiadat di Indonesia.
Jauh sebelum harapan itu terwujud setidaknya saya ingin memperlihatkan betapa indahnya perbedaan budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Menjadi sebuah tujuan besar saya memotivasi kita semua (saya dan mereka) dengan membuka wawasan mengenai bangsa dan nusantaranya. Kami pasangkan banner dengan ukuran 2x3 berisikan rumah-rumah adat dan pakaian adat. Lalu mereka gantungkan harapan mereka untuk dapat mengunjungi satu persatu rumah tersebut dengan menggunakan pakaian adatnya. Saya banyak belajar arti semangat dan tekad dari mereka. Sejauh apapun jarak dan medan yang harus dilalui untuk menuju sekolah, mereka akan tetap berangkat. Bahkan lebih pagi dari saya dan teman-teman. Mereka tiba lebih pagi saling bergotong-royong membersihkan sekolah yang berada di atas bukit dikelilingi oleh pohon-pohon besar.
Kepala sekolah sangat ramah sekali dan senang melihat kami membawa gaya baru dalam melakukan pembelajaran, disamping kami mengajar mata pelajaran SD membantu bapak-ibu guru di sana kami pun mengajarkan hal-hal baru seperti melakukan praktikum, membuat majalah dinding, memperkenalkan macam-macam profesi saat ini, dan tentu masih banyak lagi. Antusiasme siswa-siswi adalah semangat kami untuk terus mengajar di sana, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri mereka membaca buku di depan kelas berjejer saat waktu istirahat. Mengharukan sekaligus menyedihkan, saya haru ditengah segala keterbatasan yang dimiliki mereka tetap semangat membaca buku di waktu istirahat yang notabennya digunakan untuk bermain. Bersamaan dengan perasaan haru, saya sedih melihat diri saya sendiri yang terus bermalas-malasan di waktu istirahat. "Ah bagaimana ini, makin dewasa makin malas saja saya ini" kesalku dalam hati.
[Perpisahan]
Semua kisah di atas tidak mampu merangkum seluruh perasaan yang terkumpul saat mengabdi di sana. Jargon kami "Mengajar, Mengabdi, Menginspirasi" nampaknya perlu diresapi kembali. Saya berpikir bahwa saat di sana, saya akan banyak mengajar, mengabdi dan menginspirasi. Nampak itu salah besar, saya tidak banyak mengajar justru saya banyak belajar dan diajari oleh masyarakat dan anak-anak di sana. Pengabdian sebenarnya adalah keringat mereka untuk memajukan dan menjaga kampung sendiri, saya hanya menjadi bagian pengabdi yang terbatas waktu dan tenaganya saat disana. Saya lebih terinspirasi banyak hal oleh mereka, disamping saya membagikan banyak hal di luar sana. Terlalu banyak hal yang terjadi yang tidak bisa dirangkum dalam kisah ini.
Perpisahan selalu akan terjadi, sudah sewajar kedatangan selalu menandakan akan ada tiba waktu berpisah. Kami tidak berharap sedikitpun untuk cepat-cepat pulang dan berpisah dari mereka. Seandainya kami diberikan waktu lebih lama pastilah kami dengan senang hati menjalankannya. Perpisahan kami dilakukan pada hari sepuluh sejak kedatangan, telah banyak memori yang tercipta. Kami merayakannya dengan duka cita, baba asuh kami susah tidur mengingat kepergian kami esok pagi. Mama Tua sedih, Chika sempat menangis sesekali. Saya menyimpan semua ingatan itu, meski tidak semua terdokumentasikan dalam kamera namun setidaknya perasaan manusia mampu melekatkan memori hidupnya.
Terimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam terselenggaranya Tarbiyah Suka Mengajar Batch 2 di Desa Woloboa, Wolowaru, Kab. Ende, NTT. Tidak ada kata yang mampu mewakili rasa syukur kami dapat terpilih di program ini. Semoga esok dan kedepannya program ini dapat terus berjalan dan mengesankan. Manusia mengingat dengan kesan, hanya dengan kesan manusia dapat mengingatnya hingga tua. Menuliskan kesan adalah cara terbaik membagi kisah dan menularkan semangat untuk teman-teman lainnya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi saya, dan teman-teman di luar sana.
"You may never know what results come of your action, but if you do nothing there will be no result" Mahatma Gandhi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H