Mohon tunggu...
Abdul Afuw Nail Arridla
Abdul Afuw Nail Arridla Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

"Jika kau tidak ingin dimanfaatkan oleh orang lain, maka jadilah orang yang tidak berguna"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Efek Dehumanisasi Kolonialisme, Stigma terhadap Identitas Budaya Sarungan

27 Oktober 2024   02:01 Diperbarui: 27 Oktober 2024   02:29 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://www.freedomsiana.id/

Untuk menyelesaikan tugas esai yang diberikan oleh dosen Bernando J. Sujibto, saya harus berfikir keras untuk memahami teori sosiologi yang abstrak dan kaku, memikirkan contoh dan implementasinya di kehidupan nyata, kemudian menulisnya dengan tata bahasa yang benar dalam 500 kata. 

Hal ini yang mendorong saya untuk menulis esai reguler mingguan yang sangat mengkagetkan di semester 3.

Namun setelah berminggu-minggu saya menganggur dan tidak menulis, terlintas dalam pikiran saya tentang stigma masyarakat terhadap identitas budaya lokal orang-orang atau suku Madura yang "sarungan". 

Disisi lain, sarungan juga merupakan identitas  seorang santri atau pelajar yang menimba ilmu pengetahuan agama di pesantren. Akan tetapi, santri yang sarungan hanya ada saat dalam lingkup pesantren dan saat ada kegiatan keagamaan tertentu seperti tahlilan, maulidan ,dan lain-lain. 

Berbeda dengan orang Madura yang selalu sarungan di setiap saat aktivitas kehidupan yang mereka jalani seperti bertani dan kondangan, kecuali saat ada kegiatan atau pekerjaan yang mengharuskan untuk tidak memakai sarung. 

Nail Arridla (mumet)
Nail Arridla (mumet)

Di kehidupan saat ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan kota pelajar seperti jogja, orang Madura yang tinggal sana, mengurangi berpakaian sarungan yang merupakan budaya asli mereka karena kurang percaya diri ditambah persepsi orang-orang terhadap sarungan itu sendiri yang dianggap kuno atau primitif. 

Kemudian mereka  beradaptasi untuk berpenampilan sesuai dengan budaya globalisasi yang ada di tanah rantau mereka tinggali. 

Seperti tren-tren skena yang populer saat ini, khususnya dalam lingkungan anak-anak mahasiswa Jogja. Ketika saat pergi main dan nongkrong ke suatu tempat-tempat publik atau cafe-cafe 'kelas atas' (bukan 'kelas bawah' seperti basa-basi dan main-main). Fenomena ini disebut dengan inferiority complex. 

Istilah ini merujuk pada perasaan rendah diri yang mendalam dan terus-menerus, di mana seseorang merasa kurang berharga atau kurang mampu dibandingkan dengan orang lain (Alfred Alder 1956).

Globalisasi merupakan salah satu konteks dari teori pasca-kolonialisme. Teori ini dikemukakan oleh Sari Hanafi, Profesor Sosiologi kelahiran Damaskus, Direktur Pusat Studi Arab dan Timur Tengah, serta Ketua program Studi Islam di Universitas Amerika di Beirut. 

Beliau adalah Presiden Asosiasi Sosiologi Internasional (2018-2023). Teori ini berkaitan dengan teori kritis Max Horkheimer, dimana post-kolonialism society tidak sadar bahwa ekonomi, identitas, serta budaya mereka  dipengaruhi oleh kekuasaan kapitalisme negara-negara bekas penjajah (Max Horkheimer dalam buku nya Dialectics of Enlightenment). 

Dan juga, teori ini beersentuhan dengan efek dehumanisasi kolonialisme yang diutarakan oleh Franz Fanon, dimana kolonialisme tidak sekedar dominasi pada politik, tetapi juga dominasi budaya dan psikologi. 

Yang pada masa itu, Anak-anak sekolah berkulit hitam tidak pernah diajarkan sejarah kulit hitam, tetapi sejarah kulit putih Prancis. Mereka diharapkan menghargai perdaban kulit putih dan malu terhadap kulit hitam mereka (Franz Fanon 1952)

Pascakolonialisme menyoroti bagaimana warisan kolonialisme tidak hanya mempengaruhi struktur politik dan ekonomi, tetapi juga persepsi budaya dan identitas masyarakat bekas jajahan. Dalam konteks pascakolonial, inferiority complex sering muncul sebagai akibat dari internalisasi narasi kolonial yang menganggap budaya kolonial (sering kali Barat) sebagai lebih maju dan unggul dibandingkan budaya lokal (Antonio Gramsci 1971)

Nail (sarung merah) bersama Aba dan Attar (2017)
Nail (sarung merah) bersama Aba dan Attar (2017)

Sebagian masyarakat yang mengalami penjajahan selama bertahun-tahun atau bahkan berabad-abad terkadang bersikap layaknya penjajah juga.

 Dan mereka sering kali berpandangan bahwa adat dan budaya yang ada di belahan Nusantara (khususnya Madura) dipandang "terbelakang" atau "primitif." Seperti ucapan "Lu ngapain ke Ambarukmo pake sarung?" atau  "Disini bukan basa-basi yang orang-orang biasa kesana sarungan!". 

Akibatnya, masyarakat pascakolonial sering menghadapi krisis identitas di mana mereka merasa rendah diri atau malu terhadap budaya asli mereka.  Dan mereka cenderung lebih mengagumi dan meniru budaya Barat dalam bahasa, gaya hidup, bahkan dalam konsep nilai dan moral, yang dianggap lebih "modern."

Referensi :

George Ritzer, Jeffrey Stepnisky (2018). Teori Sosiologi: Edisi Kesepuluh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Adler, Alfred. (1956). The Individual Psychology of Alfred Adler: A Systematic Presentation in Selections from His Writings. Basic Book

Fanon, Franz. (1967). Black Skin, White Masks. Grove Press.

Gramsci, Antonio. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun