Kebijakan privatisasi klub-klub sepak bola profesional Indonesia adalah salah satu langkah maju yang pernah saya saksikan dalam hidup saya dalam persepakbolaan nasional. Saya pikir itu kebijakan yang sangat luar biasa.Â
Indonesia satu tahap lebih maju dibandingkan negara-negara tetangganya dalam hal pengelolaan keuangan klub. Bayangkan, Malaysia saja baru melakukan privatisasi klub-klub sepak bola profesionalnya tahun 2021.
Persepakbolaan Indonesia, dalam hal pengelolaan saat ini berada dalam kondisi yang jauh lebih baik dari sepuluh tahun (satu dekade) yang lalu. Sebelum tahun 2012, klub-klub kasta pertama Liga Super Indonesia (LSI) dan kasta kedua Divisi Utama menggantungkan sumber dana dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).Â
Fakta yang sulit diterima, mengaku sebagai klub profesional tetapi keuangan tidak mandiri dan masih menyusu APBD. Pengelolaan dana yang tidak transparan dan profesional menyebabkan klub-klub sepak bola susah untuk maju dan selalu merugi. Pada 2011 baru ada 4 klub yang mandiri secara finansial yaitu Arema, Persib, Pelita Jaya (saat ini Madura United), dan Semen Padang.
Oleh sebab itu, pemerintah menjalankan kebijakan privatisasi klub-klub profesional. Pemerintah c.q Menteri Dalam negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 22 tahun 2011 yang menegaskan bahwa mulai tahun anggaran 2012 klub sepak bola profesional tidak boleh lagi mendapatkan pendanaan dari APBD. Aturan ini berlaku efektif 1 Januari 2012.
Sejatinya pelarangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola profesional telah dimulai lima tahun sebelumnya melalu Permendagri No 13 tahun 2006. Akan tetapi dilanggar dan diacuhkan oleh klub-klub.Â
Menteri Dalam Negeri saat itu (2011), Gamawan Fauzi menjelaskan anggaran APBD untuk klub sepak bola profesional bukan suatu prioritas. Â Pelarangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola profesional bertujuan untuk meningkatkan alokasi anggaran untuk belanja modal.Â
Pemerintah menginginkan agar alokasi anggaran untuk sepak bola profesional dapat dialihkan untuk program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih penting seperti bidang pendidikan dan  kesehatan.Â
Penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola profesional rawan dipolitisasi oleh elit politik lokal. Contoh kasusnya adalah  PSIS Semarang yang menjadi bangkrut saat pimpinannya sekaligus walikota Semarang menghabiskan keuangan klub untuk kampanye pemilihan gubernur Jawa Tengah (Pilgub) 2008.
PSSI juga ikut bertindak dengan adanya pelarangan penggunaan dana APBD ini. PSSI mewajibkan seluruh klub berbentuk badan hukum seperti perseroan terbatas (PT), yayasan atau koperasi sehingga keuangan klub bisa dipertanggungjawabkan. Dengan berbadan hukum, klub akan mudah mendatangkan sponsor dan investor.Â
Kebijakan Privatisasi Memakan Korban
Kebijakan privatisasi mulai memakan korban, Persikota yang dijuluki sebagai Bayi Ajaib mengibarkan bendera putih tidak bisa melanjutkan kompetisi Divisi Utama 2008/2009 akibat kesulitan finansial.Â
Pada era profesional sepak bola indonesia, klub-klub yang mengalami kesulitan finansial akan dijual atau merger dengan klub lain. Misalnya Persiram Raja Ampat yang dijual kepada PS TNI.Â
Perseru Serui dijual kepada Badak Lampung. Bandung united hasil akuisisi Blitar United. Perseba Bangkalan dibeli  oleh PT Nahusam Pratama Indonesia dan berubah menjadi Borneo FC. Kemudian ada Persijatim yang dibeli oleh pemerintah Sumatera Selatan yang direbranding menjadi Sriwijaya Fc.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H