Di balik pesona keindahan alam dan keanekaragaman budaya Indonesia, terdapat realitas yang kurang memikat: "PAJAK". Pada umumnya, pajak bukan merupakan hal yang sexy di mata masyarakat. Sementara negeri ini terus bergerak maju dalam berbagai sektor pembangunan, literasi, dan kesadaran pajak yang rendah merupakan hambatan nyata dalam upaya membangun fondasi yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Meskipun pajak merupakan salah satu pilar utama pendapatan negara yang mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya, namun pemahaman masyarakat akan pentingnya membayar pajak dan keterampilan dalam mengelola kewajiban pajak mereka masih jauh dari harapan. Hal ini tampaknya menjadi paradoks, terutama jika kita melihat potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia. Ekonomi dapat tumbuh karena suntikan pajak, sebaliknya, pajak juga dapat ditumbuhkan melalui perekonomian yang maju. Keduanya memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi juga saling membutuhkan. Bila dikaitkan dengan rendahnya tax ratio Indonesia, kemajuan ekonomi dan tingkat literasi menjadi faktor penting yang membentuk nilai tersebut.
Di era modern ini, kesadaran akan kewajiban sebagai warga negara, termasuk membayar pajak, seharusnya sudah menjadi hal yang lumrah bagi setiap warga negara. Pajak menjadi sumber pendapatan utama negara yang digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pelayanan publik. Namun, kenyataannya masih banyak masyarakat yang terjebak dalam situasi ironis, terjebak dalam "labirin pajak", sebuah fenomena "tersesat dalam kewajiban" sebagai Wajib Pajak (WP). Hal ini marak terjadi di Indonesia, banyak orang tidak mengetahui atau bahkan tahu namun acuh atas kewajibannya sebagai Wajib Pajak, sehingga mereka tidak memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal ini berakibat pada kerugian hilangnya potensi pajak yang signifikan bagi negara.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan, jumlah masyarakat Indonesia yang memahami dan tidak memahami mengenai pajak dan manfaatnya cukup berimbang. Djayadi memaparkan, dari studi yang dilakukan LSI menemukan, secara umum sekitar 50 persen responden paham akan pajak dan manfaat uang pajak. Adapun sebanyak 49 persen lebih responden mengaku kurang atau tidak paham mengenai pajak dan manfaatnya. Angka tersebut diperoleh dari survei nasional yang dilakukan LSI pada periode 13-21 Agustus 2022 melalui wawancara tatap muka dengan 1.220 sampel responden berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah.
Bila dinilai secara normatif, angka tersebut bukanlah sebuah pencapaian sukses. Literasi pajak sebuah negara butuh dari sekedar angka yang berimbang, tetapi angka luar biasa yang dapat mendominasi. Terlebih, survei yang dilakukan memiliki hasil semu, sampel yang digunakan sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak berdasarkan buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, pada tahun 2023 mencapai 69,1 juta. Masih terdapat banyak fakta lapangan yang belum ter-capture, terutama di pelosok Indonesia yang menghadapi keterlambatan dalam  literasi perpajakan dan perkembangan ekonomi.
Penilaian ini didasari oleh pengamatan dan temuan langsung penulis yang menemukan adanya kesenjangan yang dramatis tinggi atas literasi dan kesadaran pajak bagi pribadi yang berada di antara wilayah pelosok dan pribadi yang berada di kota-kota besar Indonesia. Sebagai contoh nyata yang ditemukan langsung oleh penulis, bahwa di daerah pelosok masih banyak Wajib Pajak tidak tahu apa itu pajak dan administrasi dasarnya yang melekat. Beberapa datang ke kantor pajak karena mendapatkan arahan untuk mengurus kewajiban perpajakan seperti pendaftaran NPWP hanya demi bisa mendapatkan akses pinjaman bank ataupun syarat pendaftaran kerja. Setelah mendapatkan apa yang mereka butuhkan, mereka melupakan kewajiban melekatnya seolah hal itu tidak pernah ada. Selain itu, banyak masyarakat di pelosok yang tidak mengetahui jenis-jenis pajak yang harus dibayarkan atau yang nantinya akan terutang. Tidak hanya pada daerah pelosok, di setiap wilayah juga masih banyak wajib pajak yang tidak melapor SPT Tahunannya karena tidak mengetahui bahwa ada kewajiban tersebut dan bagaimana cara melapornya, sebagian WP juga terlanjur acuh dan mengabaikan kewajibannya. Terlebih, masih banyak ditemukan bahwa wajib pajak tertipu oleh oknum yang memanfaatkan ketidaktahuannya terhadap pajak. Hal-hal tersebut menguatkan bukti bahwa Indonesia masih memiliki literasi yang rendah atas perpajakan, terutama di daerah pelosok. Di balik berbagai kemudahan yang sudah disediakan, tetapi kesenjangan dan rendahnya literasi perpajakan masih tetap terjadi.
Atas kurangnya literasi dan tingkat kepatuhan pajak, berbagai dampak secara luas (mikro maupun makro) dapat dijumpai sebagai sebuah konsekuensi yang melekat, seperti:
- Rendahnya tingkat kepatuhan pajak
- Kesulitan dalam mengelola keuangan negara
- Ketidakadilan dalam sistem perpajakan
- Tingginya tingkat penyalahgunaan dana
- Terhambatnya pertumbuhan ekonomi
- Munculnya budaya "menghindar pajak"
- Terhambatnya reformasi perpajakan
- Meningkatnya risiko korupsi
- Ketidakpercayaan terhadap pemerintah
- Rendahnya kualitas pelayanan publik
- Terhambatnya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan
Konsekuensi tersebut perlu untuk dipertimbangkan sebagai landasan dalam meningkatkan kualitas literasi yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, masih terdapat banyak dampak yang melekat yang disebabkan oleh kurangnya literasi dan tingkat kepatuhan pajak masyarakat. Hal ini menjadi penting karena dampak dapat dirasakan baik oleh para Wajib Pajak dan juga oleh negara Indonesia itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa baik buruknya pajak memiliki dampak yang bersifat eksponensial bagi negara itu sendiri.
Dalam menelusuri permasalahan yang ada, kita bisa menguak lebih lanjut bahwa fenomena ini tidak datang dengan sendirinya, terdapat berbagai faktor "terstruktur" yang menyebabkan fenomena ini terjadi di Indonesia, seperti:
- Kurangnya minat edukasi dan pemahaman: Dorongan pribadi masyarakat untuk membaca dan mempelajari pajak masih sangat minim. Informasi dan edukasi sudah banyak tersedia, namun tidak selalu sampai dan tepat sasaran. Materi edukasi pajak juga sering kali dianggap rumit dan tidak menarik sehingga tidak mudah dipahami oleh masyarakat awam. Terlebih, masyarakat tidak memiliki "paksaan" dalam memahami, kelonggaran ini menjadi alternatif tersendiri bagi masyarakat untuk bersikap acuh dan mengabaikan.
- Ketimpangan ekonomi: Hal ini timbul atas faktor kegagalan pemerintah (kondisi infrastruktur dan perekonomian di wilayah tertentu). Masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah umumnya memiliki akses yang terbatas terhadap informasi dan edukasi tentang perpajakan. Mereka lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari daripada memikirkan kewajiban perpajakan. Hal ini membuat mereka semakin tertinggal dalam memahami kewajibannya sebagai Wajib Pajak.
- Kurikulum pendidikan: Seharusnya ilmu dasar mengenai perpajakan masuk ke dalam kurikulum pendidikan secara formal. Dengan menjadikan pajak sebagai salah satu sub bab pembelajaran wajib, diharapkan para generasi terpelajar yang akan menduduki peran di masa yang akan datang lebih aware akan perpajakan yang mungkin akan bersinggungan langsung dengannya. Minimal, mereka diharapkan pernah mendengar "apa" dan "bagaimana" pajak.
- Akses informasi yang terbatas: Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil masih sulit mendapatkan informasi tentang pajak. Gagap teknologi serta sulitnya memperoleh sinyal di daerah terpencil mendukung lambatnya informasi sampai dan diterima oleh masyarakat. Dengan begitu, maka upaya sosialisasi melalui media sosial tidak terlalu efektif untuk mereka.
- Kompleksitas sistem perpajakan: Sistem mengenai perpajakan terbilang kompleks dan rumit. Aturan demi aturan berlaku dan tersusun atas banyaknya pasal yang asing dijumpai. Tidak hanya pada masyarakat awam, kesulitan dalam memahami kompleksitas juga terjadi pada para petugas pajak. Kompleksitas ini membuat banyak orang enggan untuk mempelajari dan memahami sistem tersebut. Dari sini kita bisa melihat bahwa perlunya upaya simplifikasi aturan agar lebih praktis dan efektif.
- Ketidakpercayaan terhadap pemerintah: Stigma dan citra negatif yang terbentuk dari waktu-waktu terdahulu masih begitu melekat di pandangan masyarakat. Hal ini diperkuat dengan adanya oknum koruptor di seluruh jajaran pemerintah. Masyarakat enggan membayar pajak, karena menurutnya, uang pajak akan dikorupsi. Kepercayaan ini juga dapat mempengaruhi kerelaan Wajib Pajak dalam membayar pajak yang berdampak pada kegiatan self-assessment yang tidak optimal.
- Kepercayaan pada konsultan pajak: Sebagian orang mampu memberdayakan konsultan atau pegawai/perwakilan untuk mengurus seluruh urusan pajak (terima bersih). Hal ini dapat membuat mereka semakin tidak paham tentang kewajiban pajaknya sendiri.
- Kesalahan strategi pemerintah: Untuk meningkatkan penerimaan pajak, terkadang pendekatan yang membentuk bagaimana penerimaan bisa dioptimalkan tidak menemui titik yang pas. Seperti halnya kebijakan yang diambil dalam meningkatkan tarif, namun standar kehidupan masyarakat masih banyak yang memprihatinkan.
- Sikap mental: Sikap mental seperti tidak mau rugi, mencari celah, dan pura-pura tidak mengerti juga menjadi faktor yang mendorong orang untuk menghindari pajak.
Seperti mengatasi rasa lapar yaitu dengan makan, maka untuk mengatasi permasalahan literasi pajak solusi harus diberikan atas sumber penyebab masalah itu tersendiri. Contohnya seperti apabila ingin mengobati kualitas literasi, maka solusi harus berfokus kepada tujuan literasi, seperti agenda jemput bola sosialisasi dan pengarahan (jangka pendek) dan juga melakukan formalisasi pembelajaran dalam bentuk kurikulum (jangka panjang) dapat dijadikan solusi efektif.
Hal mendasar yang juga memberikan dampak terhadap pelaksanaan perpajakan yaitu bagaimana ekonomi dilangsungkan. Untuk mendukung kinerja perpajakan, pemerintah harus bisa memberikan kualitas ekonomi yang mumpuni guna mendukung aktivitas perpajakan. Dalam hal ini, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan pemerataan ekonomi, menyediakan infrastruktur yang efektif, serta memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Seperti yang dikatakan sebelumnya, ekonomi yang sehat mendukung pajak yang kuat, dan pajak yang kuat mendorong ekonomi untuk bisa maju.
Meningkatkan literasi pajak adalah tanggung jawab bersama. Perlu diingat bahwa kualitas literasi pajak itu penting dan merupakan investasi jangka panjang bagi pemerintah. Oleh karena itu, baik pemerintah, lembaga pendidikan, perangkat daerah dan seluruh jajaran pemerintah bersama dengan masyarakat harus bersinergi untuk membangun kesadaran pajak yang tinggi. Membangun kepercayaan publik dengan memberantas korupsi juga dapat dijadikan sebagai opsi yang krusial. Semua harus bereaksi dan mengambil aksi atas fenomena ini. Seluruh pihak dapat mendukung dengan memberikan kinerja terbaiknya serta menjalankan berbagai tindakan preventif guna mencegah fenomena ini semakin memburuk. Dengan demikian, pajak dapat menjadi instrumen yang efektif untuk membangun bangsa yang maju dan sejahtera.
Sebagai tambahan, untuk meningkatkan literasi pajak, perlu dilakukannya penelitian dan analisis yang lebih mendalam untuk memahami apa saja yang menjadi akar permasalahannya, perlu adanya strategi komunikasi yang efektif untuk menjangkau berbagai kalangan masyarakat, dan perlu adanya komitmen dan kerja sama dari semua pihak untuk mewujudkan budaya sadar pajak di Indonesia.
Mari bersama-sama kita ubah fenomena "tersesat dalam kewajiban" menjadi "maju bersama dengan pajak".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H