Pertanyaan apa ini? Sudah jelas-jelas kita adalah manusia, jadi buat apa lagi kita bertanya itu. Tapi berangkat dari tanda tanya itu, ada permasalahan besar yang harus dijawab, apakah kita telah benar-benar menjadi manusia yang manusiawi.
Ketika Tuhan secara demokratis menawarkan jabatan “khalifah” di muka bumi ini kepada tumbuhan, hewan, gunung-gunung dan langit, mereka menjawab satu persatu dengan “tidak!”. Dan tiba pada giliran manusia, kita menjawab, “ya”. Tapi tidak semua manusia mampu untuk menjawab “ya”. Bagaimana tidak, menjadi pemimpin merupakan jabatan yang sangat berat dan penuh resiko besar. Paling tidak untuk memimpin diri kita sendiri, kadang atau bahkan sering tidak becus. Orang banyak, sadar atau tidak sadar masih suka merusak tubuh dan pikirannya sendiri dengan racun-racun, seperti merokok, minum-minuman keras, obat-obatan terlarang, pola makan yang tidak seimbang, makanan berlemak tinggi, kemalasan, kemaksiatan, kejenuhan dan kebodohan. BUNUH DIRI
Ketika racun-racun tersebut telah membelenggu kita secara ektrim, tanpa kita mampu mengatasinya dengan dewasa. Jalan keluar yang sering muncul adalah kematian. Hidup tidak lagi bermakna. Orang lebih mencintai kematian (death Loving) daripada mencintai kehidupan (life loving). Apalagi ketika manusia menghadapi krisis, kegamangan dan tahapan pancaroba, baik itu yang muncul dari luar seperti gejolak politik, ekonomi, sosial, budaya dan gejala alam, maupun yang muncul dari dalam diri sendiri. Manusia memang diciptakan dengan segala keterbatasan, tapi manusia pun sering lupa bahwa dia diciptakan dengan bakat dan potensi untuk bisa bertahan hidup. Dan yang kita perlukan adalah sedikit kedewasaan sikap dan kecerdasan otak untuk bisa memupuk semua potensi itu berkembang. Beranikah kita jadi manusia?
Bunuh diri merupakan tindak pidana. Negara bahkan menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan biasa. Cuma bedanya, si pembunuh tak dapat didakwa dan dihukum lagi. Dia telah mendakwa sekaligus menghukum diri sendiri. Dia adalah sekaligus si pembunuh dan yang terbunuh. Matinya adalah kematian rangkap dua. Yang pertama, kematian sang korban yang dibunuh, yang kedua, kematian sang terdakwa yang dihukum bunuh oleh sang korban.
Pada setiap bunuh diri, terdapat dua kali perkataan “korban” dan dua kali perkataan “terdakwa”. Si korban sekaligus membalas pembunuhan atas dirinya pada saat itu juga, dimana dia jadinya bertindak sebagai pembunuh, tegasnya sebagai sang terdakwa baru. Sedang si terdakwa sekaligus mengalami pembunuhan atas dirinya sendiri pada saat itu juga, dimana dia jadinya adalah sang korban, tegasnya sebagai korban baru. DURKHEIM (1858-1917)
Ada pertanyaan sederhana yang menggelitik Durkheim untuk meneliti tentang gejala bunuh diri. Apakah ada pola atau dorongan sosial dibalik tindakan menghabisi nyawa yang sepintas tampak individualistik ini?Adakah tekanan moral yang dialami individu?. Dan ketertarikannya pada Sosiologi Agama pun telah membuat dia bertanya-tanya, mengapa masyarakat Katolik mempunyai rating lebih rendah dalam hal bunuh diri daripada masyarakat Protestan.
Durkheim menggambarkan tipe bunuh diri sebagai berikut: Fatalistik, dilakukan sekelompok orang karena dibelakangnya terdapat kontrol yang berlebihan. Altruistik, terjadi pada masyarakat yang ikatan sosialnya sangat kuat, sering disebut ”solidaritas mekanik”. Bunuh diri ini dilakukan demi kelompok, hampir seperti bunuh diri ritual Jepang Seppuku, yang dilakukan ketika kekacauan melanda masyarakat. Anomik, keadaan dimana manusia merasa tidak tahu tempat yang tepat baginya seperti menjadi tunawisma atau yatim piatu. Dia merasa tidak punya apa-apa. Ini berarti berada dalam keadaan “tanpa norma”. Tidak ada norma dan aturan yang membimbing dalam kehidupan sosial sehari-hari. Ini sesuatu yang modern, orang tidak tahutempat yang yang tepat buat mereka dalam sebuah masyarakat yang kompleks. Egoistik, namanya sendiri sudah menjelaskan.Itu artinya individu yang mengusahakan penyelamatan dirinya sendiri secara serius. Lari dari masalah, sebelum berjuang maksimal. Pengecut!!!.
Tipe bunuh diri menurut Durkheim mungkin masih kurang dan perlu ditambah, satu, dua atau tiga, sebab masyarakat manusia kini lebih kompleks lagi. Tapi yang jelas bunuh diri tidak membawa penyelesaian. Sejelek apa pun hidup ini, sekacau apa pun situasi politik-ekonomi global saat ini dan sejenuh apapun kita dalam menghadapi hari ke hari. Mencintai kehidupan lebih baik daripada mencintai kematian. Dan bukan kepasrahan yang harus ditempuh, tapi perjuangan demi hidup yang lebih baik. menciptakan kreatifitas dan inovasi baru. Kerja belum selesai, belum apa-apa.
* Penulis adalah Guru Sejarah SMA Avicenna Cinere
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H