Harta, tahta dan Wanita adalah fitnah dunia. Terlepas ini adalah sebuah hadits yang pernah diriwayatkan. Kalimat ini sudah menjadi stigma yang seakan-akan benar hanya perempuan yang akan menjadi fitnah dunia, dan tidak untuk seorang laki-laki. Padahal, stigma yang sudah dilebelkan kepada perempuan ini tidak sesuai dengan konsep fitnah yang diungkapkan dalam al-qur'ann yang bersifat resiprokal.
Sehingga, ketika subjeknya adalah perempuan yang ada pada teks, maka yang menjadi fitnah adalah bisa saja laki-laki. Artinya, teks ini juga menganjurkan perempuan untuk waspada dari potensi fitnah laki-laki yang bisa menguji dan menggoda mereka
Maka dari itu, perintah agama atau anjuran terkait ini yang didsarkan pada fitnah perempuan mestilah dipahami secara substansi juga dalam menyikapi persoalan dan konteks sosialnya. Yang mana hal ini menganjurkan kita untuk mewaspadai terhadap potensi-potensi buruk seseorang dan sesuatu.
Jika merujuk perspektif mubadalah tentang potensi fitnah, maka baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama memiliki potensi pesona (fitnah) dan pada saat yang sama memiliki potensi maslahah.
Potensi dari pesona fitnah ada pada setiap orang dan di segala sesuatunya. Tentunya dengan bentuk yang berbeda-beda dari tempat dan waktunya. Harta yang akan menjadi fitnah dunia ketika orang-orang  begitu men-Tuhan-kan harta. Inilah sebuah contoh fitnah.
Fitnah di sini berarti ujian, cobaan, serta juga bisa menggoda dan menggiurkan. Alih-alih mendatangkan kebaikan, harta bisa saja membawa keburukan. Hal yang sama juga dengan jabatan, status sosial, popularitas, anak, keluarga, bahkan ilmu pengetahuan.
Fitnah harta bukan berarti harta itu buruk. Fitnah anak, keluarga, jabatan, dan yang lain juga demikian. Titik pembicaraannya adalah kewaspadaan kita yang harus ditingkatkan, bukan potensi fitnah dari hal-hal tersebut.
Makna Kesalingan
Dalam berkaitan dengan hadits mengenai "fitnah perempuan" di atas harus kita maknai secara proporsional dan mubadalah. Teks hadits ini mengajak para laki-laki untuk waspada dari kemungkinan potensi fitnah perempuan. Bukan untuk menyudutkan dan mendeskriminasi perempuan, karena mereka memiliki fitnah.
Apalagi mengerangkeng mereka dalam aturan-aturan yang menyulitkan. Inilah makna utama dari teks hadits ini. Makna ini pun, kemudian bisa kita mubadalah-kan.
Maka ketika subjeknya adalah perempuan yang ada pada teks, sehingga yang menjadi fitnah adalah bisa saja laki-laki. Artinya, teks ini juga menganjurkan perempuan untuk waspada dari potensi fitnah laki-laki yang bisa menguji dan menggoda mereka.
Titik pembicaraan ini sebetulnya bukan fitnah laki-laki ataupun perempuan. Akan tetapi kewaspadaan agar tidak lagi menjadi sumber fitnah baik untuk laki-laki dan perempuan. Dan tentunya tidak terbuai oleh godaan baik laki-laki ataupun perempuan.
Sebagaimana fitnah laki-laki bukan sedang menegaskan kebejatan laki-laki. Tetapi, itu tentang pentingnya kewaspadaan masing-masing, satu sama lain, agar tidak saling tergoda pada tindakan-tindakan nista, salah, dan buruk.
Dari bahasan ini mengajarkan kita untuk sentiasa menjadi orang yang waspada dalam segala hal terkait dengan fitnah. Karena fitnah bisa datang dari laki-laki maupun dari perempuan. Sebuah kewajaran dalam sebuah kehidupan.
Sebagai seorang perempuan pun haruslah menjadi orang yang tidak lagi menjadi fitnah dunia bagi orang lain. Tentunya dengan menjadikan perempuan yang seutuhnya dan sewajarnya dengan pedoman syariat Islam.
Akhir dari sini. Saya menyampaikan kutipan dari Ibnu Rusyd yang menyangkal pernyataan Plato tersebut bahwa perempuan bukan hanya makhluk yang pintar berdandan saja, melainkan juga mempunyai kemampuan berbicara yang baik dan kemampuan intelektual yang mumpuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H